A.
Pengertian Wakaf Uang
Wakaf uang merupakan terjemahan langsung dari istilah cash waqf yang populer di Bangladesh, tempat A. Mannan
menggagas idenya. Dalam beberapa literatur, wakaf uang dimaknai sebagai wakaf
tunai. Hanya saja, makna tunai ini sering disalahartikan sebagai lawan kata
dari kredit, sehingga pemaknaan wakaf uang dengan wakaf tunai menjadi kurang
pas. Untuk itu, dalam tulisan ini, wakaf tunai akan diterjemahkan sebagai wakaf
uang.[1]
Dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut dikemukakan yang
dimaksud dengan wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok
orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Termasuk dalam
pengertian uang tersebut adalah surat-surat berharga. Selain itu, dalam Fatwa
Majelis Ulama Indonesia tersebut dikemukakan rumusan definisi wakaf sebagaimana
pendapat rapat komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tangga 11 Mei 2002,
bahwa wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya
atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda
tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya)
pada sesuatu yang mubah (boleh) yang ada.[2]
Dalam definisi di atas, wakaf tidak lagi terbatas pada benda yang
tetap wujudnya, melainkan wakaf dapat berupa benda yang tetap nilainya atau
pokoknya. Uang masuk dalam kategori benda yang tetap pokoknya. Dengan demikian,
definisi MUI di atas memberikan legitimasi kebolehan wakaf uang.
Adapun wakaf uang terbaru adalah versi peraturan Menteri Agama
Nomor 4 Tahun 2009 tentang administrasi pendaftaran wakaf uang, pasal 1 angka
(1). Wakaf uang dalam PMA ini diartikan sebagai perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan dan menyerahkan sebagian uang miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan kesejahteraan umum menurut syariah.[3]
B.
Dasar Hukum Wakaf Uang
Dasar hukum wakaf uang tentunya juga adalah Al-Qur’an, Hadis, dan
Ijma’ ulama :
1.
Al-Qur’an
Ali Imran ayat 92 dan Al-Baqarah
ayat 262 :
`s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ ÇÒËÈ
92.
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu
nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.
tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZã öNßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# §NèO w tbqãèÎ7÷Gã !$tB (#qà)xÿRr& $xYtB Iwur ]r& öNçl°; öNèdãô_r& yYÏã öNÎgÎn/u wur ì$öqyz óOÎgøn=tæ wur öNèd cqçRtóst ÇËÏËÈ
262.
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, Kemudian mereka
tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut
pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
2.
Hadis
Hadis Riwayat Al-Bukhari, Muslim, At-Tarmidzi, dan An-Nasa’i Diriwayatkan
dari Umar ra., bahwa Umar bin al-Khattab ra., memperoleh tanah(kebun) di
Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi saw., untuk meminta petunjuk mengenai tanah
tersebut. Ia berkata : ahai Rasulullah! Saya memperoleh tanah di Khaibar; yang
belum pernah Saya peroleh harta yang lebih baikbagiku melebihi tanah tersebut;
apa perintah Engkau (kepadaku) mengenainya?” Nabi saw., menjawab : “Jika mau,
kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya”.
Ibnu
Umar berkata, “Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan)
bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia
menyedekahkan (hasil)-nya kepada fugara, kerabat riqab (hamba sahaya, orang
tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang
mengelola untuk memakan diri (hasil) tanah itu secara ma’ruf (wajar) dan
memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik”.
Rawi
berkata, “ Saya menceritakanhadis tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu ia berkata
‘ghaira muta’tstsilin malan (tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik)”.
3.
Pendapat Ulama
a)
Pendapat
Imam Al-Zuhri bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan
dinar tersebut sebagai modal usaha, kemudian keuntungannya disalurkan pada
mauquf ‘alaih (peruntukan wakaf).
b)
Mutaqaddimin
dari ulama mazhab Hanafi membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai
pengecualian, atas dasar istihsan bi al-‘urfi, berdasarkan atsar Abdullah bin
Mas’ud ra., bahwa “apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka dalam
pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin,
maka dalam pandangan Allah pun buruk”.
c)
Pendapat
ulama mazhab Asy-Syafi’i di mana “Abu Tsyar meriwayatkan dari Imam Asy-Syafi’i
tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)”.[4]
C.
Manajemen Pengelolaan Wakaf Uang
Wakaf memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan
kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat Islam. Selain itu
keberadaan wakaf juga telah banyak memfasilitasi para sarjana dan mahasiswa
dengan berbagai sarana dan prasarana yang memadai untuk melakukan riset dan
pendidikan, sehingga dapat mengurangi ketergantungan dana pada pemerintah.
Wakaf hendaknya dikelola dengan baik dan diinvestasikan ke dalam
berbagai jenis investasi, sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan masyarakat banyak. Pengelolaan wakaf diserahkan kepada nazhir, baik
pemerintah maupun dari masyarakat. Kahf membedakan model investasi wakaf ke
dalam dua model, model pembiayaan harta wakaf tradisional (pinjaman, hukr (kontrak
sewa jangka panjang dengan pembayaran lump sum yang cukup besar di awal), sewa
dengan dua pembayaran, menambah harta wakaf baru, dan penukaran pengganti harta
wakaf) dan model pembiayaan secara institusional (bagi hasil, resiko, jual
beli, dan sewa).[5]
Menurut fikih ada dua pandangan terhadap posisi nazhir dalam
kaitannya dengan masalah wakaf. Pertama, pendapat mengatakan bahwa nazhir
adalah penerima, penyalur sekaligus pengelola harta wakaf. Kedua, pendapat
mengatakan bahwa nazhir hanyalah sebagai penerima dan penyalur harta wakaf,
sedangkan pengelolaan harta wakaf harus dipisahkan dengan wewenang penerimaan
dan penyaluran untuk menghindari adanya kemungkinan negatif. Melihat dari kedua
pendapat ini, maka nazhir yang memungkinkan mengelola wakaf adalah pendapat
yang pertama, sedangkan yang kedua siapapun mengelola harta wakaf agar
produktif tidak dijelaskan.[6]
D.
Hikmah Wakaf Uang
Ada empat manfaat utama dari
wakaf tunai :
1)
Wakaf
tunai jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas
sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan
tanah terlebih dahulu.
2)
Melalui
wakaf tunai. Aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai
dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau dibuat lahan pertanian.
3)
Dana
wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang
dananya terkadang kembang kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya.
4)
Umat
Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus
terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama
semakin terbatas.[7]
[1] Sudirman Hasan,
Wakaf Uang Perspektif Fikih, Hukum Positif, dan Manajemen, (Malang :
UIN-Maliki Press, 2011) h.20.
[2] Rachmadi Usman,
Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), cet. I,
h.106.
[3] Sudirman Hasan,
Op.,Cit, h.22.
[4] Rachmadi Usman,
Op.Cit., h. 107.
[5] Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Pedoman
Pengelolaan Wakaf Tunai, (Jakarta : 2007)., h. 41
[6] Ibid, h.
43
[7] Direktorat
Pemberdayaan wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Departemen
Agama RI, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, (Jakarta :
2007), h. 11.
0 Komentar