Makalah LK 2 Konsep Khalifah Fil Ardhi


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Manusia sungguh memiliki keistimewaan dibanding dengan makhluk lainnya. Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna (lihat surat at-Tiin)      [1]. Meskipun demikian, manusia berpotensi (berpeluang) untuk menjadi makhluk paling mulia atau paling hina. Hanya orang yang beriman dan beramal shalih yang akan menjadi makhluk mulia di sisi Allah.

Potensi inilah yang menjadikan manusia sangat disayang oleh Allah. Di antara bukti kasih sayang-Nya adalah penciptaan alam semesta ini. Alam sengaja diciptakan oleh Allah dengan penuh keseimbangan dan keteraturan, bukan tercipta secara kebetulan. Penciptaan alam ini terkait dengan kepentingan manusia sebagai khalifah fil ardh (pemakmur di muka bumi ini), karenanya alam diciptakan dalam pola-pola tertentu yang teratur agar manusia dapat dengan mudah memahami alam dan memanfaatkannya.

Manusia, sebagai makhluk Allah Swt, memiliki sifat fitrah (kesucian) dan hanif (cenderungan kepada kebenaran). Hal ini ditegaskan dengan ikrar kesaksian pada ketauhidan (QS al-A'raf: 172)[2]. Manusia ketika masih di alam arwah telah berjanji akan senantiasa beriman kepada Allah. Namun Allah tidak membiarkan manusia berkata seperti itu begitu saja. Allah akan menguji kebenaran janji mereka. Ujian keimanan itu adalah menjadi makhluk penghuni bumi. Lantas Allah juga membekali manusia dengan hati, akal, dan nafsu untuk menjalankan misi khalifah tersebut. Sisi keunggulan inilah yang menempatkan manusia layak menerima amanat “khalifah Allah Swt di muka bumi ini”.[3]

Kesadaran akan eksistensi diri sebagai langkah awal dalam melakukan kerja kemanusiaan memuat dimensi penting yaitu dimensi Ilahiyah. Dimensi inilah yang mendatangkan pencerahan dalam gerak langkah setiap individu, karena hal itu sekaligus berperan sebagai sumber energi yang memotivisir dan menggerakkan langkah. Sebagai titik berangkat (depature point), maka tiada gerak dan kerja yang tidak memiliki dimensi Ilahiyah tersebut, karena tanpa itu hanya merupakan sesuatu perjalanan tanpa tujuan, sehingga bagi HMI, semua kerja-kerja di muka bumi merupakan suatu rangkaian ibadah  kepada Allah SWT. Sekaligus merupakan satu simbol dari penghambaan diri dan pengakuan terhadap ke Maha Kuasaan Allah SWT. Oleh karena itu, kata terakhir dari rumusan tujuan HMI adalah “……….. yang diridhoi Allah SWT”.

Dengan kecenderungan yang terjadi pada saat ini, maka penguatan dimensi Ilahiyah menjadi sesuatu yang mutlak. Bukan saja terhadap diri individu, tetapi juga dalam menghadapi tantangan mondial. Kemajemukan masyarakat menimbulkan adanya variasi unsur (yang sering disebut primordialisme), sehingga untuk terciptanya suatu harmoni dalam kemajemukan itu dituntut adanya satu simbol besama berupa consensus. Untuk itu, maka penguatan terhadap jati diri individu berdasar basis unsur kemasyarakatan (bukan primordalisme) seperti terhadap agamanya justru diperlukan bagi penegasan itu, maka suatu harmoni dapat dieleminir dengan munculnya identitas dan prioritas masalah yang dihadapi.[4]

B.     Rumusan Masalah

1.      Pemahaman al-Qur’an tentang manusia?

2.      Kenapa Manusia diciptakan?

3.      Bagaimana Konsep Khalifah Fil Ardh?















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sebutan Manusia di dalam Al-Qur’an

Kata Manusia yang di jumpai di dalam al-Qur’an dapat dibedakan dengan istilah Insan, Basyar, dan al-Nas.[5] Manusia yang disebutkan di dalam al-Qur’an dengan ketiga istilah itu memuat pesan-pesan khusus yang berbeda-beda dari pengertian lain, yang secara sepintas lafaz-lafaz itu sinonim sifatnya.

Sangat banyak kamus dan kitab-kitab yang ditulis oleh para mufassir kita mensinyalir bahwa lafaz-lafaz tersebut sinonim sifatnya. Padahal citarasa bahasa Arab lama menolak pemahaman seperti itu. Penjelasan al-Qur’an yang menyatakan kedalaman dan kepekaan citarasa Bahasa Arab dalam puncak kemurnian dan kemuliaan asal-usulnya.[6]

a)      Insan

Secara harfiah, Insan berarti manusia. Jamil Shaliba mengatakan bahwa kata Insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata Insan mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia, dan lainnya. Selanjutnya kata Insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia. Kata Insan juga digunakan untuk menunjukkan pada arti terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani dan fisik yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan lainnya.[7]

Kata Insan dalam al-Qur’an disebut sebanyak 65 kali dalam 63 ayat, dan digunakan untuk menyatakan manusia dalam lapangan kegiatan yang amat luas. Musa Asy’ari menyebutkan lapangan kegiatan Insan dalam 6 bidang. Pertama untuk menyatakan bahwa manusia menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya. (QS. 96: 1-5). Kedua, manusia mempunyai musuh yang nyata, yaitu setan. (QS. 12: 5). Ketiga, manusia memikul amanat dari Tuhan. (QS. 33: 72). Keempat, manusia harus menggunakan waktu dengan baik. (QS. 105: 1-3). Kelima, manusia hanya akan mendapatkan bagian dari apa yang telah dikerjakannya. (QS. 53: 39). Keenam, manusia mempunyai keterikata dengan moral atau sopan santun. (QS. 29: 8).[8]

Nilai kemanusiaan pada manusia yang disebut al-Qur’an dengan kata Insan itu terletak pada tingginya derajat manusia yang membuatnya layak menjadi Khalifah di bumi dan mampu memikul amanat. Sebab ia mendapat keistimewaan ilmu, pandai berbicara, mempunyai akal dan kemampuan berpikir.[9]

b)     Basyar

Kata manusia yang disebut al-Qur’an dengan menggunakan kata Basyar menyebutkan, bahwa yang dimaksud manusia Basyar itu adalah anak keturunan anak Adam, makhluk fisik yang suka makan, dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang membuat pengertian Basyar mencakup anak turun Adam secara keseluruhan.

Kata Basyar sebagai nama jenis yang memiliki makna seperti itu, disebut dalam al-Qur’an di 35 tempat. Pada 25 tempat di antaranya menyangkut sisi kemanusiaan para Rasul dan para Nabi dengan dilengkapi teks yang menunjukkan perumpamaan “seperti”. Kata Basyar yang menjelaskan kesamaan sisi kemanusiaan Rasul dengan sisi kemanusiaan orang-orang kafir disebut dalam al-Qur’an di 13 tempat, baik melalui kutipan langsung ucapan orang-orang kafir yang mendustakan kenabian para Rasul bahwa para Rasul itu hanyalah seorang manusia juga seperti mereka, maupun rangkaian pernyataan Tuhan yang mengakui dan menetapkan adanya sisi kemanusiaan para Rasul. (QS. Al-Anbiya: 2-8).[10]

Jadi, pengertian Basyar tidak lain adalah manusia dalam kehidupan sehari-hari, yang berkaitan dengan aktivitas lahiriah yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya, seperti makan, minum, berhubungan seksual dan akhirnya mati mengakhiri kegiatannya.[11]

c)      Al-Nas

Selanjutnya istilah al-Nas digunakan al-Qur’an untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya, seperti kegiatan bidang peternakan, penggunaan logam besi, penguasaan laut, melakukan perubahan sosial dan kepemimpinan.

Berdasarkan keterangan tersebut kita melihat bahwa Islam dengan sumber ajarannya al-Qur’an telah memotret manusia dalam sosoknya yang benar-benar utuh dan menyeluruh. Seluruh sisi dan aspek dari kehidupan manusia dipotret dengan cara yang amat akurat, dan barangkali tidak ada kitab lain di dunia ini yang mampu memotret manusia yang utuh itu, selain al-Qur’an.[12]



B.     Maksud Penciptaan Manusia

Manusia ada di muka bumi bukan karena kehendaknya sendiri. Kehadirannya itu adalah kehendak Allah SWT yang telah menciptakannya melalui perantaraan kedua orang tuanya. Oleh karena itu, tidak seorangpun yang mempunyai tujuan untuk menjadi ada atau tidak ada, untuk lahir atau tidak dilahirkan, termasuk juga orang tuanya yang menjadi perantara penciptaannya.

Dalam keadaan tidak seorangpun manusia mengetahui tujuannya diciptakan menjadi penghuni bumi, namun tidak seorangpun yang dapat menolak penciptaannya itu. Sedang kenyataan lain menunjukkan bahwa pada umumnya manusia menyenangi kehadirannya di bumi dalam situasi apapun kehidupannya, sehingga enggan meninggalkannya. Namun jika sudah sampai waktunya sesuai ketentuan Allah SWT, maka tak seorangpun yang dapat menolak.

Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa manusia yang pasif tidak ada yang mengetahui maksud penciptaan-Nya. Oleh karena itu, Allah SWT melalui firman-firman-Nya berusaha memberitahukan dan menyadarkannya, karena penciptaan manusia itu bukanlah sesuatu yang sia-sia. Sehubungan dengan itu Allah SWT berfirman di dalam surat al-Qiyaamah ayat 36 dan 40 sebagai berikut :

Ü=|¡øtsr& ß`»|¡RM}$# br& x8uŽøIム´ß ÇÌÏÈ óOs9r& à7tƒ ZpxÿôÜçR `ÏiB %cÓÍ_¨B 4Óo_ôJムÇÌÐÈ §NèO tb%x. Zps)n=tæ t,n=yÜsù 3§q|¡sù ÇÌÑÈ Ÿ@yèpgmú çm÷ZÏB Èû÷üy_÷r¨9$# tx.©%!$# #Ós\RW{$#ur ÇÌÒÈ }§øŠs9r& y7Ï9ºsŒ AÏ»s)Î/ #n?tã br& }Å¿øtä 4tAöqpRùQ$# ÇÍÉÈ

Artinya : “36.  Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? 37.  Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), 38.  Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, 39.  Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan 40.  Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?.” (QS. Al-Qiyaamah : 36-40).

Dengan demikian berarti secara universal Allah SWT telah menetapkan tugas tertentu yang pasti dan tidak berubah-ubah dalam menciptakan manusia, sejak manusia yang pertama hingga akhir zaman kelak. Allah SWT akan memintai pertanggung jawaban pada setiap manusia mengenai pelaksanaan tugas tersebut, apakah telah diwujudkan atau tidak, selama diberi-Nya kehidupan dimuka bumi. Demikianlah difirmankan-Nya bahwa manusia tidak diciptakan begitu saja secara sia-sia, tanpa pertanggung jawaban. [13]



C.    Tujuan Keberadaan Manusia

Manusia diciptakan Allah SWT di tengah dan di antara ciptaan-Nya yang lain, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa. Keberadaan (eksistensi) manusia di muka bumi adalah karena kehendak Allah SWT, dimulai dari saat diturunkannya Nabi Adam AS sebagai bapak dan Hawa sebagai ibu semua manusia, dari syurga.

Untuk mewujudkan hidup dan kehidupan dirinya secara manusiawi, sesuai dengan kondisi penciptaannya dan tuntunan Allah SWT pada semua manusia yang diciptakan-Nya, manusia perlu mengenali dan memahami hakekat dirinya.

Hakekat manusia dimaksudkan adalah kondisi sebenarnya atau inti sari yang mendasar tentang keberadaan makhluk yang berasal/keturunan Adam dan Hawa, sebagai penghuni bumi. Makhluk yang dengan ridha Allah SWT dijadikannya sebagai Khalifah dan penguasa di muka bumi. Berfirman Allah SWT di dalam surat Fathir ayat 39 sebagai berikut :

uqèd Ï%©!$# ö/ä3n=yèy_ y#Í´¯»n=yz Îû ÇÚöF{$# 4 `yJsù txÿx. Ïmøn=yèsù ¼çnãøÿä. ( Ÿwur ߃Ìtƒ tûï͍Ïÿ»s3ø9$# öNèdãøÿä. yZÏã öNÍkÍh5u žwÎ) $\Fø)tB ( Ÿwur ߃Ìtƒ tûï͍Ïÿ»s3ø9$# óOèdãøÿä. žwÎ) #Y$|¡yz ÇÌÒÈ

Artinya : “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.”

Selanjutnya di dalam surat al-An’am ayat 165 sebagai berikut :

uqèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3ŸÒ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uyŠ öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7­/u ßìƒÎŽ|  É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9 7LìÏm§ ÇÊÏÎÈ

Artinya : “Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Setiap manusia dapat berpikir sedalam-dalamnya atau secara fundamental, tentang hakekat dirinya, untuk sampai pada pengertian yang mendasar mengenai keadaan dirinya sebagai Khalifah dan penguasa di muka bumi. Akan tetapi tidak semua orang memiliki motivasi yang tinggi untuk berpikir seperti itu. Oleh karena itulah di bawah ini akan diketengahkan maksud dan tujuan mempelajari hakekat manusia tersebut.

1.      Tujuan Subyektif

Tujuan ini berkenaan dengan kepentingan diri manusia sebagai individu dalam menjalani hidup dan kehidupan sebagai pemberian Allah SWT yang sangat berharga, agar tidak menjadi sia-sia dan merugi. Tujuan-tujuan itu adalah :

a)      Memahami maksud Allah SWT menciptakan dirinya sesuai dengan firman-Nya surat Adz-Dzaariyaat ayat 56 yang mengatakan :

$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ

Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

b)      Memahami kondisinya sebagai makhluk yang diciptakan berupa sebaik-baiknya kejadian, ternyata juga merupakan makhluk yang diliputi berbagai kekurangan, kelemahan, dan kealpaan.

c)      Memahami dan menyadari bahwa kekurangan, kelemahan dan kealpaan yang melekat pada dirinya tidak dapat dibuang, namun selalu dapat dikurangi.

$¯RÎ) ¨@ä. >äóÓx« çm»oYø)n=yz 9ys)Î/ ÇÍÒÈ

Artinya : “Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran." (QS. Al-Qamar : 49).

d)     Memahami dan menyadari posisinya diciptakan sebagai Khalifah di muka bumi, dengan hak dan kewajiban serta kebebasan dan tanggung jawab, yang akan dinilai Allah SWT pelaksanaannya.

2.      Tujuan Objektif

Tujuan ini berkenaan dengan kepentingan diri manusia sebagai suatu kaum (masyarakat) dalam menjalani hidup bersama dan dalam berhadapan dengan kaum (masyarakat) yang lain. Kepentingan dimaksud berkenaan dengan ummat Islam di dunia, atau sebagai suatu kaum, yang hidup bersama ummat agama lain sebagai suatu kaum pula. Tujuan itu adalah :

a)      Memahami dan menyadari bahwa ummat Islam adalah yang terbaik atau merupakan ummat yang lebih baik dari yang lainnya. Untuk itu Allah SWT berfirman di dalam surat Ali Imran ayat 110 yang mengatakan bahwa :

öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ

Artinya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

b)      Memahami dan menyadari bahwa antara sesama pemeluk agama Islam merupakan saudara satu dengan yang lain.

bÎ*sù (#qç/$s? (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# (#âqs?#uäur no4qŸ2¨9$# öNä3çRºuq÷zÎ*sù Îû Ç`ƒÏe$!$# 3 ã@Å_ÁxÿçRur ÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇÊÊÈ

Artinya : “Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang Mengetahui.” (QS. At-Taubah : 11)[14]



D.    Konsep Khalifah Fil Ardh

$¯RÎ) $oYôÊttã sptR$tBF{$# n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ÉA$t6Éfø9$#ur šú÷üt/r'sù br& $pks]ù=ÏJøts z`ø)xÿô©r&ur $pk÷]ÏB $ygn=uHxqur ß`»|¡RM}$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß Zwqßgy_ ÇÐËÈ

Artinya : “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat[1233] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzab : 72)

*yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas keagamaan.

Kesanggupan manusia memikul amanat merupakan salah satu aspek paling penting yang dapat membedakan pengertian manusia dalam al-Qur’an sebagai Insan dan Basyar, yaitu ketegasan al-Qur’an mengaitkan kata amanah kepada kata al-insan dan bukan kepada kata an-nas, al-ins atau al-basyar.[15]

Manusia sebagai mahluk yang mulia, menempati posisi yang istimewa yang diberikan Allah di muka bumi ini. Keistimewaan manusia ini terlihat dari fungsi yang diberikan Allah kepadanya yakni sebagai Khalifah Allah di bumi. Firman-Nya dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2]: 30.[16]

Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu berkata kepada malaikat “sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang Khalifah di muka bumi …. (QS. Al-Baqarah [2]:30).

Dari ayat tersebut terlihat bahwa manusia diberi kekuasaan untuk mengolah dan memakmurkan alam ini dalam rangka beribadah kepada Allah, sehingga akan membedakannya dengan mahluk lain dalam kedudukan dan tanggung jawab. Konsekuensi dari kedudukan dan tanggung jawab tersebut, manusia akan diminta pertanggungangjawaban atas segala amal yang dilakukannya dimuka bumi ini sebagai Khalifah Fil Ardh.

Makna kata Khalifah artinya “pengganti”. Ar-Ragib al-Asfahani, dalam Mu’jam Mufradat fi Gharibil Quran, menjelaskan bahwa menggantikan  yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya  maupun sesudahnya. Lebih lanjut, Al-Asfahani menyebutkan bahwa kekhalifahan tersebut dapat terlaksana akibat ketiadaan di tempat, kematian atau ketidakmampuan orang yang digantikan, dan dapat juga akibat penghormatan yang diberikan kepada orang yang menggantikan”.[17]

Menurut Ahmad Hasan Firhat, seperti dikutip Samsul Nizar menyebutkan Kedudukan kekhalifahan manusia dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu khalifah kauniyat dan khalifah syariat.[18] Khalifah kuaniyat mencakup wewenang manusia secara umum yang telah dianugerahkan Allah SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi kelangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi. Pemberian wewenang Allah kepada manusia dalam konteks ini, meliputi pemakmuran yang bersifat umum tanpa dibatasi oleh agama atau keyakinan apa yang dia akui. Artinya, label kekahalifahan yang dimaksud  diberikan kepada semua manusia sebagai penguasa alam semesta.

Bila dimensi ini dijadikan standar dalam melihat predikat manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan kehidupan manusia dalam alam semesta. Manusia dengan kekuatannya akan mempergunakan alam semesta sebagai konsekuensi kekhailifahannya tanpa kontrol dan melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai ilahiyah. Akibatnya, keberadaannya di muka bumi bukan lagi sebagai pembawa kemakmuran, namun cenderung berbuat mafsadah dan merugikan mahluk Allah lainnya. Ketiadaan nilai kontrol inilah yang dikhawatirkan malaikat tatkala Allah mengutakarakan keinginan-Nya mahluk yang bernama manusia.[19]

Khalifah syari’at meliputi wewenang Allah yang diberikan kepada manusia untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab ini, predikat khalifah, secara khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin. Hal ini dimaksudkan, agar dengan keimanan yang dimilikinya, mampu menjadi pilar dan kontrol dalam mengatur mekanisme alam semesta, sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah yang telah digariskan Allah lewat ajaran-Nya. Dengan prinsip ini manusia, akan senantiasa berbuat kebaikan dan memanfaatkan alam semesta demi kemaslahatan umat manusia.

Bila dimensi ini dikembangkan dalam kajian pendidikan Islam, maka dalam proses mempersiapkan generasi penerus estafet kekhalifahan yang sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, pendidikan yang ditawarkan harus mampu memberikan dan membentuk pribadi peserta didiknya dengan acuan nilai-nilai Ilahiyah. Dengan penanaman ini, akan menjadi panduan baginya dalam melaksanakan amanat Allah di muka bumi. Kekosongan akan nilai-nilai religius, akan mengakibatkan manusia bebas kendali dan berbuat sekehendaknya. Sikap yang demikian akan berimplikasi timbulnya nilai-nilai egoistis yang bermuara kepada timbulnya sikap angkuh dan sombong pada diri manusia. Sikap ini akan berbias kepada  tumbuhnya sikap memandang rendah orang lain. Manusia di luar dirinya adalah alat yang bisa dikorbankan untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Jika ini terjadi, pada waktu yang sama, nilai-nilai sakral kemanusiaan  manusia telah tercampak dan sekaligus menumbuhkan cikal bakal mafsadah di muka bumi ini. Firman Allah SWT:

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (dengan sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (QS. Lukman [31]:18).[20]

Berpijak pada penjelasan dan ayat tersebut di atas, dipahami bahwa untuk menciptakan tatanan kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, tugas dan fungsi manusia sebagai khalifah tidaklah bisa diartikan secara umum, akan tetapi dapat dilihat dalam konteks khalifah syar’iyyah. Sebab, hanya dengan predikat inilah manusia dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, sesuai dengan amanat Allah yang diberikan kepadanya.

Uraian di atas, secara implisit memberikan gambaran bahwa dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, manusia dihadapkan pada beberapa konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan, yaitu:

1.      Senantiasa taat, tunduk dan patuh, serta berpegang teguh pada ajaran-ajaran-Nya.

2.      Mempersiapkan diri dengan seperangkat ilmu pengetahuan yang menopang terlaksananya tugas dan fungsinya sebagai khalifah Fil Ardh secara optimal. Ilmu yang dimaksud, meliputi ilmu agama; sebagai indikator dalam bertindak, maupun ilmu-ilmu kealaman lainnya; dalam upaya menterjemahkan ayat-ayat Allah (baik quraniyah maupun kauniyah) bagi terwujudnya kemaslahatan umat manusia.

3.      Bertanggung jawab terhadap amanat yang diberikan Allah kepadanya, dengan cara memelihara serta memanfaatkan alam semesta beserta isinya  bagi kepentingan dan kesejahteraan umat manusia, sekaligus sebagai sarana ibadah kepada Khaliqnya, sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.

Dengan diserahkannya predikat khalifah syar’iyyah kepada manusia, maka akan terpeliharalah amanat yang diberikan Allah kepadanya dengan sebaik-baiknya.[21] Dengan demikian nilai-nilai kemanusiaan manusia pada derajat yang tinggi akan terjaga dengan baik sesuai dengan potensi yang dimilikinya.[22]

Menurut konsep al-qur’an sekurang-kurangnya ada lima syarat Khalifah yang harus dikembangkan, yaitu sebagai berikut :

a)      Beriman dan bertaqwa (QS. Al- A’raf: 96)

b)      Berilmu pengetahuan (QS. Al-Mujadilah: 11)

c)      Mempunyai kemampuan menyusun perencanaan dan evaluasi (QS. Al-Hasyr: 18)

d)     Mempunyai kekuatan mental melaksanakan kegiatan (QS. Al-Baqarah: 147)

e)      Mempunyai kesadaran dan tanggung jawab moral, serta mau menerima kritik (QS. As-shaf: 2-3)[23][10][24]






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :

Ø Manusia yang disebutkan oleh al-Qur’an terdapat 3 istilah :

a)      Insan menyebutkan manusia bukan pada bentuk fisiknya tetapi lebih kepada penyebutan sifatnya. Nilai kemanusiaan pada manusia yang disebut al-Qur’an dengan kata Insan itu terletak pada tingginya derajat manusia yang membuatnya layak menjadi Khalifah di bumi dan mampu memikul amanat. Sebab ia mendapat keistimewaan ilmu, pandai berbicara, mempunyai akal dan kemampuan berpikir.

b)     Basyar menyebutkan kepada fisiknya manusia seperti suka makan, dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang membuat pengertian Basyar mencakup anak turun Adam secara keseluruhan.

c)      al-Nas digunakan al-Qur’an untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya, seperti kegiatan bidang peternakan, penggunaan logam besi, penguasaan laut, melakukan perubahan sosial dan kepemimpinan.

Ø Manusia diciptakan itu atas kehendak Allah SWT, tidak ada seorangpun manusia yang tahu kenapa ia diciptakan. Manusia hanya tahu tujuan ia diciptakan yaitu untuk tunduk dan patuh (beribadah) kepada Allah SWT seperti yang dijelaskan dalam surat adh-Dzariyaat ayat 56, dan juga sebagai khalifah di muka bumi seperti yang dijelaskan di dalam surat al-An’am ayat 165.

Ø konteks khalifah syar’iyyah meliputi wewenang Allah yang diberikan kepada manusia untuk memakmurkan alam semesta. Bila dimensi ini dikembangkan dalam kajian pendidikan Islam, maka dalam proses mempersiapkan generasi penerus estafet kekhalifahan yang sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, pendidikan yang ditawarkan harus mampu memberikan dan membentuk pribadi peserta didiknya dengan acuan nilai-nilai Ilahiyah. Dengan penanaman ini, akan menjadi panduan baginya dalam melaksanakan amanat Allah di muka bumi. Apalagi dengan adanya konsep al-qur’an sekurang-kurangnya ada lima syarat Khalifah yang harus dikembangkan, yaitu sebagai berikut :

a)      Beriman dan bertaqwa (QS. Al- A’raf: 96)

b)     Berilmu pengetahuan (QS. Al-Mujadilah: 11)

c)      Mempunyai kemampuan menyusun perencanaan dan evaluasi (QS. Al-Hasyr: 18)

d)     Mempunyai kekuatan mental melaksanakan kegiatan (QS. Al-Baqarah: 147)

e)      Mempunyai kesadaran dan tanggung jawab moral, serta mau menerima kritik (QS. As-shaf: 2-3)[25][10















































DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Arifin tentang Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI dan Esensi Ajaran Islam tentang Kemasyarakatan.

Abuddin Nata, Akhlak tasawuf, (Rajawali Pers : Jakarta, 2012) Cet-11.

Aisyah Bintu Syati, Manusia dalam perspektif al-Qur’an, (Pustaka Firdaus: Jakarta, 1999).

Hadari Nawawi, Hakekat Manusia menurut Islam, (Al-Ikhlas : Surabaya, 1993), Cet-1.

Al-Ragib Al-Ashfahani, tt. Mu’jam Mufradat alfad al-Quran hal 156, Bairut, Lubnan : Darul Fikr.

Samsul Nizar, 2001, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama.

Wahbah al-Juhaily, 1991, At-Tafsirul Munir Fil-Aqidah Was-Syari’ah wal-Manhaj, Bairut, Lubnan: Darul Fikr al-Mu’asir zuz 30.









[1] Lihat QS at-Tiin
[2] Lihat QS al-A'raf: 172.
[3] Lihat QS Al-Baqarah: 30
[4] Baca Muhammad Arifin tentang Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI dan Esensi Ajaran Islam tentang Kemasyarakatan.
[5] Abuddin Nata, Akhlak tasawuf, (Rajawali Pers : Jakarta, 2012) Cet-11, hal. 257.
[6] Aisyah Bintu Syati, Manusia dalam perspektif al-Qur’an, (Pustaka Firdaus: Jakarta, 1999), hal. 1.
[7] Abuddin Nata, op.cit., hal 257-258.
[8] Ibid., hal. 259.
[9] Aisyah Bintu Syati, op.cit., hal 7.
[10] Ibid., hal 1-2.
[11] Abuddin Nata, op.cit., hal. 260.
[12] Ibid., hal. 261-262.
[13] Hadari Nawawi, Hakekat Manusia menurut Islam, (Al-Ikhlas : Surabaya, 1993), Cet-1., hal. 95-97.
[14] Ibid., hal. 63-70
[15] Aisyah Bintu Syati, op.cit., hal 41-42.
[16] Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2]: 30.
[17] Al-Ragib Al-Ashfahani, tt. Mu’jam Mufradat alfad al-Quran hal 156, Bairut, Lubnan : Darul Fikr.
[18] Samsul Nizar, 2001, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, hal. 70
[19] Lihat Quran Surat al-Baqarah [2]:30
[20] Lihat dan Baca QS. Lukman [31]: 18.
[21] Lihat QS Al-An’am [6]:165, QS. Al-Hijr [15]:21, dan QS. Fussilat [41]: 51.
[22] Wahbah al-Juhaily, 1991, At-Tafsirul Munir Fil-Aqidah Was-Syari’ah wal-Manhaj, Bairut, Lubnan: Darul Fikr al-Mu’asir zuz 30 hal. 306.
23

Posting Komentar

2 Komentar

  1. ayatnya kok aneh yah? bukan arab tapi sandi sandi aneh tolong di benarkan karna takut terjadi fitnah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mohon maaf atas kurangnya dalam penulisan arabnya karna waktu mengupload kita gunakan laptop yg tidak ada arabnya. .

      Hapus