PEMAHAMAN KATA NIKAH DALAM HUKUM PERKAWINAN ISLAM (STUDI TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG PERKAWINAN AKIBAT ZINA)



PEMAHAMAN KATA NIKAH DALAM HUKUM PERKAWINAN ISLAM (STUDI TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG PERKAWINAN AKIBAT ZINA)
Oleh: Muhammad Abdul Khair SH
Salah satu alumni Hukum Keluarga Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin

A.           Latar Belakang
Zina merupakan sekotor-kotornya dosa, seburuk-buruknya amal, awal malapetaka, dosa besar yang sangat keji dan terkutuk pelakunya. Islam sebagai agama yang sempurna mengharamkan praktik zina. Allah berfirman dalam Q.S Al-Isra' ayat 32:
وَلَا تَقرَبُواْ ٱلزِّنَىٰ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلاً

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”[1]

Islam bukanlah agama yang berfikiran sempit dengan melarang sesuatu tanpa adanya solusi. Dalam permasalahan penyaluran hasrat seksual manusia agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap seks maka Islam mensyariatkan nikah. Banyak ayat-ayat Alqur'an yang menyatakan tentang anjuran nikah, diantaranya adalah Q.S An-Nur ayat 32:
وَأَنكِحُواْ ٱلأَيَٰمَىٰ مِنكُم وَٱلصَّٰلِحِينَ مِن عِبَادِكُم وَإِمَائِكُم إِن يَكُونُواْ فُقَرَاءَ يُغنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضلِهِۦ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”[2]

Di balik pensyariatan perkawinan, ternyata dikenal juga istilah larangan perkawinan. Artinya, ada sebab-sebab tertentu yang menghalangi seorang laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan perkawinan. Larangan perkawinan dalam bahasa agama disebut dengan mah}ram. Larangan perkawinan ada dua macam yaitu, mu’abbad, larangan abadi dan mu’aqqat, larangan sementara.[3] Larangan perkawinan diatur dalam Inpres no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 39, sebagai berikut:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan wanita disebabkan:
1.         Karena pertalian nasab:
a.         Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya.
b.        Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu.
c.         Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
2.         Karena pertalian kerabat semenda:
a.         Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya.
b.        Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya.
c.         Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isteri, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qabla ad-dukhhu<l.
d.        Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
3.             Karena pertalian sesusuan:
a.         Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas.
b.        Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.
c.         Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah.
d.        Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas.
e.         Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Ketentuan dalam pasal 39 Kompilasi Hukum Islam pada angka satu mendahulukan sebab pertalian nasab, yaitu sebab yang timbul karena hubungan darah yang referensinya adalah firman Allah Q.S An-Nisa ayat 23 yang juga sekaligus menjadi dasar adanya sebab pertalian sepersusuan:
حُرِّمَت عَلَيكُم أُمَّهَٰتُكُم وَبَنَاتُكُم وَأَخَوَٰتُكُم وَعَمَّٰتُكُم وَخَٰلَٰتُكُم وَبَنَاتُ ٱلأَخِ وَبَنَاتُ ٱلأُختِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِي أَرضَعنَكُم وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَائِكُم وَرَبَٰئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَائِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلتُم بِهِنَّ فَإِن لَّم تَكُونُواْ دَخَلتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيكُم وَحَلَٰئِلُ أَبنَائِكُمُ ٱلَّذِينَ مِن أَصلَٰبِكُم وَأَن تَجمَعُواْ بَينَ ٱلأُختَينِ إِلَّا مَا قَد سَلَفَ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورا رَّحِيما

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[4]

Kemudian angka dua dalam pasal tersebut menyebutkan sebab kerabat semenda atau perkawinan, hal ini didasarkan pada firman Allah Q.S An-Nisa ayat 22:
وَلَا تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَاؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَاءِ إِلَّا مَا قَد سَلَفَ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَة وَمَقتا وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”[5]

Pengutipan ayat di atas memang terlihat tidak berurutan, akan tetapi Kompilasi Hukum Islam bermaksud ingin membuat versi urutanmya sendiri secara tertib, dari sebab pertalian nasab, sebab pertalian akibat perkawinan, dan sebab sepersusuan.[6]
Secara sepintas bisa dilihat dari larangan-larangan perkawinan di atas bahwa dengan adanya perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, maka menimbulkan hal-hal yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, seperti terjalinya pertalian nasab, persemendaan, dan lain sebagainya. Namun, dalam kehidupan manusia penyaluran hasrat seksual kadang-kadang disalurkan di luar ikatan suci perkawinan, yang disebut zina. Dengan demikian, jika suatu perkawinan dapat mengakibatkan pertalian nasab ataupun pertalian kerabat semenda, maka apakah suatu perzinaan juga dapat mengakibatkan seperti yang diakibatkan perkawinan. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat para ulama ahli fiqih.
Menurut ulama Hanafiyah, seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan, menyentuhnya, menciumnya, atau melihat kemaluannya dengan syahwat, ia diharamkan menikah dengan orang tua perempuan itu serta garis lurus ke atas, dan diharamkan pula keturunan perempuan tersebut serta garis lurus ke bawah. Begitu pula dengan perempuan yang berzina, dia tidak diperbolehkan untuk menikah dengan orang tua dan keturunan laki-laki yang berzina dengannya. Sebab, hurmah al-musha>harah dapat disebabkan oleh zina menurut mereka.[7] Ulama Hanabilah pun berpendapat serupa demikian, kedua mazdhab tidak membedakan antara terjadinya perzinaan sebelum dan sesudah perkawinan. Maka dapat dipahami bahwa  kedua pendapat ini menggolongkan perzinaan dan perbuatan yang mengarah kepada perzinaan adalah sebagai faktor terjalinnya hubungan mahram karena pernikahan, atau disebut dengan mus}a<harah.[8]
Hal ini senada dengan pendapat Ibnu Qudamah yaitu, kata nikah dalam  firman Allah Q.S An-Nisa ayat 22 menurutnya bermakna hubungan intim. Wat}’u yang berarti buhungan intim di luar nikah terkadang dinamai juga nikah, seperti kata seorang penyair “apabila aku berzina maka aku menemukan pernikahan”. Maka dari itu di dalam ayat tersebut ada indikasi yang memberikan makna hubungan intim suami isteri di luar nikah, karena hukum ini diarahkan ke dalam makna keumuman ayat. Hubungan seks dengan jalan yang haram menyebabkan haram hukum nikah, sebagaimana keharaman nikah dengan sebab hubungan suami isteri yang halal atau hubungan suami isteri yang syubhat. Artinya, sudah menjadi ketetapan hukum haram nikah disebabkan mus}a<harah, apabila seorang laki-laki berzina dengan perempuan, maka perempuan itu haram dinikahi oleh ayah dan anak laki-laki yang menzinahinya, dan juga atas laki-laki yang menzinai itu menikahi ibu dan anak perempuan yang dizinainya sebagaimana ia melakukan hubungan suami isteri karena syubhat atau halal.[9]
Imam Syafi’i dan Imam Malik berkata pada suatu riwayat yang terkenal dari mazdhabnya, bahwa dibolehkan atas laki-laki menikahi anak perempuannya dari hasil zina dan juga saudaranya, cucu perempuan dari anak laki-lakinya, cucu perempuan dari anak perempuannya dan anak perempuan saudara atau saudari zinanya. Sebab mereka adalah orang lain bagi laki-laki tersebut dan tidak dihubungkan nasab kepadanya secara syar’i, juga di anatara mereka berdua tidak saling mewarisi.[10] Tentang masalah ini Imam Malik mempunyai dua riwayat, yang pertama sejalan dengan pendapat Syafi’i, dan yang satunya lagi sejalan dengan pandangan Hanafi.[11]
Imam Syafi’i berpandangan bahwa jika seorang perempuan yang hamil dari zina melahirkan anak, baik laki-laki yang berzina dengannya itu mengakui atau tidak mengakui, lalu dia menyusui seorang anak, maka anak yang disusuinya itu menjadi anaknnya, tetapi ia tidak menjadi anak bagi laki-laki yang berzina dengan perempuan tersebut. Namun, untuk tataran sikap wara’, saya memakruhkan laki-laki tersebut menikah dengan anak-anak perempuan dari anak yang lahir dari zina yang dilakukan lak-laki tersebut.[12]
Dalam permasalahan ini logika manusia secara sepintas akan mendukung pendapat ulama Hanafiyah dan ulama-ulama yang satu pemikiran dengan mereka. Terlebih lagi jika dalam masalah hukum menikahi anak perempuan hasil zina sendiri, maka secara langsung logika akan mengatakan bahwa tidak boleh menikahinya karena ia adalah darah dagingnya sendiri. Namun, Imam Syafi’i berpandangan lain akan hal ini, dengan ijtihadnya ia sama sekali tidak memandang bahwa zina itu mempunyai pengaruh seperti perkawinan.
Dari perbedaan pendapat di atas bisa dikatakan bahwa salah satu hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah dari segi pemahaman kebahasaan. Menurut Wahbah Zuhaili, sebab perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah pemahaman kata nikah dalam ayat 22 surah An-nisa, sebab kata nikah di sana merupakan kata yang musytarak, antara makna hubungan intim dan makna akad. Kelompok yang berpendapat bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah hubungan intim, maka diharamkan walaupun dengan zina. Sebaliknya, kelompok yang berpendapat bahwa yang dimaksud dalam ayat itu adalah akad, maka tidak haram dengan zina.[13]
Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam pemahaman kata nikah dalam pemikiran Imam Syafi’i serta dasar hukum yang digunakan oleh Imam Syafi’i tentang perkawinan akibat zina tersebut dan menuangkannya dalam sebuah penelitian yang bersifat deskriptif analitis yang berjudul “Pemahaman Kata Nikah Dalam Hukum Perkawinan Islam (Studi Terhadap Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Perkawinan Akibat Zina)”.

B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalahan yang akan dibahas melalui penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.         Bagaimana pemikiran Imam Syafi’i tentang perkawinan akibat zina?
2.         Bagaimana dasar hukum yang digunakan Imam Syafi’i dalam pemikirannya tentang perkawinan akibat zina?
3.         Bagaimana pemahaman kata nikah dalam pemikiran Imam Syafi’i tentang perkawinan akibat zina?


C.           Definisi Istilah
Agar tidak menimbulkan kesalahpahaman yang dilakukan pada penelitian ini, maka perlu memberikan definisi istilah sebagai berikut:
1.         Muh}arrama>t
Muh}arrama>t adalah suatu istilah untuk perempuan-perempuan yang haram dinikahi menurut Hukum Islam. Kata Muh}arrama>t diambil dari bahasa Arab yang berbentuk ism Al-Maf’ul yang berasal dari kata h}arrama yuh}arrimu tah}ri>man yang berarti mengharamkan[14].
2.         Mus}a<harah
Mus}a<harah adalah suatu istilah hubungan yang muncul disebabkan oleh perkawinan. Dengan kata lain hubungan yang sebelumnya tidak terjalin, menjadi terjalin dengan sebab adanya sebuah ikatan perkawinan. Mus}a<harah merupakan sebuah hubungan yang menyerupai kekerabatan nasab. Dalam bahasa Arab kata mus}a<harah diambil dari akar kata s}a>hara yus}a>hiru mus}a>haratan yang mempunyai arti menjadikan keluarga.[15]
3.         Zina
Zina adalah perbuatan bersenggama antara seorang laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan perkawinan.[16] Zina yang dimaksud penulis di sini adalah hubungan intim yang terjadi di kemaluan depan antara seorang laki-laki dan perempuan yang terjadi di luar suatu akad pernikahan yang sah.
4.         Musytarak
Musytarak adalah suatu istilah yang digunakan untuk kata yang mempunyai dua arti yang sebenarnya dan arti-arti tersebut berbeda-beda. Kata Musytarak dalam bahasa Arab berasal dari akar kata isytaraka yasytariku isytira>kan yang berarti bersekutu[17] atau dengan kata lain berkumpul menjadi satu.

D.           Landasan Teori
1.      Wanita-Wanta Yang Haram Dinikahi
Firman Allah SWT dalam Qs. An-Nisaa ayat 22-24:

وَلَا تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَاؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَاءِ إِلَّا مَا قَد سَلَفَ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَة وَمَقتا وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu terkecuali pada masa yang telah lampai. Sesungguhnya perbuatan itu amatlah dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh).”

حُرِّمَتْ عَلَيكُم أُمَّهَٰتُكُم وَبَنَاتُكُم وَأَخَوَٰتُكُم وَعَمَّٰتُكُم وَخَٰلَٰتُكُم وَبَنَاتُ ٱلأَخِ وَبَنَاتُ ٱلأُختِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِي أَرضَعنَكُم وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَائِكُم وَرَبَٰئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَائِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلتُم بِهِنَّ فَإِن لَّم تَكُونُواْ دَخَلتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيكُم وَحَلَٰئِلُ أَبنَائِكُمُ ٱلَّذِينَ مِن أَصلَٰبِكُم وَأَن تَجمَعُواْ بَينَ ٱلأُختَينِ إِلَّا مَا قَد سَلَفَ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورا رَّحِيمًا

“Diharamkan atas kamu (mengenai) ibu-ibumu; anak-anak yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudara yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang sudah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campuri dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);, dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

وَٱلمُحصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَت أَيمَٰنُكُم كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيكُم وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاءَ ذَٰلِكُم أَن تَبتَغُواْ بِأَموَٰلِكُم مُّحصِنِينَ غَيرَ مُسَٰفِحِينَ فَمَا ٱستَمتَعتُم بِهِ مِنهُنَّ فَ‍َٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَة وَلَا جُنَاحَ عَلَيكُم فِيمَا تَرَٰضَيتُم بِهِ مِن بَعدِ ٱلفَرِيضَةِ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

"Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri yang telah kamu nikahi (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."

Dalam tiga ayat di atas Allah menyebutkan perempuan-perempuan yang haram dinikahi. Dengan mencermati firman Allah tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa tidak semua perempuan bisa dinikahi, karena wanita yang akan dinikahi harus dapat dipastikan tidak termasuk muharrama>t. Dan faktor penyebab keharaman nikah seorang perempuan atas seorang laki-laki terbagi 2 macam[18]:
a.       Mu’abbadah
Mu’abbadah yaitu pengharaman yang berlaku selama-lamanya, seorang perempuan tidak boleh menjadi isteri seorang laki-laki untuk selamanya. Keharaman ini ada tida macam:
1)      Sebab nasab
a)      Ibu
b)      Anak perempuan
c)      Saudara perempuan
d)     Bibi dari pihak ayah
e)      Bibi dari pihak ibu
f)       Anak perempuan saudara laki-laki
g)      Anak perempuan saudara perempuan
2)      Sebab perkawinan atau musha>harah
a)      Ibu istri (ibu mertua), dan tidak dipersyaratkan tahrim ini suami harus dukhul ”bercampur” lebih dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah dengan puterinya, maka sang ibu menjadi haram atau menantu tersebut.
b)      Anak perempuan dari isteri yang sudah didukhul (dikumpul), oleh karena itu, manakala akad nikah dengan ibunya sudah dilangsungkan namun belum sempat (mengumpulinya), maka anak perempuan termasuk halal bagi mantan suami ibunya itu.
c)      Isteri anak (menantu perempuan).
d)     Isteri bapak (ibu tiri).
3)      Sebab persusuan
a)      Ibu yang menyusui serta garis lurus ke atas.
b)      Keturunan ibu yang menyusui serta garis lurus ke bawah.
c)      Saudara-saudara sepersusuan dan keturunan-keturunannya.
d)     Bibi-bibi radha’ah, baik saudari suami ibu yang menyusui atau saudari ibu yang menyusui langsung.
e)      Ibu isteri dari radha’ah, serta garis luru ke atas.
f)       Isteri ayah dan ke atasnya dari radha’ah.
g)      Isteri anak laki-laki dan ke bawahnya dari radha’ah.
h)      Anak perempuan isteri dari radha’ah.
b.      Mu’aqqatah
Mu’aqqatah yaitu pengharaman yang bersifat sementara, jika nanti keadaan berubah, gugurlah keharaman itu dan juga menjadi halal. Berikut 5 macam bagiannya:
1)      Saudari isteri
2)      Wanita kelima bagi yang beristeri empat orang wanita
3)      Wanita yang tidak beragama samawi
4)      Wanita yang ditalak tiga
5)      Wanita yang masih dalam ikatan perkawinan atau dalam masa iddah.[19]

2.      Sumber Hukum Islam
a.       Sumber hukum Islam pada masa Rasulullah
Sumber hukum Islam pada fase ini terhimpun dalam satu sumber yaitu wahyu yang diturunkan langsung  kepada Rasulllah dari Allah. Wahyu sendiri ada dua macam, yakni wahyu yang terbaca yaitu Alquran, dan wahyu yang tidak dapat dibaca yakni Sunnah.[20]
1)      Alquran
Alquran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad secara berangsur-angsur dari malam ke-17 Ramadahan pada tahun ke-41 dari kelahiran nabi Muhammad,[21] kitab yang membacanya bernilai ibadah. Alquran merupakan sumber pertama dan utama bagi penetapan hukum Islam, ia meliputi semua ajaran pokok dan semua kaidah yang harus ada dalam pembuatan produk hukum Islam.
Seperti yang diketahui Alquran tidak diturunkan sekaligus, akan tetapi dengan cara berangsur-angsur. Dan ternyata hal itu memiliki hikmah, salah satunya yaitu untuk mengokohkan hati Rasulullah, apalagi Baginda merasa takut ketika pertama kali bertemudengan Jibril, setelah itu wahyu terputus beberapa waktu sehingga hati Baginda menjadi rindu dengan wahyu. Allah berfirman dalam surah Al-Furqan ayat 32:
وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَولَا نُزِّلَ عَلَيهِ ٱلقُرءَانُ جُملَةً وَٰحِدَةً كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِۦ فُؤَادَكَ وَرَتَّلنَٰهُ تَرتِيلًا

“Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).”

2)     Sunnah
Sunnah adalah segala sesuatu yang datangnya dari Nabi Muhammad dari segi perkataan, perbuatan, atau ketetapannya, dan tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah adalah seorang penyampai dari Allah.[22] Sebagaimana firman Allah Al-Maidah ayat 67:
يَٰأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ بَلِّغ مَا أُنزِلَ إِلَيكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّم تَفعَل فَمَا بَلَّغتَ رِسَالَتَهُۥ وَٱللَّهُ يَعصِمُكَ مِنَ ٱلنَّاسِ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهدِي ٱلقَومَ ٱلكَٰفِرِينَ

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

b.      Sumber hukum Islam pada masa Khulafa> Ar-Ra>syidi>n
Pada periode ini sumber hukum Islam ada empat[23], yakni:
1)      Alquran
2)      Sunnah
3)      Ijma’
4)      Ra’yu
c.       Sumber hukum Islam pada masa Tabi’in
pada periode ini ada tiga yang menjadi sumber hukum Islam,[24] yaitu:
1)      Alquran
Pada masa ini Alquran mulai dikodifikasikan dan memunculkan pernyataan bahwa dalil-dalil Ah}ka>m yang terdapat dalam Alquran bersifat qat}’i al-wuru>d. Hal ini tersirat dalam proses kodifikasi Alquran sendiri menjadi beberapa nusakh, yang dalam prosesnya dijamin kemutawatirannya, baik dalam proses penukilan maupun penulisannya.
2)      Sunnah
Belum terjadi kodifikasi sunnah karena kekhawatiran akan tercampurnya Alquran dan Sunnah. Namun demikian, hal ini berdampak terhadap beberapa hal berikut:
                                                      I.            Adanya upaya mempelajari hadis dari aspek periwayatannya untuk mengetahui keshashihan hadis. Kemudian muncullah pembagian hadis menurut periwayatannya menjadi hadis yang qat}’i al-wuru>d dan z}anni al-wuru>d.
                                                   II.            Munculnya silang pendapat kehujahan sunnah sebagai sumber tasyri’.
3)      Ijtihad sahabat
Belum terjadi kodifikasi dalam produk ijtihad yang bersifat fardiyah. Namun semangat yang digunakan sebagai kerangka dalam berijtihad ini mulai muncul yaitu dar’u al-mafa>sid wa jalb al-mas}a>lih}.
Semakin berkembang peradaban zaman semakin banyak pula melahirkan tokoh-tokoh yang menjadi pewaris para Nabi, yang kemudian banyak membawa pembaharuan-pembaharuannya dalam perumusan hukum Islam. Dan akhirnya, para ulama sepakat terhadap kehujahan dalil-dalil syar’i yang empat, yaitu Alquran, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Mereka juga sepakat bahwa rujukan utama dari keempat dalil tersebut adalah Alquran. Sebab, apa yang bersumber dari nabi Muhammad adakalanya merupakan penjelasan dan penetapan terhadap apa yang ada di dalam Alquran. Dan adakalanya pensyari’atan itu dari intisari Alquran dan dasar-dasarnya. Dan juga, Ijma’ harus mempunyai sandaran yang merujuk pada Alquran dan Sunah. Sedangkan Qiyas fungsinya adalah sebagai penjelas bahwa hukum yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya pada suatu permasalahan tertentu, juga bisa berlaku pada permasalahan yang lain, jika mempunyai kesamaan ‘illat, yaitu faktor penentu hukum tersebut.[25]

3.      Sanad dan Matan Hadis
a.      Sanad
الطريقة الذي يوصل إلي متن الحديث, وهو سلسلة الرواة الناقلين عن الرسول صلي الله عليه وسلم, والذين استند إليهم الراوي في حديثه.[26]

“Sanad ialah jalan yang tersambung sampai matan hadis, yaitu mata rantai para perawi yang mengambil dari Rasulullah, dan yang kemudian mereka itu disandarkan oleh seorang perawi dalam hadisnya.”

Sanad merupakan faktor yang sangat menentukan dalam keabsahan sebuah hadis. Sanad dalam pemahaman sederhana adalah mata rantai sejarah yang terdiri dari manusia-manusia yang menghubungkan antara pencatat hadis dengan sumber riwayat. Jika hal itu adalah Rasulullah maka akan disebut hadis marfu’, jika seorang sahabat maka disebut hadis mauquf, dan jika dari seorang tabi’in maka disebut hadis maqthu’. Yang menjadi objek kajian pada sanad ini adalah kualifikasi perorangan dalam jajaran rantai narasi tersebut, dan hubungan antara masing-masing perawi yang di atas dengan di bawahnya secara berurutan.
Tentang kualifikasi seorang perawi, berdasarkan data sejarah, ada dua aspek yang dipersoalkan.[27]
1)      Aspek yang bersifat umum dalam kajian sejarah, yaitu tentang kualitas intelektual perawi, terutama tentang daya serap dan daya simpan informasi yang ia peroleh dari sumber tertentu, atau yang disebut dengan istilah dhabith.
2)      Aspek yang kajian khususnya adalah keislaman, yaitu aspek keberagamaan atau ketaatannnya, atau yang disebut dengan istilah ‘adalah.
Dalam kedua aspek ini sebagai analisis sejarah, keduanya didasari pada data atau informasi historis yang dicatat dan dibukukan oleh para sejarawan yang ahli di bidangnya. Para sejarawan perawi hadis ini sendiri memiliki persyaratan dan kualifikasi yang relatif ketat. Data sejarah inilah yang diakumulasikan bagi upaya induksisasi sebuah kesimpulan ilmiah tentang seorang perawi hadis. Jika seluruh perawi dalam sanad mendapat nilai positif dengan tingkatan yang beragam, maka dua aspek dari persyaratan keabsahan narasi hadis tadi sudah terpenuhi. Dua syarat itu belum cukup, akan tetapi masih perlu membuktikan keabsahan hubunngan antar perawi dalam proses penyampaiannya atau yang disebut tahammul wal ada’,[28]
b.      Matan
المتن هو ما انتهي إليه السند من الكلام أو هو الكلام المذكور بعد السند.[29]

“Matan ialah suatu teks hadis yang sanad itu berhenti padanya, atau suatu teks hadis yang disebutkan sesudah sanad.”

Dalam analisis teks hadis sebagai upaya menemukan pesan-pesan moral atau pesan agama yang terkandung di dalamnya, ada beberapa asumsi dasar yang perlu digarisbawahi. Tanpa landasan yang jelas dalam proses pemahaman, seorang analis tidak dapat menentukan pangkal tolak analisisnya dan tidak dapat memilih dan memilah kasus-kasus kehadisan. Tanpa itu, bisa saja orang akan terjebak pada kasus yang sesungguhnya merupakan masalah marginal dalam agama dan mengabaikan atau tidak berkesempatan untuk menelaah, memikirkan, dan mengembangkan hal-hal yang bersifat substantif. Orang dapat disibukkan oleh warna kulit tanpa sempat menguak isinya. Sejumlah asumsi yang dimaksud ialah di antaranya:
1)      Hadis sebagai teks agama
Teks-teks hadis secara filosofis adalah teks-teks agama yang nilai keberadaannya didasari oleh iman. Sebagai bagian dari agama, kebenaran substantif yang tersurat dan tersirat dalam hadis Rasulullah bersumber dari Allah, atau sering disebut bersifat wahyu. Rasulullah hanya berperan sebagai media dan terlibat dalam aspek verbalisasi atau teksasi substansi kebenaran hadis tersebut. Dalam hal ini, memang berbeda dengan Alquran yang berkenaan degan isi dan redaksional teksnya bersumber dari Allah. sementara hadis tidak demikian. Artinya, teks hadis tersebut tidak lepas dari dampak perjalanan waktu. Teks hadis dalam perjalannya dari huku ke hilir, dari guru pertama yakni Rasulullah, sampai kepada pembuku hadis, telah mengalami imbasan sejarah dengan segenap konsekuensinya.
2)      Kontekstualitas hadis
Sama dengan Alquran, sejumlah hadis dalam upaya pemahaman sangat erat hubungannya dengan konteks tertentu, misalnya kapan Rasulullah menyampaikan berita atau bersikap, bertindak atau berperilaku, di mana, dalam kondisi bagaimana, kepada siapa beliau menyampaikan, dan sebagainya. Pemahaman hadis yang bernuansa kontekstual tanpa memperhatikan kontekstualitasnya akan melahirkan sebuah pemaknaan yang barangkali sesuai dengan makna lahir teks, namun tidak sesuai dengan pesan moral yang disampaikan Rasulullah.
3)      Dimensi metafisika
Sama dengan Alquran, teks hadis ada juga yang dapat didekati dengan pendekatan rasional, yaitu hadis yang berhubungan dengan kehidupan atau amalan yang riil di dunia nyata, dan ada yang bersifat informasi yang  berhubungan dengan kehidupan ghaib, menyangkut surga dan neraka, dan lain-lain. Pada hal-hal yang berkaitan dengan informasi ghaib, pendekatan rasional tidak dapat menyelesaikan persoalan. Dalam hal seperti ini, diperlukan pendekatan yang bersifat supra-rasional.
Pada tataran ini, manusia hanya dapat menerima sebuah fakta atau kebenaran meskipun akal tidak dapat mencernanya. Rasionalisasi pada suatu yang bernuasa ghaib ini akan berakibat fatal serta akan muncul klaim-klaim mati ataupun penolakan sebuah hadis tanpa landasan epistemologos dan aksiologis yang jelas. Akibatnya, terjadi pemaksaan rasionalistas dengan tata pikir yang tidak rasional. Maksudnya, rasionalisasi pada bidang yang bukan wilayah empiris merupkan tindakan yang tidak rasional; atau dengan bahasa lain, salah dalam penggunaan pisau analisis. Pada kasus-kasus hadis yang bernuansa ghaib atau tidak dapat dicerna oleh akal manusia, khususnya dalam kajian ilmu keislaman, diperlukan epistemologi plus, artinya bersifat khusus bagi orang-orang yang beragama atau beriman.

4.      Musytarak
a.       Pengertian musytarak
Musytarak ialah suatu kata yang yang mempunyai dua arti yang sebenarnya dan arti-arti tersebut berbeda-berbeda. Seperti kata ‘ain yang mempunyai arti mata, mata air, dan benda. Apabila arti yang sebenarnya hanya satu dan yang lain  arti majazi, maka tidaklah dikatakan musytarak.[30]
b.      Penyebab adanya kata musytarak
Munculnya kata dengan makna yang musytarak disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya yaiu:
1)      Karena bangsa arab terbagi atas berbagai suku, misalnya ada suku Adnan, suku Qathan, dan suku Quraisy. Masing-masing suku berpencar-pencar dalam beberapa dusun yang berbeda tempat dan lingkungannya. Kadang-kadang, suatu suku memaknai sebuah kata tertentu menurut kesepakatan suku bersangkutan, sedangkan suku lainnya berbeda dalam memaknai hal yang sama. Meskipun demikian, semua makna menunjukan makna sesugguhnya atau disebut dengan makna hakiki.
2)      Antara kedua pengertian terdapat arti dasar yang sama. Oleh karena itu suatu kata bisa digunakan untuk kedua pengertian tersebut, yang disebut isytirak ma’nawi. Kadang-kadang orang melupakan yang dapat mengumpulkan kedua pengertia tersebut, dan menduga hanya isytirak lafzhi. Sebagaimmana kata qur’un  arti semula ialah waktu tertentu. Oleh karena itu, malaria disebut qur’un, karena mempunyai waktu tertentu. Perempuan dikatakan mempunyai qur’un sebab ia datang bulan pada waktu yang tertentu dan waktu suci yang tertentu. Arti dasar yang menghubungkan berbagai penngertian qur’un ialah waktu tertentu, yakni isytirak ma’nawi. Akan tetapi, arti yang menghubungkan ini kemudian dilupakan, sehingga tidak dikenal hubungannya suci dan datang bulan, lalu kemudian dinamakan isytirak lafzhi.
3)     Pada mulanya, suatu kata digunakan untuk satu arti, kemudian berpindah pada arti yang lain dengan majaz, karena adanya ‘alaqah atau hubungan. ‘Alaqah ini dilupakan dan kemudian hilang, maka kata tersebut diduga digunakan untuk dua arti yang sebenarnya, tanpa mengetahui adanya ‘alaqah tersebut. [31]

c.       Kaidah pada kata musytarak
إذا ورد في النص الشرعي لفظ مشترك, فإن كان مشتركا بين معني لغوي و معني اصطلاحي شرعي, وجب حمله علي المعني الشرعي, وإن كان مشتركا بين معنيين أو أكثر من المعاني اللغوية وجب حمله معني واحد منها بدليل يعينه, ولا يصح ان يراد بالمشترك معنياه أو معانيه معا.[32]

“Apabila terdapat suatu kata musytarak pada nash syariat, maka jika musytarak antara makna secara bahasa dan makna secara istilah syariat, maka wajib memaknainya dengan makna syariat, dan jika musytarak antara dua makna atau lebih dari makna secara bahasa, maka wajib memaknainya dengan salah satunya saja dengan dalil yang menentukannya. Sebab, dua kata yang maknanya musytarak tidak akan bisa dipahami sekaligus.”

Jadi, apabila kata musytarak yang muncul dalam nash syariat adalah musytarak antara makna kebahasaan dan makna istilah syariat, maka wajib memaknainya dengan makna istilah syariat. Seperti kata shalat yang menurut bahasa bermakna doa dan menurut istilah syariat adalah ibadah yang khusus, seperti firman Allah surah Al-An’am ayat 72:
وَأَن أَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّقُوهُ وَهُوَ ٱلَّذِي إِلَيهِ تُحشَرُونَ

“Dan agar mendirikan sembahyang serta bertakwa kepada-Nya". Dan Dialah Tuhan yang kepada-Nya-lah kamu akan dihimpunkan.”

Kata shalat di atas dimaksudkan untuk makna istilah syariatnya yaitu ibadah yang khusus bukan makna kebahasaannya yaitu doa. Dan kata talak yang menurut kebahasaan bermakna melepaskan sedangkan menurut istilah syariat adalah melepaskan ikatan perkawinan yang sah, seperti dalam ayat 229 surah Al-Baqarah:
الطَلَاقُ مَرَّتَانِ..
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali..”
Kata talak yang dibawa oleh ayat di atas bermakna secara syariat dan tidak bermakna kebahasaan. Karena itulah, setiap kata musytarak antara makna syariat dan makna kebahasaan yang muncul dalam nash syariat, maka sya>ri’ yakni Sang Pembuat syariat menghendakinya bermakna dengan makna syariat pula. Ketika makna sebuah kata yang dipakai oleh sya>ri’ untuk makna khusus yang diambil dari makna kebahasaannya, maka dapat dipastikan kata itu mempunyai petunjuk yang tertentu pada apa yang dimaksud oleh sya>ri’.[33]
Apabila kata musytarak yang muncul dalam nash syariat adalah musytarak antara beberapa makna kebahasaan, maka wajib mengerahkan segenap kemampuan untuk menemukan suatu qari>nah atau petunjuk yang menentukan makna yang dimaksud dalam nash tersebut. Seperti contoh, surat Al-Baqarah ayat 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ...
Isteri-isteri yang diceraikan, hendaklah berdiam diri (beriddah) tiga kali suci.

Lafal Qur’u mempunyai dua arti, yaitu haid dan suci. Antara kedua arti tersebut adalah makna yang dikehendaki ayat tersebut. Ulama Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa yang dimaksud Qur’u adalah suci dengan qari>nah kata s|ala>s|ah yang merupakan kata bilangan. Kata bilangan memperlakukan objek yang dibilanginya menjadi kebalikan sifat mu’annas| dan muz|akkar kata tersebut. Maka sifat mu’annas pada kata bilangan dalam ayat di atas menjadi petunjuk bahwa objek yang dibilangi olehnya adalah kata yang muz|akkar. Dan dalam bahasa arab kata muz|akkar diantara haid dan suci adalah kata suci. Maka dari itu, oleh mereka kata Qur’u dalam ayat di atas bermakna suci.[34]
Berbeda dengan ulama Hanafiyah dan Hanabilah, mereka memaknai kata Qur’u tersebut dengan haid. Menurut mereka, kata s|ala>s|ah adalah kata yang khusus, sedangkan kata yang khusus mempunyai petunjuk yang pasti, bahwa masa iddah adalah tiga kali suatu masa tanpa adanya tambahan dan pengurangan dan ini membuktikan bahwa yang dimaksud dengan kata Qur’u adalah haid.[35]

5.      Hakikat dan Majaz
Suatu kata di dalam kegunaannya pada makna ada dua macam, yaitu hakikat dan majaz.
a.       Hakikat
Tidak ada bantahan bahwa di dalam Alquran terdapat kata-kata yang mempunyai makna sesungguhnya yang disebut makna hakiki.
الحقيقة هي اللفظ المستعمل فيما وضع له ابتداء أي ما بقي في الإستعمال علي موضوعه اللغوي الأول.[36]

"Hakikat adalah lafazh yang digunakan pada apa yang menjadi maknanya sejak awal peletakan maknanya secara kebahasaan."

Makna hakikat dari suatu lafazh ada tiga macam:
1)      Makna hakikat menurut syari’at
Suatu lafazh yang bermakna hakikat dengan ketentuan syari’at seperti kata shalat yang digunakan oleh syari’at untuk ibadah yang khusus.
2)      Makna hakikat menurut peletakan kebahasaan
Suatu lafazh yang bermakna hakikat dengan ketentuan kebahasaan seperti kata asad (singa) yang digunakan oleh kesepakatan bahasa untuk binatang buas.
3)      Makna hakikat menurut ‘urf (tradisi)
Suatu lafazh yang bermakna hakikat dengan ketentuan tradisi seperti kata da>bbah yang digunakan untuk makna binatang berkaki empat oleh ketentuan tradisi.
b.      Majaz
المجاز هو اللفظ الذي تعدي به في الإستعمال و نقل عن معناه الموضوع له اللغوي إلي معني ثان مجازي لعلاقة بينهما. [37]

“Majaz adalah suatu lafazh yang melampaui makna asal penggunaannya, dan diambil dari makna asal kebahasaan sehingga muncul makna yang kedua sebagai makna majaz karena ada hubungan di antara keduanya.”

Terjadinya majaz bisa dengan pengurangan, penambahan, pemindahan, dan peminjaman kata. Artinya, bahwa makna majaz bisa muncul dengan sebab pengurangan kata, penambahan kata, pemindahan kata, dan peminjaman kata untuk mengoperasikan makna tersebut. Berikut pembagiannya:
1)      Majaz bi An-Naqshi  atau dengan pengurangan kata
Adapun majaz dengan pengurangan kata contohnya adalah pengurangan kata Ahlu sebelum kata al-qaryah pada ayat 82 surah yusuf:
وَاسْأَلِ القَريَةَ ٱلَّتِي كُنَّا فِيهَا وَٱلعِيرَ ٱلَّتِي أَقبَلنَا فِيهَا وَإِنَّا لَصَٰدِقُونَ
"Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar"
Jika ayat di atas dipahami secara makna hakikat maka yaitu negeri, maka tidak logis jika bertanya pada sebuah negeri. Maka makna majaz muncul di sana, “tanyakan pada negeri” maksudnya adalah ”tanyakan pada penduduk negeri”. Perlu diketahui, kurangnya kata Alhu pada ayat di atas bukan berarti Alquran mengandung kekurangan dalam arti sebenarnya, akan tetapi gaya bahasa seperti ayat di atas, memang sebuah ungkapan bahasa yang dipakai oleh ahli sastra dan ahli ushul bahasa arab. Sebagaimana kita tahu bahwa Alquran adalah kalam Allah yang sempurna yang tiada penambahan dan pengurangan padanya.
2)      Majaz bi Az-Ziyadah  atau dengan penambahan kata
Firman Allah surah Asy-Syura ayat 11:
لَيسَ كَمِثلِهِۦ شَيء وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلبَصِيرُ

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat".
Huruf Kaf pada kalimat kamitslihi> adalah tambahan untuk kebutuhan majaz. Jika seandainya, tidak ada huruf itu, maka maknanya hanya meniadakan satu permisalan dari permisalan yang lain dan akan sama dengan yang lain, dan ini mustahil pada dzat Allah.
3)      Majaz bin An-Naql dengan pemindahan kata
Firman Allah surah An-Nisa ayat 43:
أَو جَاءَ أَحَد مِّنكُم مِّنَ ٱلغَائِطِ
“Atau salah seorang kamu datang dari tempat buang air”

Lafazh Al-gha>ith yang dipindahkan dari makna hakikinya, yaitu tempat yang tenang di bumi ke makna kotoran manusia. Sebab siapapun yang ingin membuang air pastilah ia menuju ke tempat itu, maka kotoran yang keluar dari manusia itu dimaknai dengan tempat yang melazimi hal itu.
4)      Majaz bi al-isti’arah atau dengan peminjaman kata
Firman Allah surah Al-kahfi ayat 77:
فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ

“kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu.”

Kata yuridu dalam ayat itu bukan arti kehendak yang sebenarnya sebab tidak ada kehendak bagi benda mati, seperti ayat di atas tidak mungkin sebuah dinding memiliki kehendak. Dengan demikian, dialihkan makna hakikatnya ke makna majaz, yaitu hampir roboh. Majaz yang seperti ini dinamakan majaz isti’arah (meminjam), sebab kehendak itu adalah perkara kemanusiaan yang kemudian disandarkan kepada kata benda mati. Artinya, kata yuridu dipinjamkan untuk lafazh jidar (dinding) untuk kebutuhan majaz.[38]




A.      Biografi Asy-Syafi’i
1.    Nasab Dan Kelahirannya
Nasabnya dari pihak ayahnya yaitu, Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’i bin Sa’ib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthallib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay al-Quraysyi al-Muthallib. Nasab Asy-Syafi’i bertemu dengan nasab Rasulullah pada titik ‘Abdu Manaf. Dengan demikian, jika ditilik dari jalur paman dan bibi Asy-Syafi’i dari jalur ayah, ia adalah keponakan jauh Rasulullah.[39] Nasab nabi muhammad berasal dari suku quraisy bani hasyim, sedangkan nasab Asy-Syafi’i dari jalur ayah berasal dari suku quraisy bani Muthallib. Adapun pendapat lain mengenai hal ini merupakan pendapat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Seperti pedapat Al-Jurjaniy seorang ulama Hanafiyah bahwa kakek Asy-Syafi’i yang bernama Syafi’i, itu bukanlah seorang Quraisy asli, akan tetapi ia adalah budak Abu Lahab, dengan demikian Al-Jurjani berkesimpulan bahwa Asy-Syafi’i adalah budak. Pendapatnya ini tidak diakui oleh para ahli nasab.[40]
Allah telah memberikan keunggulan kepada suku quraisy dibandingkan suku-suku lainnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kitab Shahih Muslim, sebuah hadis riwayat Wali’ah bin Al-Asqa’.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِهْرَانَ الرَّازِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَهْمٍ جَمِيعًا عَنْ الْوَلِيدِ قَالَ ابْنُ مِهْرَانَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ أَبِي عَمَّارٍ شَدَّادٍ أَنَّهُ سَمِعَ وَاثِلَةَ بْنَ الْأَسْقَعِ يَقُول سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ. رواه مسلم[41]

"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mihran Ar Raazi dan Muhammad bin Abdurrahman bin Saham seluruhnya dari Al Walid. Ibnu Mihran berkata; Telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim Telah menceritakan kepada kami Al Auza'i dari Abu Ammar Saddad bahwa dia mendengar Watsilah bin Asqa' berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah dari anak Ismail, memilih Quraisy dari Kinanah, memilih Bani Hasyim dari Quraisy, dan memilihku dari Bani Hasyim”.”

Dalam kitab Ma>qib As-Sya>fi’i>, Al-Baihaqi menyebutkan hadis-hadis yang menunjukan keutamaan suku quraisy dan ilmu dari seorang alim quraisy memiliki kemampuan dalam memenuhi lapisan bumi. Salah satunya adalah riwayat berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلي الله عليه وسلم أنه قال: اللهم اهد قريشا فإن عالمها يملأ الأرض علما, اللهم كما أذقتهم عذابا فأذقهم نوالا.

“ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kaum quraisy karena seorang quraisy yang berilmu dapat memenuhi lapisan bumi dengan ilmunya. Ya Allah, sebagaimana engkau timpakan kepada mereka siksa, maka berikanlah kepada mereka anugrah (ilmu).”

Nabi Muhammad memanjatkan do’a tersebut sebanyak tiga kali. Kemudian Al-Baihaqi menyatakan, sanad-sanad hadis mengenai keutamaan suku qraisy jika digabungkan maka akan saling menguatkan sehingga menjadi riwayat yang kuat.[42] Dengan demikian, nabi Muhammad adalah keturunan bani Hasyim dan Asy-Syafi’i adalah keturunan bani Muthallib dari jalur ayah.[43]
Asy-Syafi’i lahir pada bulan Rajab tahun 150 Hijriah (767 Masehi). Di Gaza, Palestina, ia lahir di tengah keluarga yang sederhana, yang kadang-kadang menderita kesulitan. Menurut riwayat, Asy-Syafi’i lahir bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Pendapat ini dikukuhkan oleh Imam An-Nawawi dalam karyanya Tahdzi>b Al-Asma> wa Al-Lugha>t.
أجمعوا علي أنه ولد سنة خمسين ومائة وهي السنة التي توفي فيها أبو حنيفة رحمه الله تعالي[44]

“Para ulama sepakat bahwa Asy-Syafi’i dilahirkan pada tahun 150, yang pada tahun itu Abu Hanifah diwafatkan”.

Artinya, ketika Asy-Syafi’i dilahirkan dan ibunya telah menamakan dia dengan nama Muhammad, maka berselang beberapa hari kemudian sampailah berita dari Baghdad yang menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah telah wafat, dan telah dimakamkan di Rashafah, Baghdad sebelah timur.[45]
Tempat kelahiran beliau ini sebenarnya bukanlah tempat kediaman ayahnya, karena ayahnya adalah orang Hijaz, Mekah, yang hidup sederhana dan pindah ke Madinah kemudian hijrah Palestina, tepatnya di Gaza atau Asqolan.[46] Setelah wafat ayahnnya, Asy-Syafi’i diasuh oleh ibu beliau sendiri. Meski harus menanggung beban sendiri, karena sang ayah telah tiada, namun ibunda Syafi’i tidak pernah merasa gusar dan mampu memikul tanggung jawab itu sendiri. Ketika Syafi’i kecil masih menyusu, ia membawanya dari Gaza ke Asqolan. Kemudian demi kebaikan masa depan anaknya, sang ibunda memutuskan untuk pergi ke Mekah dan menetap di kota itu. Alasannya karena Mekah adalah tanah kelahiran nenek moyangnya dan tempat lahirnya para ulama ahli Fiqih, penyair dan sastrawan. Pertimbangan lain adalah Syafi’i kecil dapat tumbuh di lingkungan yang baik dan mengenyam berbagai disiplin ilmu yang dikehendakinya. Padahal secara pribadi, hidup di Palestina lebih baik daripada di Mekah, karena banyak keluarganya dari suku Azdi yang tinggal di situ, akan tetapi sang ibu lebih mengutamakan anaknya. Asy-Syafi’i bercerita:
فخافت أمي علي الضيعة وقالت ألحق بأهلك فتكون منهم فإني أخاف أن يغلب علي نسبك, فجهزتني أمي إلي مكة.[47]

“Ibuku khawatir hidupku tersia-sia. Ibuku mengatakan: pergilah untuk menyusul keluargamu yang ada di Mekah agar kamu bisa menjadi seperti mereka, karena aku takut kamu kehilangan nama besar keluarga, akhirnya ibuku mempersiapkanku untuk berangkat ke Mekah”.

2.      Masa Pertumbuhan dan Pendidikan Syafi’i
Asy-Syafi’i menghabiskan masa kanak-kanak, remaja, muda, dan sebagian hidupnya di wilayah Hijaz. Sebagaimana kita ketahui bahwa tempat menetap pertama Syafi’i adalah Mekah untuk belajar Alqur’an dan hadis. Kemudian ia pindah ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik, bahkan juga pernah mondok di pedalaman Arab Badui untuk mengusai bahasa dan sastra. Jarang sekali ia meninggalkan Hijaz, hanya sesekali ke Yaman dan Irak. Memang Asy-Syafi’i adalah orang miskin dan berasal dari keluarga sederhana. Namun, hal itu tdak membuat dirinya rendah diri, karena kemiskinan bukan aib. Sebaliknya, kemiskinan dapat memotivasi dirinya untuk bekerja keras dan berjuang gigih. Asy-Syafi’i ingin membuktikan bahwa harta bukan segalanya bagi penuntut ilmu. Tetapi, kemauan keras, keuletan, ketabahan, dan kesungguhan adalah kunci untuk meraih kesuksesan. Karena itu, Asy-Syafi’i tidak pernah mengenal lelah dan jera untuk mencari ilmu. Sebagai sarananya, ia mengumpukan tembikar dan apa saja yang dapat dijadikan sebagai buku tulis untuk menorehkan semua ilmu yang ia dengar dari para gurunya.[48]
Imam Fakhrurazi mengungkapkan dalam kitabnya Mana>qib Al-Ima>m Asy-Syafi’i>, bahwa para ulama menyebutkan latar belakang keluarga Asy-Syafi’i adalah miskin. Semenjak masuk bangku sekolah, para guru tidak pernah menerima bayaran sepeser pun dari Asy-Syafi’i. Akibatnya, sang guru tidak mngajarkan sepenuh hati kepada Syafi’i kecil. Namun, setiap kali guru mengajarkan sesuatu kepada anak-anak, Syafi’i kecil langsung dapat menghafalnya. Karena itu, ketika gurunya beranjak pergi, giliran Syafi’i lah yang mengajar ulang pelajaran itu kepada teman-temannya. Melihat tingkah Asy-Syafi’i yang seperti itu, sang guru merasa ssangat lega karena Asy-Syafi’i telah memberikan sesuatu yang lebih baik daripada uang bayaran sekolah yang diharapkannya. Untuk itu, ia pun membebaskan Asy-Syafi’i dari iuran sekolah. Hal seperti ini terus berlangsunng sampai Asy-Syafi’i mampu menghafal seluruh Alquran pada usia 7 tahun.[49]
Asy-Syafi’i pertama kali belajar Alquran di Mekah dan berhasil menghapalnya di usia yang dini dibawah bimbingan gurunya yaitu Isma’il bin Qisthanthin, syekh kota Mekah di zamannya. Berikut penuturan Syafi’i tentang gurunya di bidang Alquran serta sisilah sanad bacaannya:
قرأت القرآن علي إسماعيل بن قسطنطين, وكان شيخ أهل مكة في زمانه, وقال قرأت القرآن علي شبل بن عباد ومعروف بن مشكان, وقالا قرأنا القرآن علي عبد الله بن كثير, وقال قرأت علي مجاهد, وقال قرأت علي ابن عباس, وقال قرأت علي أبي بن كعب, وقال قرأت علي رسول الله صلي الله عليه وسلم.[50]

“Saya mengaji Alquran kepada Isma’il bin Qisthanthin. Ia adalah syekh penduduk Mekah di zamannya.” Ia berkata (ibnu qisthanthin), Saya belajar mengaji kepada Syibl bin ‘Ibad dan Ma’ruf bin Misykan, keduanya berkata kami belajar dari Abdullah bin Katsir, ia berkata saya belajar dari Mujahid, Mujahid berkata saya belajar dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Abbas berkata saya belajar dari Ubay bin Ka’ab, Ubay bin Ka’ab berkata saya belajar langsung dari Rasulullah.”

Setelah menghafal Alquran Asy-Syafi’i mulai rajin duduk di majelis para ulama untuk belajar hadis dan problemnya. Seperti Imam Muslim bin Khalid Az-Zanny, seorang guru besar dan mufti di kota Mekah pada masa itu. Kemudian Imam Sufyan bin ‘Uyainah, seorang ahli hadis di kota itu.[51] Asy-Syafi’i sangat menyadari bahwa seseorang tidak mungkin dapat memahami makna-makna Alquran, hukum-hukum dan rahasia-rahasianya, tanpa menguasai bahasa Arab dengan baik. Karena Alquran diturunkan dengan bahasa Arab yang fasih. Karena itu, ia harus belajar bahasa Arab, Syair Arab, sastra Arab, dan kisah-kisah Arab agar penguasaan bahasa arabnya menjadi sempurna. Tidak cukup belajar dari para pakar bahasa dan membaca literatur bahasa Arab, Asy-Syafi’i pun lantas mendalami bahasa Arab dari sumber asli. Ia sengaja keluar kota Mekah dan masuk ke pedalaman Arab untuk belajar bahasa arab kepada suku Hudzail, karena suku inilah yang paling fasih berbahasa Arab. Lalu Asy-Syafi’i mulai mempelajari gaya percakapan mereka dan menyelami adat istiadatnya. Hingga akhirnya, Asy-Syafi’i menguasai bahasa, syair, sastra arab dengan penguasaan yang sempurna.[52] Sesuai penuturan Asy-Syafi’i bahwa:
إني خرجت عن مكة فلزمت هذيلا في البادية أتعلم كلامها وآخذ طبعها وكانت أفصح العرب.[53]

“Saya meninggalkan kota Mekah dan tinggal di pedalaman Arab bersama suku Hudzail. Saya mempelajari percakapan dan adat istiadat mereka. Karena Hudzail adalah suku yang paling fasih berbahasa Arab.”

Kemudian Syafi’i kecil ingin belajar fiqih dan hadis secara mendalam. Untuk itu, ia berangkat ke Madinah untuk belajar langsung kepada Malik bin Anas, Imam kota Madinah. Asy-Syafi’i selalu menemani ke manapun Imam Malik pergi sampai sang guru tutup usia pada tahun 179 H. Hal itu karena Asy-Syafi’i memang sangat dekat dengan Imam Malik sehingga dikatakan bahwa Asy-Syafi’i seperti bayangan Imam Malik. Asy-Syafi’i berhasil menghafal kitab Muwaththa’ pada saat berumur 13 tahun. Ia membaca kitab tersebut langsung dihadapan sang guru, Imam Malik. Sang guru sempat berkata kepada Asy-Syafi’i bahwa “carilah orang yang akan membacakan kitab itu untukmu”, namun Asy-Syafi’i mengatakan “aku akan membacanya sendiri”. Dalam beberapa hadis tertentu, sang guru sering menyuruhnya untuk mengulangi bacaan, sehingga Asy-Syafi’i mengulangnya serta menghafalnya. Sebuah cerita Asy-Syafi’i, yang diriwayatkan oleh Harmalah dalam kitab Mana>qib Al-Ima>m Asy-sya>fi’iy, Ar-Razi menyatakan bahwa kisah ini merupakan riwayat yang populer, baik di kalangan pendukung maupun di kalangan pengkritik Asy-Syafi’i. Hafalan Asy-Syafi’i terhadap kitab Muwaththa’ menunjukkan kehebatannya di bidang hadis, karena banyak para penghafal hadis yang tidak sanggup menghafalkan kitab tersebut.[54] Maka dari itu Asy-Syafi’i ini sebenarnya termasuk ahli hadis dan periwayat hadis yang terpercaya, namun ketenarannya di bidang fiqih mengalahkan popularitasnya di bidang hadis.[55]
Di usia yang tergolong dini tersebut Asy-Syafi’i sudah mencapai prestasi yang luar biasa, yaitu mampu menghafal seluruh Alquran dan kemudian berhasil menghafal ribuan hadis dari Imam Malik. Terlebih lagi seperti yang dikatakan Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari:
أصح الأسانيد ما رواه مالك عن نافع عن ابن عمر.[56]
"Jalur periwayatan yang paling shahih adalah apa yang diriwayatkan Malik dari Nafi’ dari Ibnu ‘umar.”

Kecerdasannya inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat muda, yaitu pada usia 15 tahun beliau telah duduk di kursi mufti kota Mekkah.[57] Namun demikian Asy-Syafi’i belum merasa puas menuntut ilmu karena semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum beliau mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru Asy-Syafi’i begitu banyak jumlahnya sama dengan banyaknya para muridnya.
3.      Para Guru Dan Murid Asy-Syafi’i
Imam Ar-Razi menyatakan bahwa guru Asy-Syafi’i jumlahnya cukup banyak. kami hanya akan menyebutkan guru-gurunya dari kalangan ahli fiqih dan fatwa yang terkenal saja. Dalam karya ayahku, Imam Dhiyauddin “Umar bin Hasan menyebutkan jumlahnya 19 guru. Yaitu, 5 orang  berasal dari Mekah, 6 berasal dari Madinah, 4 berasal dari Yaman, dan 4 berasal dari Iraq.[58] Berikut rincian para guru Syafi’i:
a.         Dari Mekah
1)        Sufyan bin ‘Uyainah
2)        Muslim bin Khalid Az-Zanji
3)        Sa’id bin Salim Al-Qaddah
4)        Daud bin Abdur Rahman A-l ‘Aththar
5)        ‘Abdul Majid bin ‘Abdul ‘Aziz bin Abu Daud.
b.         Dari Madinah
1)        Malik bin Anas
2)        Ibrahim bin Sa’ad Al-Anshari
3)        ‘Abdul ‘Aziz Muhammad Al-Darawardi
4)        Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslami
5)        Muhammad bin Sa’id bin Abu Fudaik
6)        Abdullah bin Nafi’ Ash-Shaigh, temannya Ibnu Abi Dzuaib
c.         Dari Yaman
1)        Mutharrif bin Mazan
2)        Hisyam bin Yusuf, seorang hakim di Shan’a
3)        ‘Amar bin Abu Salamah, temannya Al-Auza’iy
4)        Yahya bin Hassan, temannya Abul Laits bin Sa’ad
d.        Dari Iraq
1)        Waki’ bin Al-Jarrah
2)        Abu Usamah Hammad bin Usamah, dua orang pertama ini adalah berasal dari kota Kuffah
3)        Isma’il bin ‘Aliyyah
4)        ‘Abdul Wahhab bin ‘Abdul Majid, dua orang terakhir ini adalah berasal dari kota Bashrah.[59]
Demikianlah nama-nama guru Asy-Syafi’i yang dikutip oleh Imam Ar-Razi dalam karya ayahnya.
Asy-Syafi’i terkenal dengan tokoh yang paling banyak diikuti orang dan mazhabnya disebarkan oleh para ulama sesudahnya. Para ulama yang mengikuti mazhab Syafi’i bukanlah ulama sembarangan, tetapi ulama besar yang banyak menghasilkan karya-karya ilmiah. Bahkan, sebagiannya adalah para ulama yang berkedudukan sebagai mujtahid mutlak. Imam Ar-Razi mengungkapkan tentang murid-murid Syafi’i yang ia kutip dari karya ayahnya sebagai berikut:
a.         Berasal dari Iraq
1)        Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal
2)        Al-Hasan bin Muhammad Ash-Shabah Az-Za’faraniy
3)        Al-Husen Al-Karabisiy
4)        Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalabiy
b.         Berasal dari Mesir
1)        Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya Al-Muzaniy
2)        Abu Muhammad Rabie’ bin Sulaiman Al-Muradiy
3)        Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya Al-Buwaithiy
4)        Abu Hafash Harmalah bin Yahya bin Abdullah bin Harmalah
5)        Abu Musa yunus bin abdul A’la
6)        Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam Al-Mishri
7)        Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidy[60]

4.      Intelektualitas Asy-Syafi’i
Asy-Syafi’i merupakan sosok yang sangat memperhatikan ilmu dan mencintainya melebihi kecintaan terhadap diri sendiri. Sejak kecil, ia sudah terbiasa mencatat semua pelajaran yang disampaikan oleh gurunya, berkenaan degan hadis-hadis, masalah fiqih, dan sebagainya. Kemudian ia meringkas catatan-catatan tersebut untuk dijadikan sumber rujukan ketika ia siap menulis. Hal seperti ini sudah sering ia lakukan sejak pertama kali datang ke Baghdad. Ia membeli karya-karya Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani, kawan dekat Abu Hanifah. Kemudian ia memberikan catatan-catatan dalam setiap pembahasan sebagai bantahan kepadanya. Asy-Syafi’i berkata:
أنفقت علي كتب محمد بن الحسن ستين دينارا ثم تدبرتها فوضعت إلي جنب كل مسألة حديثا.- يعني ردا عليه.[61]

“Saya menghabiskan uang 60 dinar untuk membeli karya-karya Muhammad bin Al-Hasan. Kemudian saya menelitinya satu persatu dan menuliskan satu hadis pada setiap masalah yang dibahasnya”. Ibnu hajar Al-‘Asqalani menegaskan, hadis tersebut sengaja ditulis oleh Syafi’i sebagai kritikan terhadap Muhammad bin Al-Hasan."

Dalam menuangkan gagasan-gagasan dan menuliskannya, Asy-Syafi’i menggunakan metode filsafat dan logika. Karena itu, karya-karyanya bersifat sangat ilmiah, kajiannya mendalam, metodenya jelas, dan analisisnya terarah. Semua itu menggambarkan penguasaan teori yang matang dan pemikiran-pemikirannya yang sangat orisinil. Sebagaimana terlihat dengan jelas dalam karyanya yang sangat monumental, yaitu kitab Ar-Risalah dan Al-Umm. Ia mengawali setiap pembahasan dengan mengetengahkan definisi terlebih dahulu. Kemudian mensistematisasikan pembahasannya denngan klasifikasi yang jelas dan contoh-contoh yang memadai. Setelah itu, ia sebutkan dalil-dalil dan berbagai argumentasi dalam setiap klasifikasinya. Terkadang, ia juga menyebutkan definisi-definisi yang saling bertentangan, agar dijadikan sebagai perbandingan dan penelaahan. Setiap pembahasan diakhiri dengan ulasan terhadap pendapat yang dianggapnya paling mendekati kebenaran.[62]
Gaya berfikir dan metode penulisan seperti ini hanya mampu dilakukan penulis yang betul-betul menguasai tema pembahasan secara mendalam. Sehingga ia bisa menuangkan gagasan-gagasannya dan mengkaji masalah tersebut secara detail dan mendalam. Harapannya, ia dapat menyampaikan sebuah kesimpulan yang benar atau paling mendekati kebenaran, tanpa pembahasan yang bertele-tele dan membosankan. Karena itu, perlu keahlian tersendiri dan perenungan yang mendalam. Untuk menghasilkan ide-ide yang cemerlang dan memperlancar proses perenungan, terkadang Asy-Syafi’i memerintahkan pelayannya agar mematikan lampu, agar ia mampu berfikir dengan jernih. Setelah ia mendapat ide, maka ia segera menyalakan lampunya kembali dan menuliskanya.[63]
Pada saat menulis, Asy-Syafi’i tidak hanya mengandalkan kitab-kitabnya saja, tetapi juga membaca kitab-kitab ulama lain. Tujuannya agar ia mengetahui pendapat-pendapat ulama lain tentang masalah yang sedang ditulis, sekaligus mengkritisi dan memperdebatkan pendapat-pendapat yang dianggapnya kurang tepat. Dalam kitab Tawa>li> At-ta’si>s disebutkan bahwa Asy-Syafi’i datang ke Mesir dan pada 4 tahun terakhir ia sangat rajin menulis. Ia juga memboyong ke Mesir kitab-kitab Ibnu ‘Uyainah yang dimilikinya pada saat di Hijaz. Ia sering menemui Yahya bin Hasan untuk keperluan menulis. Ia juga membawa kitab-kitab dari Asyhab yang berisi ulasan berbagai masalah. Semua kitab-kitab itu, diletakkan di hadapannya, lalu ia mulai menulis. Selesai menulis, Al-Buwaithi ditugaskan untuk membacakan tulisan tersebut. Sedangkan Ar-Rabie’ bertugas melayani kebutuhan Syafi’i dalam berbagai hal.[64]
Aktivitas Syafi’i dalam tulis-menulis tidak diketahui dengan pasti permulaannya. Menurut pendapat yang shahih, ditegaskan bahwa ia sudah mulai menulis ketika masih berada di Mekah, sebelum kedatangannya ke Iraq yang kedua. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Buwaithi, ia berkata, Syafi’i bercerita:
اجتمع عليّ أصحاب الحديث فسألوني أن أضع علي كتاب أبي حنيفة, فقلت لا أعرف قولهم حتي أنظر في كتبهم, فأمرت فكتب لي كتب محمد بن الحسن فنظرت فيها ستة حتي حفظتها ثم وضعت الكتاب البغدادي.- يعني الحجة.[65]

“Para ahli hadis berkumpul menemuiku. Mereka meminta agar aku mengkritik kitab Abu Hanifah. Saya katakan bahwa saya belum pernah meneliti kitabnya dengan seksama. Lalu saya pun melakukan penelitian yang intensif terhadap kitab-kitab mereka, maksudnya para pengikut Abu Hanifah. Saya mengkaji kitab-kitab Muhammad bin Al-Hasan selama setahun penuh, sehingga aku menjadi hafal terhadap kitab-kitab tersebut. Kemudian di Baghdad, saya menuliskan hasil penelitian tersebut dalam sebuah kitab”. Al-Buwaithi menegaskan, kitab tersebut diberi judul Al-Hujjah”.



Karya Asy-Syafi’i yang paling spektakuler adalah kitab Al-Umm. Kitab ini diawali pembahasannya dengan kajian tentang Thaha>rah, Ash-Shalawa>t, Al-Jum’at, Al-Khauf, Al-‘I>d, Al-khusuf, Al-Istisqa>, Ath-Tathawwu’. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang hukum bagi orang yang meninggalkan shalat, tata cara shalat jenazah, zakat, klasifikasi sedekah, puasa, i’tikaf, manasik, haji, jual-beli, dan seterusnya. Jumlah tema yang dibahas dalam kitab Al-Umm kurang lebih 149 tema, dan setiap tema disebut satu kitab.[66]
Dalam kitab Ta>ri>kh at-Tasyri>’ Al-Isla>mi>, syekh Muhammad Al-Khudhari menyatakan:
ومن أجل كتب الشافعي كتابه الموسوم باختلاف الحديث, وقد وضعه انتصارا للسنة علي العموم ولخبر الواحد علي الخصوص, وتكلم فيه عن الإختلاف في الحديث, وهو الذي ارتكز عليه من ردّوا السنة بإطلاق أو اشترطوا للعمل بالحديث شروطا غير كون الراوي له ثقة.[67]

“Karya Asy-Syafi’i yang paling berharga adalah kitabnya yang berjudul Al-Mausum bi Ikhtilaf al-hadits, kitab ini sengaja ditulis oleh Syafi’i sebagai pembelaan terhadap hadis secara umum, dan khususnya hadis Ahad. Dalam kitab ini, dijelaskan mengenai kontroversi penggunaan hadis, mengingat ada sebagian orang yang menolak hadis secara keseluruhan dan ada pula yang terlalu ketat dalam menerapkan syarat-syarat diterimanya hadis”.

Berikut karya-karya Syafi’i yang terkenal:
a.       Al-Hujjah, kitab ini merupakan kitab lama di bidang fiqih klasiknya (madzhab qadim).
b.      Al-Umm, kitab ini adalah satu-satunya karya terbaik dan tak ada bandingannya pada zamannya. Gaya bahasanya sangat indah, redaksinya mengalir seperti air, maknanya mudah ditangkap, dan memancing emosi pembaca. Kitab ini tidak hanya berisi daftar masalah-masalah, teapi masalah itu dibarengi dengan solusi tepat yang dikuatkan dengan dalil-dalil naqliyah dan aqliyah. Pembahasannya sangat mendalam, kritikannya bersifat membangun dan kesimpulannya sangat tepat.
c.       Ar-Risalah, Asy-Syafi’i menulis kitab ini dua kali, yang pertama ditulis sebelum datang ke Mesir dan dikenal dengan sebutan Ar-Risalah Al-Qadimah. Kedua, ditulis di Mesir dan dikenal dengan sebutan Ar-Risalah Al-Jadidah. Kitab Ar-Risalah yang terdapat dikalangan orang-orang sekarang ini adalah kitab yang baru dan kitab ini merupakan kitab pertama yang ditulis tentang usul fiqih.
d.      Al-Mabsuth, Ibnu An-Nadim berkata, bahwa kitab ini adalah salah satu kitab Syafi’i di bidang fiqih yang diriwayatkan langsung oleh Ar-Rabie’ dan Az-Za’farani.
e.       Musnad Asy-Syafi’i, Imam Ar-Razi berkata, “karyanya yang berjudul musnad Asy-Syafi’i adalah kitab yang sangat terkenal dan tidak ada seorang pun yang mencelanya”.[68] Sebagian ulama menyatakan bahwa kitab ini bukan tulisan Syafi’i sendiri, tetapi tulisan Abu Al-‘Abbas Al-‘Ashamm, hasil kompilasi dari ceramah-ceramah Asy-Syafi’i yang disampaikan kepada sebagian sahabatnya.[69]

Asy-Syafi’i adalah sosok yang mampu menguasai dengan baik dua metode fiqih, yaitu fiqih rasional Abu Hanifah dan fiqih tradisional Malik. Ia pun melakukan kajian yang mendalam serta membandingkan antara dua metode tersebut, sehingga ia berkesimpulan bahwa tidak baik untuk bersikap melampaui batas atau semberono. Sikap yang terbaik adalah pertengahan atau moderat.[70] Atas dasar inilah Asy-Syafi’i menetapkan dasar-dasar madzhabnya, yaitu:
a.         Ia menyetujui metode warga Iraq yang menetapkan qiyas sebagai pedoman beramal, dengan beberapa syarat tertentu. Karena qiyas berarti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yang telah ditetapkan nashnya. Dalam hal ini, mengemukakan pendapat berarti mengarahkan makna nash bukanlah bid’ah dalam syari’at.
b.         Ia tidak sepakat dengan ahli fiqih Iraq yang mendasarkan amalan pada metode Istihsan, karena dianggap jauh dari tuntunan Alquran dan hadis, serta dikhawatirkan terjebak pada kekeliruan. Karena itu ia berkata “barangsiapa yang telah menggunakan Istihsan, berarti telah membuat syariat baru”.
c.         Ia tidak setuju dengan ahli fiqih Iraq yang terlalu selektif dalam menerima hadis, karena hadis adalah sumber rujukan syariat yang utama setelah Alquran. Untuk menerima hadis, cukup dengan syarat hadis tersebut muttashil dan shahih sanadnya.
Ahmad Amin menyatakan, Asy-Syafi’i berpikir keras untuk mengambil sikap dalam menilai hadis. Ada sebagian kelompok yang menolak mentah-mentah terhadap hadis. Kelompok lainnya terlalu gampang mengamalkan hadis. Ada pula kelompok yang mengamalkannya dengan syarat-syarat yang rumit. Untuk itu ia merumuskan cara pandang terhadap hadis. Jika ada suatu hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya dari perawi yang terpercaya sampai Rasulullah, dan tidak ada riwayat lain yang menentangnya, maka hadis seperti ini harus diamalkan. Namun jika ada haids-hadis lain yang menentangnya, maka harus diteliti terlebih dahulu Nasikh-Mansukhnya. Yaitu dengan memposisikan hadis yang belakangan turunnya sebagai Nashikh, sehingga hadis itu menghapuskan ketentuan hukum hadis sebelumnya sebagai Mansukh, dan mengamalkan hadis yang Nasikh. Jika tidak terjadi Nasikh-Mansukh, maka diteliti riwayat yang paling terpercaya dan paling shahih, lalu riwayat yang terpercaya itu diamalkan. Jika kualitas riwayatnya sepadan, maka matan hadisnya diuji dengan ajaran pokok Alquran dan hadis shahih. Matan hadis yang maknanya paling mendekati harus diamalkan. Jika suatu hadis telah dinyatakan shahih, maka hadis tersebut tidak boleh ditinggalkan dengan alasan apapun, baik dengan alasan qiyas, adanya pendapat tertentu, maupun adanya atsar dari Sahabat atau tabi’in. Setelah berhasil merumuskan pandangan ini, Syafi’i menguji sikap penduduk Hijaz dan Iraq. Ternyata sikap keduanya tidak sesuai dengan pandangannya, lalu ia mengkritik keduanya. Ia menyerang pendapat Malik dan mengkritiknya, karena terkadang Malik berani meninggalkan hadis shahih hanya karena adanya pendapat dari salah seorang Sahabat atau tabi’in, atau karena bertentangan dengan pemikirannya sendiri. Syafi’i mengkritik Malik habis-habisan, karena meninggalkan pendapat Ibnu ‘Abbas dalam satu masalah dan beralih pada pendapat ‘Ikrimah. Padahal Malik tahu bahwa pendapat ‘Ikrimah itu kurang tepat dan para ahli hadis tidak menerima riwayat ‘Ikrimah dalam masalah tersebut. Syafi’i mengatakan, “sungguh aneh, Malik sering berkomentar negatif terhadap ‘Ikrimah, tapi dalam kasus-kasus tertentu ia malah berdalil dengan pendapat ‘Ikrimah. Suatu saat, ia mengkritiknya dan di saat lain ia diam saja.[71]
d.        Ia tidak senada dengan sikap para ahli hadis yang terlalu preventif terhadap Alquran dan hadis, serta tidak mau menggunakan qiyas, kecuali dalam keadaan darurat. Mereka juga kadang-kadang meninggalkan hadis shahih, karena ada pernyataan salah satu dari seorang sahabat atau tabi’in. Bahkan mereka menggunakan metode yang dinamakan Al-mashalih Al-mursalah, yang terlalu memberikan kebebasan akal untuk bereksplorasi. Metode itu sengaja dikemas sebagai daya tarik dan keluwesan madzhab, padahal masyarakat tidak membutuhkannya. Selagi tujuan tersebut masih bisa ditempuh dengan cara yang lebih baik yakni qiyas, lantas kenapa harus meninggalkanya. Karena sebenarnya qiyas tidak pernah keluar dari koridor Alqran dan hadis, bahkan selalu disinari oleh cahaya keduanya.
e.         Ia tidak sepaham dengan metode ahli hadis yang mendasarkan amalan pada perkataan Sahabat atau amalan penduduk Madinah, karena beramal dengan dasar tersebut sama halnya dengan beramal atas dasar rasio.
Ahmad Amin menyatakan bahwa Syafi’i bersikap moderat dalam penggunaan qiyas, tidak antipati seperti Malik dan tidak terlalu bebas seperti Abu Hanifah. Syafi’i sendiri pernah menegaskan bahwa sumber ilmu itu Alquran, hadis, ijma’, atsar, lalu melakukan qiyas terhadap sumber tersebut. Orang yang tidak mengerti instrumen qiyas tidak diperkenankan melakukan analogi. Instrumen itu berupa penguasaan terhadap Kitabullah, yang meliputi hukum-hukum, kewajiban-kewajiban, kesusastraan, nasikh mansukh, ‘amm dan khosh. Orang tersebut belum diperbolehkan melakukan qiyas sampai ia paham betul terhadap hadis-hadis, pendapat-pendapat ulama salaf, ijma’ manusia berikut perbedaan pendapatnya, dan bahasa Arab. Ia juga belum berhak melakukan qiyas tanpa penelitian yang mendalam. Selain itu, harus mendengarkan kritikan dari para penentangnya, karena terkadang saran dari orang lain bisa mengikis kelalaian dan menambah keyakinan terhadap kebenaran yang diyakininya. Orang yang melakukan qiyas harus benar-benar kerja keras dalam ijtihadnya dan sadar diri, sehingga ia mengetahui sumber rujukan pendapat-pendapat yang pantas dikemukakan dan pendapat-pendapat yang harus ditinggalkan. Sikap Syafi’i yang seperti ini jelas mengingkari Istihsan dan mengkritik para ulama yang berpedoman padanya. Dari pernyataan Syafi’i di atas, tampaknya ia menganggap Istihsan hanya produk rasio tanpa dilandasi dasar-dasar syariat. Ia menyamakan orang yang menggunakan Istihsan dengan seorang pedagang yang memprediksi harga suatu barang tanpa masuk pasar dan tanpa mengetahui harga pasaran saat itu, sehingga prediksinya tidak berdasar. Demikian pula dengan ahli fiqih yang menggunakan Istihsan tanpa merujuk pada pokok-pokok syariat. Karena itu, ia mengkritik keras pendapat Malik tentang Al-Mashalih Al-Mursalah, dan pendapat Abu Hanifah tentang Istihsan.[72] Dalam menghadapi masalah yang tidak ada dalilnya, Syafi’i sengaja menggunakan qiyas dan mengamalkannya dengan dalil qiyas, dengan catatan harus ada sumber hukum asalnya. Ia mengkritik keras metode fiqih Iraq yang disebut dengan istilah Istihsan  dan metode madzhab Malik yang dinamakan Istishlah.[73]
Imam Ar-Razi berkata:
إن الناس كانوا قبل الشافعي فريقان: أصحاب الحديث وأصحاب الرأي. أما أصحاب الحديث فكانوا عاجزين عن المناظرة والمجادلة, وكانوا عاجزين عن تزييف طريقة أصحاب الرأي, فما يحصل بسببهم قوة في الدين, ونصرة للكتاب والسنة. وأما أصحاب الرأي فكان سعيهم وجهدهم مصروفا الي ما استنبطوه برأيهم ورتّبوه بفكرهم, وما كان جهدهم واجتهادهم مصروفا لنصرة النصوص.... وأما الشافعي فكان عارفا بالنصوص من القرآن والأخبار, وكان عارفا بأصول الفقه وشرائط الإستدلال بتلك النصوص, بل هو الذي وضعها ورتّب أصولها وفتح فصولها. وكان أيضا قويا في المناظرة والمجادلة, ولولا ذالك لامتنع في مجاري العادات أن يرجع أكثر الناس عن قول أبي حنيفة وقول مالك بسببه مخالفته لهما.[74]

“Sebelum datangnya Syafi’i, manusia terbagi menjadi dua golongan, golongan ahli hadis dan golongan rasionalis. Golongan hadis kurang pandai berdiplomasi dan berdebat, mereka tidak mampu mengimbangi metode golongan rasionalis. Sebab itu, mereka tidak berhasil memonopoli kekuatan agama dan mengembangkan pemahaman Alquran dan hadis. Sementara golongan rasionalis sibuk bekerja keras dan berjuang untuk melakukan penggalian hukum dengan rasio mereka dan menyusunnya sesuai dengan pemikiran mereka. Tujuan kerja keras dan ijtihad mereka bukan untuk kemajuan Nushush, yakni teks-teks suci agama... Adapun Asy-Syafi’i adalah sosok yang memahami betul terhadap Nushush dari Alquran dan hadis, paham terhadap usul fiqih, mengerti syarat-syarat Istidlal dari nash-nash tersebut. Bahkan beliau dianggap sebagai peletak ilmu usul fiqih dan mampu mensistematisasikan fasal-fasalnya. Selain itu, ia juga pandai berdiplomasi dan berdebat. Jika tidak berkemampuan seperti itu, maka orang-orang akan tetap mengikuti fiqih Abu Hanifah dan Malik, serta tidak bisa menarik simpati mereka, karena ia dianggap sebagai rival keduanya.

Pada akhirnya, dalam membangun madzhab, Asy-Syafi’i memilih jalan tengah antara fiqih rasional dan madzhab fiqih tradisional. Karena itu, madzhab Syafi’i dapat disebut sebagai madzhab moderat atau madzhab poros tengah.[75] Demikianlah sekilas tentang metode fiqih madzhab Syafi’i.


Dalam kitab Al-Umm, tepatnya dalam pembahasan “perbedaan pendapat pada sesuatu yang didatangkan dengan zina”, dinyatakan bahwa Asy-Syafi’i berkata:
فإن زني بامرأة أبيه أو ابنه أو أم امرأته, فقد عصي الله تعالي ولا تحرم عليه امرأته, ولا علي أبيه, ولا علي ابنه امرأته لو زني بواحدة منهما.[76]

“Jika seseorang berzina dengan isteri ayahnya atau isteri anaknya atau ibu isterinya, maka sungguh ia telah berbuat durhaka kepada Allah dan tidaklah diharamkan isterinya atasnya (jika ia berzina dengan ibu isterinya), tidak diharamkan pula (isteri ayahnya) atas ayahnya (jika ia berzina dengan isteri ayahnya), tidak diharamkan pula (isteri anak laki-lakinya) atas anak laki-lakinya, jika seandainya ia berzina dengan salah satu dari keduanya (maksudnya, sebaliknya tidak diharamkan isterinya atas dirinya sendiri, jika anak laki-lakinya berzina dengan isterinya).”

Sebab menurut Asy-Syafi’i, Allah hanya mengharamkan sesuatu dengan keharaman akibat suatu yang halal, guna untuk memuliakan kehalalannya serta menambah kenikmatan apa yang telah dibolehkan dengan cara menetapkan keharaman padanya yang sebelumnya tidak demikian. Karena memang, suatu yang haram adalah berlainan dengan sesuatu yang halal.[77]
Di pembahasan lain Asy-Syafi’i lebih jelas menyatakan bahwa:
الزنا لا يحرم الحلال وقاله ابن عباس, لأن الحرام ضد الحلال فلا يقاس شيء علي ضده.[78]

“Suatu perzinaan itu tidak mengharamkan yang halal dan ibnu ‘Abbas pun mengatakan begitu, karena sesungguhnya haram itu berlawanan dengan halal, maka tidaklah tepat jika sesuatu yang berlawanan disamakan (Qiyas) satu sama lain.”

Selanjutnya penulis menemukan pemikiran Asy-Syafi’i yang serupa dengan di atas yang menjelaskan tentang nasab orang yang berzina tidak terhubung dengan anak hasil zinanya, serta hukum menikahi anak hasil zina tersebut jika ia terlahir perempuan. Pendapat ini terletak pada pembahasan air susu laki-laki dan perempuan. Imam Syafii’i berkata:
ولو ولدت ابنا فأرضعت مولودا فهو ابنها ولا يكون ابن الذي زني بها, وأكره له أن ينكح بنات الذي ولده من زنا, فإن نكح لم أفسخه لأنه ليس ابنه.[79]

“Jika seorang wanita melahirkan seorang anak laki-laki dari hasil zina, kemudian perempuan itu menyusuinya maka anak itu adalah anak perempuan tersebut dan anak itu tidak menjadi anak lelaki yang berzina dengannya. Dan aku memakruhkan dalam tataran sikap wara’, jika lelaki tersebut menikahi anak perempuannya yang dihasilkan dari zina. Jika ia benar-benar menikahinya maka pernikahannya tidak difasakh, karena memang anak itu bukan anaknya.”

Demikianlah, menurut pemikiran Asy-Syafi’i bahwa zina itu tidak mengharamkan suatu yang halal. Dengan kata lain bahwa jika seseorang berzina dengan isteri ayahnya, maka perzinaannya dengan isteri ayahnya itu tidak mengharamkan isteri ayahnya atas ayahnya. Sebaliknya, jika ayahnya berzina dengan isterinya, maka tidak diharamkan pula isterinya itu atas dirinya. Dan bahkan menurut pemikiran Asy-Syafi’i seseorang yang berzina dengan seorang perempuan, dan perempuan itu hamil kemudian melahirkan anak perempuan hasil zinanya, maka anak itu tidak memiliki hubungan nasab serta tidak saling mewarisi serta boleh hukumnya jika ia menikahi anak perempuan hasil zina tersebut, karena menurutnya tidak ada kehormatan bagi perbuatan zina.
2.      Dasar hukum yang digunakan As-Syafi’i dalam pemikirannya
Dasar hukum pemikiran Asy-Syafi’i terkait dengan masalah ini adalah:
a.       Alquran
وَلَا تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَاؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَاءِ إِلَّا مَا قَد سَلَفَ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَة وَمَقتا وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”[80]

وَأُمَّهَٰتُ نِسَائِكُم وَرَبَٰئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَائِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلتُم بِهِنَّ

“Dan ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri”[81]

وَحَلَٰئِلُ أَبنَائِكُمُ ٱلَّذِينَ مِن أَصلَٰبِكُم
“(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)”[82]
Menurut Asy-Syafi’i, Allah mengharamkan orang yang disebut dalam ayat di atas dengan suatu pernikahan atau dengan pernikahan dan senggama, maka dari itu pantaskah jika Allah mengharamkan sesuatu dengan yang halal, kemudian ia haramkan dengan yang haram, sedangkan haram itu adalah berseberangan dengan halal. Suatu pernikahan itu disunnahkan dan diperintahkan Allah, sedangkan zina itu diharamkan. Allah berfirman:
وَلَا تَقرَبُواْ ٱلزِّنَىٰ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلاً

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”[83]
Asy-Syafi’i meyakini bahwa perempuan-perempuan yang Allah haramkan untuk dinikahi dalam ayat yang suci tersebut, yaitu dengan akad pernikahan atau dengan hubungan yang diikat dalam sebuah akad pula. Seperti akad nikah dengan perempuan maka akad itu sudah mengharamkan ibu si perempuan itu. Berbeda jika akad nikah dengan si ibu maka akadnya tidak mengharamkan anak perempuan si ibu, sampai si ibu di­-dukhul, maka yang mengharamkan anak perempuan tersebut adalah hubungan intim dengan si ibu dalam sebuah akad perkawinan.
Kemudian lanjut Asy-Syafi’i, Allah memerintahkan pernikahan dan menjadikannya sebab terjalinnya hubungan nasab, hubungan semenda, rasa kasih sayang, dan ketenangan. Dengan pernikahan Allah juga menetapkan sesuatu larangan, dan segala hak-hak yang terkait dengan kewarisan, nafkah, mahar, hak suami untuk ditaati, dan kebolehan suatu yang tidak boleh sebelumnya. Sedangkan Allah juga mengharamkan zina dengan menyebut bahwa zina itu merupakan perbuatan yang paling keji. Maka dari itu, Asy-Syafi’i mengatakan ada 2 macam jima’ yang aku temui, yaitu jima’ yang halal dan jima’ yang haram, apakah layak jika aku qiyaskan satu dengan yang lainnya.
Asy-Syafi’i sama sekali tidak membenarkan jika suatu perzinaan itu sama dengan pernikahan. Seperti itu juga tidaklah pantas jika seseorang yang menikah, dikatakan bahwa ia berzina, sedangkan seperti yang diketahui bahwa pernikahan merupakan legalitas bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya ilegal untuk dilakukan.
b.      Hadis
Selain nash Alquran sebagaimana yang telah dijelaskan, Asy-Syafi’i juga mendasarkan pemikirannya dengan hadis. Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Alquran. Hadis yang menjadi dasar pemikiran Asy-Syafi’i adalah hadis tentang sengketa antara Sa’ad bin Abu Waqqash dan Abd bin Zam’ah tentang seorang anak. Hadis tersebut ternyata kemudian diriwayatkan oleh Imam Muslim, sebagai berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ اخْتَصَمَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ فِي غُلَامٍ فَقَالَ سَعْدٌ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ أَخِي عُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَهِدَ إِلَيَّ أَنَّهُ ابْنُهُ انْظُرْ إِلَى شَبَهِهِ وَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ هَذَا أَخِي يَا رَسُولَ اللَّهِ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِي مِنْ وَلِيدَتِهِ فَنَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى شَبَهِهِ فَرَأَى شَبَهًا بَيِّنًا بِعُتْبَةَ فَقَالَ هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ وَاحْتَجِبِي مِنْهُ يَا سَوْدَةُ بِنْتَ زَمْعَةَ قَالَتْ فَلَمْ يَرَ سَوْدَةَ قَطُّ وَلَمْ يَذْكُرْ مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ قَوْلَهُ يَا عَبْدُ.[84] رواه مسلم.

“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Al Laits. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh telah mengabarkan kepada kami Al Laits dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah bahwa dia berkata; Sa'ad bin Abu Waqqash bersengketa dengan Abd bin Zam'ah mengenai seorang anak laki-laki, Sa'ad berkata; Wahai Rasulullah, ini adalah anak dari saudaraku, Utbah bin Abi Waqash, dia telah berpesan kepadaku bahwa ini memang anaknya, lihatlah kemiripannya (dengan saudaraku). 'Abd bin Zam'ah berkata; Wahai Rasulullah, anak ini adalah saudaraku, karena dia dilahirkan di ranjang ayahku dari budak perempuan ayahku. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memperhatikan kemiripannya, ternyata dia persis seperti 'Utbah, lalu beliau bersabda: "Ini adalah milikmu, wahai Abd, yaitu untuk orang yang punya ranjang, di mana anak tersebut di lahirkan. Sedangkan laki-laki yang menzinahi ibunya tidak memiliki hak apa-apa terhadapnya. Karena itu, tetaplah kamu menutupkan tabirmu terhadapnya wahai Saudah binti Zam'ah." Dan Saudah pun tidak pernah melihatnya lagi. Dan Muhmmad bin Rumh tidak menyebutkan perkataan beliau: "Wahai Abd". H.R Muslim

Hadis ini menjadi hujah atas pemikiran Asy-Syafi’i dan ulama yang sepakat dengannya bahwa hubungan intim dengan perzinaan tidak mempunyai pengaruh apapun, dan bagi laki-laki yang berzina itu boleh jika ia ingin menikahi ibu wanita yang ia zinai atau anak perempuannya. Bahkan, Asy-Syafi’i membolehkan bagi si laki-laki itu menikahi anak perempuan yang lahir akibat sperma zina yang ia lakukan.[85]
Kemudian ada hadis yang menjadi dasar Asy-Syafi’i dalam pemikirannya yang menyatakan suatu yang haram tidak mengharamkan yang halal, sebagai berikut:
حدثنا القاضي الحسين بن إسماعيل, حدثنا عبد الله بن شبيب, حدثني إبراهيم بن المنذر, حدثنا عبد الله بن نافع, حدثنا المغيرة بن عبد الرحمن المخزومي, عن عثمان بن عبد الرحمن الزهري, عن ابن شهاب, عن عروة عن عائشة, قالت: سئل رسول الله صلي االله عليه وسلم عن رجل زني بامرأة, فأراد أن يتزوجها ابنتها, قال: لا يحرم الحرام الحلال, إنما يحرم ما كان بنكاح. رواه الدارقطني.[86]

“Telah menceritakan kepada kami Al Qadhi Al Husain bin Isma’il, telah menceriitakan kepada kami ‘Abdullah bin Syabib, telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Al Mundzir, telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Nafi’, menceritakan kepada kami Al Mughirah bin ‘Abdurrahman Al Makhzumiy, dari ‘Ustman bin ‘Abdurrahman Az Zuhri, dari ibnu Syihab, dari ‘Urwah dari ‘Aisyah, ia berkata: Rasulullah pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan, ternyata si laki-laki itu ingin menikahi perempuan itu atau anak perempuannnya, Rasulullah bersabda: suatu yang haram tidaklah mengharamkan suatu yang halal, sesuatu yang bisa mengharamkan adalah apa yang dilakukan dengan nikah yang halal.”

Hadis ini adalah hadis dari ‘Aisyah yang diriwayatkan secara marfu>’, yang kemudian diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam kitab sunannya dari jalan periwayatan Al-mughirah bin ‘Abdurrahman Al-Makhzumi dari ‘Utsman bin ‘Abdurrahman Az-Zuhri dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah dari ‘Aisyah. Isnad hadis ini rusak oleh ‘Ustman bin ‘Abdurrahman, ia disebut matruk, yakni seorang perawi yang sudah umum kelemahannya dalam periwayatan.[87]
Selain Ad-Daruquthni hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari jalan periwayatan ‘Abdullah bin ‘Umar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Sebagai berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُعَلَّى بْنِ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْفَرْوِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلَالَ. رواه ابن ماجه.[88]

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Mu'alla bin Manshur, telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Muhammad Al Farwi, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Umar dari Nafi' dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal."

Sebagaimana yang dinyatakan bahwa isnad hadis ini d}a’if, karena kehadiran ‘Abdullah bin ‘Umar yang dianggap d}a’if.[89]
Dengan dasar ini Asy-Syafi’i menolak pendapat yang mengatakan bahwa seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan maka haram bagi si laki-laki menikahi ibu dan anak perempuan tersebut. Asy-Syafi’i menyatakan zina tidak dapat mengharamkan yang halal.
Kata nikah dalam bahasa Arab secara bahasa berarti Ad}-d}amm dan Al-jam’ yang keduanya berarti berkumpul.[90] Kata nikah dalam masalah ini yaitu kata nikah dalam ayat 22 An-Nisa yang merupakan kata yang musytarak, sehingga menyebabkan perbedaan pemahaman. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat dalam masalah perkawinan akibat zina. Salah satu yang menyebabkan perbedaan pendapat tersebut adalah dari segi pemahaman kebahasaan,[91] sebagai berikut:
a.       Kata nikah dipahami sebagai hubungan intim.
Ulama yang memahami seperti ini menyatakan bahwa zina mempunyai pengaruh keharaman terhadap wanita. Menurut mereka hal ini karena adanya petunjuk ayat lain yang mengarahkan makna kata nikah pada ayat 22 surah An-Nisa itu bermakna hubungan intim, yaitu:
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِن بَعدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوجًا غَيرَهُ...
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain...”[92]

ٱلزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَو مُشرِكَة..

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik..”

Ayat di atas menjadi indikator yang menunjuk makna hubungan intim dalam kata nikah, sebab menurut mereka tidak relevan jika kata nikah pada ayat di atas bermakna akad. Kemudian mereka menambahkan dengan sebuah redaksi hadis, yaitu:
ناكح اليد ملعون

“orang yang menikahi tangan adalah terlaknat”
b.      kata nikah dipahami sebagai akad
Ulama yang memahami seperti ini menyatakan bahwa zina tidak mempunyai pengaruh keharaman terhadap wanita. Menurut mereka hal ini karena ada ayat lain yang menjadi petunjuk bahwa makna kata nikah dalam ayat 22 surah An-Nisa bermakna akad, yaitu:
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ إِذَا نَكَحتُمُ ٱلمُؤمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقتُمُوهُنَّ مِن قَبلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ..

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya..”

وَأَنكِحُواْ ٱلأَيَٰمَىٰ مِنكُم ..
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu..”

فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَاءِ مَثنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ

“maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat...”

Dan selain ayat-ayat di atas ada juga redaksi hadis yang menurut mereka menjadi indikator bahwa kata nikah pada masalah ini bermakna akad, sabda Rasulullah:

النكاح من سنتي

“pernikahan itu termasuk sunnahku”

أنا من نكاح و لست من سفاح

“aku dilahirkan dari suatu pernikahan dan bukan dari perzinaan”[93]

Dengan demikian, pemahaman kata nikah dalam ayat 22 surah An-Nisa adalah salah satu sebab perbedaan pendapat dalam masalah ini. Adapun Asy-Syafi'i memahami kata nikah dalam masalah ini dengan makna akad sebagaimana pendapat kedua yang penulis uraikan di atas.
Penulis ternyata menemukan pandangan Asy-Syafi’i, bahwa kata nikah itu walaupun secara majaz bermakna akad, akan tetapi makna akad pada kata nikah itu sudah sangat dikenal, sehingga makna akad yang sebelumnya dipahami secara majaz menjadi makna hakikat pada kata nikah dalam masalah ini. Seperti kata ‘Aqi>qah, yang pada awalnya sebuah sebutan untuk rambut bayi yang baru lahir. Kemudian, kata itu digunakan secara majaz untuk sebutan kambing yang disembelih ketika upacara penggundulan rambut bayi. Lalu, kata ‘Aqi>qah tadi menjadi sangat dikenal dengan makna majaznya sehingga makna itu menjadi makna hakikat bagi kata tersebut.[94]
Kemudian Asy-Syafi’i melanjutkan, Allah memberikan ibarat pada keharaman wanita dengan apa yang mengarah pada ikatan suci suami-isteri. Seperti firmannya:
وَأُمَّهَٰتُ نِسَائِكُم              
“(dan diharamkan bagimu) ibu-ibu isterimu (mertua)”
وَحَلَٰئِلُ أَبنَائِكُمُ
“Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)”
Dengan demikian, bagaimana suatu perzinaan mempunyai kehormatan sedangkan zina adalah suatu perbuatan keji dan hina?. Kemudian suatu nasab itu tidak terjalin akibat zina, maka seperti itulah keharaman wanita tidak ditimbulkan oleh perbuatan zina. Berangkat dari pandangan ini maka lahir sebuah kaidah[95]:
النقمة لا تكون طريقا إلي النعمة.[96]

“sebuah keburukan tidak akan bisa menjadi jalan menuju kenikmatan”









ANALISIS BAHAN HUKUM

A.      Analisis Pemikiran Asy-Syafi’i Tentang Perkawinan Akibat Zina

Dalam kitab Al-Umm, menurut pemikiran Asy-Syafi’i bahwa zina itu tidak mengharamkan suatu yang halal. Dengan kata lain bahwa jika seseorang berzina dengan isteri ayahnya, maka perzinaannya dengan isteri ayahnya itu tidak mengharamkan isteri ayahnya atas ayahnya. Sebaliknya, jika ayahnya berzina dengan isterinya, maka tidak diharamkan pula isterinya itu atas dirinya. Dan bahkan menurut pemikiran Asy-Syafi’i seseorang yang berzina dengan seorang perempuan, dan perempuan itu hamil kemudian melahirkan anak perempuan hasil zinanya, maka boleh hukumnya jika ia menikahi anak perempuan hasil zina tersebut.
Kemudian lanjut Asy-Syafi’i, Allah memerintahkan pernikahan dan menjadikannya sebab terjalinnya hubungan nasab, hubungan semenda, rasa kasih sayang, dan ketenangan. Dengan pernikahan Allah juga menetapkan sesuatu larangan, dan segala hak-hak yang terkait dengan kewarisan, nafkah, mahar, hak suami untuk ditaati, dan kebolehan suatu yang tidak boleh sebelumnya. Sedangkan Allah juga mengharamkan zina dengan menyebut bahwa zina itu merupakan perbuatan yang paling keji. Maka dari itu, Asy-Syafi’i mengatakan ada 2 macam jima’ yang aku temui, yaitu jima’ yang halal dan jima’ yang haram, apakah layak jika aku qiyaskan satu dengan yang lainnya.
Asy-Syafi’i sama sekali tidak membenarkan jika suatu perzinaan itu sama dengan pernikahan. Seperti itu juga tidaklah pantas jika seseorang yang menikah, dikatakan bahwa ia berzina, sedangkan seperti yang diketahui bahwa pernikahan merupakan legalitas bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya ilegal untuk dilakukan.
Penulis senada dengan pernyataan Asy-Syafi’i di atas bahwa pernikahan tidak akan sama dengan perzinaan. Sebab, dalam Alquran sendiri, pensyariatan pernikahan dirincikan dengan sistematis, serta dengan ungkapan bahasa yang indah. Seperti ayat yang menyebut pernikahan itu sebagai ikatan yang kuat, surah An-Nisa ayat 21:
وَكَيفَ تَأخُذُونَهُۥ وَقَد أَفضَىٰ بَعضُكُم إِلَىٰ بَعض وَأَخَذنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظاً

"Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat"

Dalam ayat di atas terdapat sebuah ungkapan mi>s|a>qan ghali>z}an yang berarti perjanjian yang kuat, sebagai ungkapan untuk akad pernikahan. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan Sa’id bin Jubair, bahwa yang dimaksud itu adalah sebuah Akad.[97] Kemudian, ditambah lagi oleh ungkapan dari sebuah hadis:
...فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ...رواه ابن ماجه[98]

“Maka bertakwalah kepada Allah dari para wanita, karena kalian telah menjadikan mereka isteri dengan amanat Allah dan kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah.”

Dalam hadis di atas pernikahan diungkapkan dengan gaya bahasa yang menggugah, bahwa dengan amanat Allah seorang laki-laki menjadikan seorang perempuan sebagai isteri, serta menghalalkannya dengan kalimat Allah.
Kemudian, setelah Alquran mengungkapkan pernikahan dengan gaya bahasanya, Alquran menyebutkan suatu anugrah yang diberikan kepada manusia, yang hanya bisa dirasakan dengan adanya pernikahan, berupa cinta dan kasih sayang di antara pasangan suami-isteri. Allah berfirman surah Ar-Rum ayat 21:
وَمِن ءَايَٰتِهِۦ أَن خَلَقَ لَكُم مِّن أَنفُسِكُم أَزوَٰجا لِّتَسكُنُواْ إِلَيهَا وَجَعَلَ بَينَكُم مَّوَدَّةً وَرَحمَةً إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأيَٰت لِّقَوم يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Dikarenakan di dalam pernikahan terdapat anugrah yang luar biasa, maka sangat wajar jika ayat lain dalam Alquran menganjurkan pernikahan, seperti ayat 31 surah An-Nur:
وَأَنكِحُواْ ٱلأَيَٰمَىٰ مِنكُم وَٱلصَّٰلِحِينَ مِن عِبَادِكُم وَإِمَائِكُم إِن يَكُونُواْ فُقَرَاءَ يُغنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضلِهِۦ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

"Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui"

Kemudian didukung oleh sebuah hadis yang menganjurkan pernikahan, sebab pernikahan itu sebagai sarana untuk menjaga diri dari perbuatan yang mencemari kesucian diri seperti halnya zina, sedangkan kesucian merupakan sesuatu yang sangat diprioritaskan oleh Islam. Sebagaimana dalam hadis:
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وأبو كريب: قالا: حدثنا أبو معاوية, عن الأعمش, عن عمارة بن عمير, عن عبد الرحمن بن يزيد, عن عبد الله قال: قال لنا رسول الله : يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج, فإنه أغض للبصر, وأحصن للفرج, ومن لم يستطع فعليه بالصوم, فإنه له وجاء. رواه مسلم[99]

“Hai sekalian pemuda barangsiapa yang telah sanggup diantara kamu melaksanakan kehidupan suami-isteri, hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan mata (kepada yang terlarang memandangnya) dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak sanggup maka hendaklah ia berpuasa. Maka sesungguhnya puasa adalah perisai baginya.”

Dengan demikian, pernikahan tidaklah sama dengan perzinaan. Maka dari itu, akibat hukum yang diakibatkan oleh pernikahan tidak akan muncul oleh perzinaan.

B.       Analisis Dasar Hukum Asy-Syafi’i
Pemikiran Asy-Syafi’i tidaklah tanpa dasar, bagaimana bisa seorang Asy-Syafi’i tidak memiliki dasar atas pemikirannya. Berikut dasar hukum pemikiran Asy-Syafi’i terkait dengan masalah ini:
a.       Alquran
وَلَا تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَاؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَاءِ إِلَّا مَا قَد سَلَفَ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَة وَمَقتا وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”

وَأُمَّهَٰتُ نِسَائِكُم وَرَبَٰئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَائِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلتُم بِهِنَّ

“Dan ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri”

وَحَلَٰئِلُ أَبنَائِكُمُ ٱلَّذِينَ مِن أَصلَٰبِكُم
“(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)”
Menurut Asy-Syafi’i, Allah mengharamkan orang yang disebut dalam ayat di atas dengan suatu pernikahan atau dengan pernikahan dan senggama, maka dari itu pantaskah jika Allah mengharamkan sesuatu dengan yang halal, kemudian ia haramkan dengan yang haram, sedangkan haram itu adalah berseberangan dengan halal. Suatu pernikahan itu disunnahkan dan diperintahkan Allah, sedangkan zina itu diharamkan. Allah berfirman:
وَلَا تَقرَبُواْ ٱلزِّنَىٰ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلاً

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”[100]

Asy-Syafi’i meyakini bahwa perempuan-perempuan yang Allah haramkan untuk dinikahi dalam ayat yang suci tersebut, yaitu dengan akad pernikahan atau dengan hubungan yang diikat dalam sebuah akad pula. Seperti akad nikah dengan perempuan maka akad itu sudah mengharamkan ibu si perempuan itu. Berbeda jika akad nikah dengan si ibu maka akadnya tidak mengharamkan anak perempuan si ibu, sampai si ibu di­-dukhul, maka yang mengharamkan anak perempuan tersebut adalah hubungan intim dengan si ibu dalam sebuah akad perkawinan. Seperti sebuah kaidah yang lahir dari ayat muharramat, yaitu:
العقد علي البنات يحرم الأمهات, و الدخول بالأمهات يحرم البنات.[101]

“Suatu akad nikah atas anak perempuan mengharamkan ibunya, sedangkan dukhul dengan ibu mengharamkan anak perempuannya.

Dan tentunya dalam hal ini, hubungan intim yang mengharamkan adalah hubungan intim dalam sebuah akad nikah yang suci, sebab jika hubungan intim yang terjadi di luar akad pernikahan maka akan disebut zina. Bukankah Allah halalkan perempuan-perempuan pada umumnya, selain para perempuan yang Allah haramkan sebelumnya dengan firmannya:
وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاءَ ذَٰلِكُم..

“Dan dihalalkan bagi kamu selain perempuan-perempuan yang demikian itu..”

Dengan demikian perempuan yang dizinai berbeda dengan perempuan yang dinikahi, maka perempuan-perempuan yang dizinai masuk kepada apa yang dimaksud ayat di atas. Dengan kata lain, mereka tidak termasuk perempuan-perempuan yang haram dinikahi.

b.      Hadis
Selain nash Alquran sebagaimana yang telah dijelaskan, Asy-Syafi’i juga mendasarkan pemikirannya dengan hadis. Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Alquran. Hadis yang menjadi dasar pemikiran Asy-Syafi’i adalah hadis tentang sengketa antara Sa’ad bin Abu Waqqash dan Abd bin Zam’ah tentang seorang anak. Hadis tersebut ternyata kemudian diriwayatkan oleh Imam Muslim, sebagai berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ اخْتَصَمَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ فِي غُلَامٍ فَقَالَ سَعْدٌ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ أَخِي عُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَهِدَ إِلَيَّ أَنَّهُ ابْنُهُ انْظُرْ إِلَى شَبَهِهِ وَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ هَذَا أَخِي يَا رَسُولَ اللَّهِ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِي مِنْ وَلِيدَتِهِ فَنَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى شَبَهِهِ فَرَأَى شَبَهًا بَيِّنًا بِعُتْبَةَ فَقَالَ هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ وَاحْتَجِبِي مِنْهُ يَا سَوْدَةُ بِنْتَ زَمْعَةَ قَالَتْ فَلَمْ يَرَ سَوْدَةَ قَطُّ وَلَمْ يَذْكُرْ مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ قَوْلَهُ يَا عَبْدُ.[102] رواه مسلم.

“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Al Laits. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh telah mengabarkan kepada kami Al Laits dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah bahwa dia berkata; Sa'ad bin Abu Waqqash bersengketa dengan Abd bin Zam'ah mengenai seorang anak laki-laki, Sa'ad berkata; Wahai Rasulullah, ini adalah anak dari saudaraku, Utbah bin Abi Waqash, dia telah berpesan kepadaku bahwa ini memang anaknya, lihatlah kemiripannya (dengan saudaraku). 'Abd bin Zam'ah berkata; Wahai Rasulullah, anak ini adalah saudaraku, karena dia dilahirkan di ranjang ayahku dari budak perempuan ayahku. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memperhatikan kemiripannya, ternyata dia persis seperti 'Utbah, lalu beliau bersabda: "Ini adalah milikmu, wahai Abd, yaitu untuk orang yang punya ranjang, di mana anak tersebut di lahirkan. Sedangkan laki-laki yang menzinahi ibunya tidak memiliki hak apa-apa terhadapnya. Karena itu, tetaplah kamu menutupkan tabirmu terhadapnya wahai Saudah binti Zam'ah." Dan Saudah pun tidak pernah melihatnya lagi. Dan Muhammad bin Rumh tidak menyebutkan perkataan beliau: "Wahai Abd". H.R Muslim

Hadis ini menjadi hujah atas pemikiran Asy-Syafi’i dan ulama yang sepakat dengannya bahwa hubungan intim dengan perzinaan tidak mempunyai pengaruh apapun, dan bagi laki-laki yang berzina itu boleh jika ia ingin menikahi ibu wanita yang ia zinai atau anak perempuannya. Bahkan, Asy-Syafi’i membolehkan bagi si laki-laki itu menikahi anak perempuan yang lahir akibat sperma zina yang ia lakukan.[103]
Kemudian ada hadis yang menjadi dasar Asy-Syafi’i dalam pemikirannya yang menyatakan suatu yang haram tidak mengharamkan yang halal, sebagai berikut:
حدثنا القاضي الحسين بن إسماعيل, حدثنا عبد الله بن شبيب, حدثني إبراهيم بن المنذر, حدثنا عبد الله بن نافع, حدثنا المغيرة بن عبد الرحمن المخزومي, عن عثمان بن عبد الرحمن الزهري, عن ابن شهاب, عن عروة عن عائشة, قالت: سئل رسول الله صلي االله عليه وسلم عن رجل زني بامرأة, فأراد أن يتزوجها ابنتها, قال: لا يحرم الحرام الحلال, إنما يحرم ما كان بنكاح. رواه الدارقطني.[104]

“Telah menceritakan kepada kami Al Qadhi Al Husain bin Isma’il, telah menceriitakan kepada kami ‘Abdullah bin Syabib, telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Al Mundzir, telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Nafi’, menceritakan kepada kami Al Mughirah bin ‘Abdurrahman Al Makhzumiy, dari ‘Ustman bin ‘Abdurrahman Az Zuhri, dari ibnu Syihab, dari ‘Urwah dari ‘Aisyah, ia berkata: Rasulullah pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan, ternyata si laki-laki itu ingin menikahi perempuan itu atau anak perempuannnya, Rasulullah bersabda: suatu yang haram tidaklah mengharamkan suatu yang halal, sesuatu yang bisa mengharamkan adalah apa yang dilakukan dengan nikah yang halal.”

Hadis ini adalah hadis dari ‘Aisyah yang diriwayatkan secara marfu>’, yang kemudian diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam kitab sunannya dari jalan periwayatan Al-mughirah bin ‘Abdurrahman Al-Makhzumi dari ‘Utsman bin ‘Abdurrahman Az-Zuhri dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah dari ‘Aisyah. Isnad hadis ini rusak oleh ‘Ustman bin ‘Abdurrahman, ia disebut matruk, yakni seorang perawi yang sudah umum kelemahannya dalam periwayatan.[105]
Selain Ad-Daruquthni hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari jalan periwayatan ‘Abdullah bin ‘Umar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Sebagai berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُعَلَّى بْنِ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْفَرْوِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلَالَ. رواه ابن ماجه.[106]

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Mu'alla bin Manshur, telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Muhammad Al Farwi, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Umar dari Nafi' dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal."

Sebagaimana yang dinyatakan bahwa isnad hadis ini dha’if, karena kehadiran ‘Abdullah bin ‘Umar yang dianggap dha’if.[107]
Dengan dasar ini Asy-Syafi’i menolak pendapat yang mengatakan bahwa seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan maka haram bagi si laki-laki menikahi ibu dan anak perempuan tersebut. Asy-Syafi’i menyatakan zina tidak dapat mengharamkan yang halal.
Dalam penelusuran penulis, dengan segala keterbatasannya penulis hanya menemukan jalur periwayatan seperti di atas dan kemudian secara sepintas memberi kesan bahwa As-syafi’i mendasari pemikirannya dengan hadis yang d}a’i>f atau lemah. Akan tetapi, mengingat bahwa disamping As-syafi’i adalah seorang yang berkedudukan mujtahid dalam bidang fiqih, ia juga merupakan seorang perawi yang terpercaya. Sehingga, menurut penulis ada beberapa hal yang menjadi asumsi tentang hal ini. Sebab, secara umum studi sebuah hadis yang dilakukan oleh para ulama hadis ada dua sisi, yaitu sisi para perawinya dan juga isi materinya atau yang disebut matan hadisnya. Jadi, yang dinilai bukan hanya salah satunya saja, melainkan keduanya. Sebagai berikut:
a.       Dalam hal ini, As-Syafi’i meriwayatkan hadis ini dalam kitabnya Al-Umm. Sebagaimana yang penulis temukan, memang tidak disebutkan jalur periwayatannya. Ke-s}ah}i>h}-an suatu hadis akan dinilai pertama kali dari masalah siapa yang meriwayatkannya, dari perawi yang pertama hingga kepada perawi paling akhir. Mengenai hal ini, semua ulama ahli hadis memiliki kriteria masing-masing dalam menilai perawi untuk diterima periwayatannya. Seperti contoh kasus ‘Abdullah bin ‘Umar yang dianggap lemah dalam periwayatannya, ternyata tidak semua ulama hadis beranggapan seperti demikian, sehingga bagi sebagian ulama hadis tidak masalah menerima periwayatannya. Sebagaimana yang penulis ketahui, melalui i-software Kitab 9 Imam Hadis, terdapat delapan ulama hadis beserta komentarnya terhadap ‘Abdullah bin ‘Umar. Mereka yang berkomentar negatif yaitu; Ibn Al-madini, An-Nasa’i, dan Ibnu Hajar Al-Asqollani. Sedangkan mereka yang berkomentar positif yaitu; Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Ya’qub bin Syaibah, Ibnu ‘Adi, dan Al-‘Uqaili. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa Asy-Syafi’i menilai ‘Abdullah bin ‘Umar ini bukanlah seorang yang lemah dalam periwayatan.
b.      Dalam hal ini, hadis yang terkesan lemah dalam masalah ini tidak bertentangan dengan hadis yang Asy-Syafi’i bawa di awal, yaitu hadis tentang sengketa antara Sa’ad bin Abu Waqqash dan Abd bin Zam’ah. Bahkan makna hadisnya bersesuaian satu sama lain.
Kemudian mengenai hukum makruh yang Asy-Syafi’i berikan pada pernikahan seorang laki-laki yang menikahi anak perempuan hasil zinanya sendiri, ternyata ditemukan bahwa ada dua alasan mengenai hal ini menurut beberapa ulama Syafi’iyah[108]:
a.       Dimakruhkan karena khawatir jika anak itu memang anak biologisnya, atas dasar inilah jika diketahui secara pasti bahwa anak itu adalah anak biologisnya dengan bahwa Rasulullah mengkhabarkan di zamannya maka tidaklah halal anak itu baginya.
b.      Dimakruhkan karena untuk keluar dari perbedaan pendapat, sebab sebagian ulama mengharamkannya seperti Imam Abu Hanifah, atas dasar ini jika benar anak itu adalah anak biologisnya maka tidak diharamkan, sebab ada kelahiran yang tidak mengakibatkan terjalinnya hubungan nasab dan tidak pula timbul keharaman, seperti kelahiran di bawah 6 bulan dari terjadinya zina.


C.      Analisis Pemahaman Kata Nikah Dalam Ayat 22 Surah An-Nisa Menurut Asy-syafi’i

Sebagaimana yang sudah penulis jelaskan sebelumnya bahwa Asy-Syafi’i memahami kata nikah dalam ayat 22 surah An-Nisa sebagai akad, maka di bawah ini akan dipaparkan analisis bagaimana Asy-Syafi’i memahami kata tersebut sehingga menimbulkan keputusan hukum dalam masalah perkawinan akibat zina.
Menurut para ahli ushul dan bahasa, kata nikah secara hakikat digunakan untuk hubungan intim, dan secara majaz untuk arti akad. Dengan pernyataan ini, kata nikah yang tertera di dalam Alquran dan sunah tanpa adanya indikasi lain maka yang dimaksud adalah hubungan intim. Maka wajar jika sebagian ulama berpendapat bahwa kata nikah dalam firman Allah Q.S An-nisa ayat 22 bermakna hubungan intim, sebab menurut mereka, memaknai suatu kata dengan makna yang sesungguhnya adalah lebih utama. Oleh karena itu, perempuan yang dizinai oleh seorang ayah diharamkan kepada anaknya menikahi perempuan tersebut, maksudnya semua keturunannya. Pengharaman wanita yang dizinai ayah ini atas semua keturunannya adalah ketetapan dengan teks Alquran. Adapun keharaman wanita yang dinikahi ayah dengan akad yang s}ahih atas keturunannya maka tidaklah ada perbedaan di sana.[109] Akan tetapi, berbeda dengan Asy-Syafi’i yang memahami kata nikah dengan makna majaznya yaitu akad.
Penulis ternyata menemukan pandangan Asy-Syafi’i, bahwa kata nikah itu walaupun secara majaz bermakna akad, akan tetapi makna akad pada kata nikah itu sudah sangat dikenal, sehingga makna akad yang sebelumnya dipahami secara majaz menjadi makna hakikat pada kata nikah dalam masalah ini. Seperti kata ‘Aqi>qah, yang pada awalnya sebuah sebutan untuk rambut bayi yang baru lahir. Kemudian, kata itu digunakan secara majaz untuk sebutan kambing yang disembelih ketika upacara penggundulan rambut bayi. Lalu, kata ‘Aqi>qah tadi menjadi sangat dikenal dengan makna majaznya sehingga makna itu menjadi makna hakikat bagi kata tersebut.[110]
Kemudian Asy-Syafi’i melanjutkan, Allah memberikan ibarat pada keharaman wanita dengan apa yang mengarah pada ikatan suci suami-isteri. Seperti firmannya:
وَأُمَّهَٰتُ نِسَائِكُم              
“(dan diharamkan bagimu) ibu-ibu isterimu (mertua)”
وَحَلَٰئِلُ أَبنَائِكُمُ
“Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)”
Dengan demikian, bagaimana suatu perzinaan mempunyai kehormatan sedangkan zina adalah suatu perbuatan keji dan hina?. Kemudian suatu nasab itu tidak terjalin akibat zina, maka seperti itulah keharaman wanita tidak ditimbulkan oleh perbuatan zina. Berangkat dari pandangan ini maka lahir sebuah kaidah:
النقمة لا تكون طريقا إلي النعمة.[111]

“sebuah keburukan tidak akan bisa menjadi jalan menuju kenikmatan”
Pemahaman Asy-Syafi’i seperti ini menurut penulis, memberikan informasi bahwa makna majaz dari sebuah kata bisa menjadi makna hakikatnya sesuai ketentuannya. Seperti kata shalat, makna hakikatnya adalah do’a sedangkan makna majaznya adalah ibadah yang khusus. Dengan kata lain, dengan ketentuan syariat kata shalat tidak dipahami dengan makna do’a, tetapi dipahami dengan makna yang dikehendaki oleh syariat yaitu ibadah yang khusus, sehingga kata shalat dengan makna ibadah khusus menjadi makna hakiki bagi kata tersebut. Seperti itulah, kata nikah yang bermakna hubungan intim secara hakiki dan bermakna akad secara majaz, akan tetapi oleh ketentuan syariat makna majaz dari kata nikah yaitu akad, menjadi makna hakiki dari kata nikah itu sendiri. Oleh sebab itu, kata nikah disebut kata yang musytarak di pembahasan terdahulu, karena apabila suatu kata mempunyai arti yang sebenarnya hanya satu dan yang lain arti majaz, maka tidaklah dikatakan musytarak.
Sebatas pengetahuan penulis, Asy-Syafi’i memang sosok tokoh yang pemikirannya selalu bercorak dengan pembelaanya terhadap otoritas teks Alquran maupun haids yang suci, perdebatan dan perlawanan Asy-Syafi’i terhadap ahli ar-ra’y, di satu sisi begitu dahsyat sehingga ia dianggap pembela tradisi, dengan sebutan na>s}ir As-sunnah. Sementara di sisi lain, pembelaan Asy-Syafi’i terhadap kebahasaan Alquran tentunya mempunyai maksud dan tujuan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan demikian, wajar jika ketika Asy-Syafi’i menjumpai suatu kata dalam Alquran dan ditemukan pemaknaan yang berbeda dari referensi satu dengan referensi yang lain, maka kata tersebut termasuk kata musytarak. Sehingga untuk memilih makna yang lebih sesuai dengan kata tersebut, maka jalan yang lebih utama baginya adalah mengambil pemaknaan secara syar’i bukan lugowi.
Dengan demikian, kata nikah yang ada dalam nash akan dimaknai secara syariat bukan secara bahasa, sesuai kaidah:
إذا ورد في النص الشرعي لفظ مشترك, فإن كان مشتركا بين معني لغوي و معني اصطلاحي شرعي, وجب حمله علي المعني الشرعي, وإن كان مشتركا بين معنيين أو أكثر من المعاني اللغوية وجب حمله علي معني واحد منها بدليل يعينه, ولا يصح ان يراد بالمشترك معنياه أو معانيه معا.[112]

“Apabila terdapat suatu kata musytarak pada nash syariat, maka jika musytarak antara makna secara bahasa dan makna secara istilah syariat, maka wajib memaknainya dengan makna syariat, dan jika musytarak antara dua makna atau lebih dari makna secara bahasa, maka wajib memaknainya dengan salah satunya saja dengan dalil yang menentukannya. Sebab, dua kata yang maknanya musytarak tidak akan bisa dipahami sekaligus.”

Sebatas pengetahuan penulis, di dalam Alquran terdapat ayat yang membawa redaksi kata nikah beserta kata pecahannya sebanyak 19 ayat, yaitu:
1.      Dalam surah Al-Baqarah ada 5 ayat, yaitu:
a.       Ayat 221
وَلَا تَنكِحُواْ ٱلمُشرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤمِنَّ وَلَأَمَة مُّؤمِنَةٌ خَير مِّن مُّشرِكَة وَلَو أَعجَبَتكُم وَلَا تُنكِحُواْ ٱلمُشرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤمِنُواْ وَلَعَبد مُّؤمِنٌ خَير مِّن مُّشرِك وَلَو أَعجَبَكُم أُوْلَٰئِكَ يَدعُونَ إِلَى ٱلنَّارِ وَٱللَّهُ يَدعُواْ إِلَى ٱلجَنَّةِ وَٱلمَغفِرَةِ بِإِذنِهِۦ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُم يَتَذَكَّرُونَ

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”[113]

b.      Ayat 230
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِن بَعدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوجًا غَيرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ وَتِلكَ حُدُودُ ٱللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوم يَعلَمُونَ
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”[114]

c.       Ayat 232
وَإِذَا طَلَّقتُمُ ٱلنِّسَاءَ فَبَلَغنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحنَ أَزوَٰجَهُنَّ إِذَا تَرَٰضَواْ بَينَهُم بِٱلمَعرُوفِ ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ مِنكُم يُؤمِنُ بِٱللَّهِ وَٱليَومِ ٱلأخِرِ ذَٰلِكُم أَزكَىٰ لَكُم وَأَطهَرُ وَٱللَّهُ يَعلَمُ وَأَنتُم لَا تَعلَمُونَ

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma´ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”[115]

d.      Ayat 235
وَلَا جُنَاحَ عَلَيكُم فِيمَا عَرَّضتُم بِهِۦ مِن خِطبَةِ ٱلنِّسَاءِ أَو أَكنَنْتُمْ فِي أَنفُسِكُم عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُم سَتَذكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَن تَقُولُواْ قَولًا مَّعرُوفًا وَلَا تَعزِمُواْ عُقدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبلُغَ ٱلكِتَٰبُ أَجَلَهُ وَٱعلَمُواْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعلَمُ مَا فِي أَنفُسِكُم فَٱحذَرُوهُ وَٱعلَمُواْ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma´ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ´iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”[116]

e.       Ayat 237
وَإِن طَلَّقتُمُوهُنَّ مِن قَبلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَد فَرَضتُم لَهُنَّ فَرِيضَة فَنِصفُ مَا فَرَضتُم إِلَّا أَن يَعفُونَ أَو يَعفُوَاْ ٱلَّذِي بِيَدِهِۦ عُقدَةُ ٱلنِّكَاحِ وَأَن تَعفُواْ أَقرَبُ لِلتَّقوَىٰ وَلَا تَنسَوُاْ ٱلفَضلَ بَينَكُم إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعمَلُونَ بَصِيرٌ

“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.”[117]

2.      Dalam surah An-Nisa ada 5 ayat, yaitu:
a.       Ayat 3
وَإِن خِفتُم أَلَّا تُقسِطُواْ فِي ٱليَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَاءِ مَثنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ فَإِن خِفتُم أَلَّا تَعدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَو مَا مَلَكَت أَيمَٰنُكُم ذَٰلِكَ أَدنَىٰ أَلَّا تَعُولُواْ

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”[118]

b.      Ayat 6
وَٱبتَلُواْ ٱليَتَٰمَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ فَإِن ءَانَستُم مِّنهُم رُشدًا فَٱدفَعُواْ إِلَيهِم أَموَٰلَهُم وَلَا تَأكُلُوهَا إِسرَافًا وَبِدَارًا أَن يَكبَرُواْ وَمَن كَانَ غَنِيّا فَليَستَعفِف وَمَن كَانَ فَقِيرا فَليَأكُل بِٱلمَعرُوفِ فَإِذَا دَفَعتُم إِلَيهِم أَموَٰلَهُم فَأَشهِدُواْ عَلَيهِم وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبًا

"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).”[119]

c.       Ayat 22
وَلَا تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَاؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَمَقتًا وَسَاءَ سَبِيلًا

"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”[120]

d.      Ayat 25
وَمَن لَّم يَستَطِع مِنكُم طَولًا أَن يَنكِحَ ٱلمُحصَنَٰتِ ٱلمُؤمِنَٰتِ فَمِن مَّا مَلَكَت أَيمَٰنُكُم مِّن فَتَيَٰتِكُمُ ٱلمُؤمِنَٰتِ وَٱللَّهُ أَعلَمُ بِإِيمَٰنِكُم بَعضُكُم مِّن بَعض فَٱنكِحُوهُنَّ بِإِذنِ أَهلِهِنَّ وَءَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِٱلمَعرُوفِ مُحصَنَٰتٍ غَيرَ مُسَٰفِحَٰت وَلَا مُتَّخِذَٰتِ أَخدَان فَإِذَا أُحصِنَّ فَإِن أَتَينَ بِفَٰحِشَة فَعَلَيهِنَّ نِصفُ مَا عَلَى ٱلمُحصَنَٰتِ مِنَ ٱلعَذَابِ ذَٰلِكَ لِمَن خَشِيَ ٱلعَنَتَ مِنكُم وَأَن تَصبِرُواْ خَيرٌ لَّكُم وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[121]

e.       Ayat 127
وَيَستَفتُونَكَ فِي ٱلنِّسَاءِ قُلِ ٱللَّهُ يُفتِيكُم فِيهِنَّ وَمَا يُتلَىٰ عَلَيكُم فِي ٱلكِتَٰبِ فِي يَتَٰمَى ٱلنِّسَاءِ ٱلَّٰتِي لَا تُؤتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ وَٱلمُستَضعَفِينَ مِنَ ٱلوِلدَٰنِ وَأَن تَقُومُواْ لِليَتَٰمَىٰ بِٱلقِسطِ وَمَا تَفعَلُواْ مِن خَيرٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِهِۦ عَلِيمًا

“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.”[122]

3.      Dalam surah An-Nur ada 4 ayat, yaitu:
a.       Ayat 3
ٱلزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَو مُشرِكَة وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَو مُشرِكٌ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱلمُؤمِنِينَ

"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.”[123]

b.      Ayat 32
وَأَنكِحُواْ ٱلأَيَٰمَىٰ مِنكُم وَٱلصَّٰلِحِينَ مِن عِبَادِكُم وَإِمَائِكُم إِن يَكُونُواْ فُقَرَاءَ يُغنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضلِهِۦ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”[124]

c.       Ayat 33
وَلْيَستَعفِفِ ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضلِهِۦ وَٱلَّذِينَ يَبتَغُونَ ٱلكِتَٰبَ مِمَّا مَلَكَت أَيمَٰنُكُم فَكَاتِبُوهُم إِن عَلِمتُم فِيهِم خَيرًا وَءَاتُوهُم مِّن مَّالِ ٱللَّهِ ٱلَّذِي ءَاتَىٰكُم وَلَا تُكرِهُواْ فَتَيَٰتِكُم عَلَى ٱلبِغَاءِ إِن أَرَدنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُواْ عَرَضَ ٱلحَيَوٰةِ ٱلدُّنيَا وَمَن يُكرِههُّنَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ مِن بَعدِ إِكرَٰهِهِنَّ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.”[125]

d.      Ayat 60
وَٱلقَوَٰعِدُ مِنَ ٱلنِّسَاءِ ٱلَّٰتِي لَا يَرجُونَ نِكَاحًا فَلَيسَ عَلَيهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعنَ ثِيَابَهُنَّ غَيرَ مُتَبَرِّجَٰتِ بِزِينَةٍ وَأَن يَستَعفِفنَ خَيرٌ لَّهُنَّ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana.”[126]

4.      Dalam surah Al-Ahzab ada 3 ayat, yaitu:
a.       Ayat 49
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ إِذَا نَكَحتُمُ ٱلمُؤمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقتُمُوهُنَّ مِن قَبلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُم عَلَيهِنَّ مِن عِدَّةٍ تَعتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ´iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut´ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”[127]

b.      Ayat 50
يَٰأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِنَّا أَحلَلنَا لَكَ أَزوَٰجَكَ ٱلَّٰتِي ءَاتَيتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَت يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ ٱللَّهُ عَلَيكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّٰتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَٰلَٰتِكَ ٱلَّٰتِي هَاجَرنَ مَعَكَ وَٱمرَأَة مُّؤمِنَةً إِن وَهَبَت نَفسَهَا لِلنَّبِيِّ إِن أَرَادَ ٱلنَّبِيُّ أَن يَستَنكِحَهَا خَالِصَة لَّكَ مِن دُونِ ٱلمُؤمِنِينَ قَد عَلِمنَا مَا فَرَضنَا عَلَيهِم فِي أَزوَٰجِهِم وَمَا مَلَكَت أَيمَٰنُهُم لِكَيلَا يَكُونَ عَلَيكَ حَرَجَ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[128]

c.       Ayat 53
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَدخُلُواْ بُيُوتَ ٱلنَّبِيِّ إِلَّا أَن يُؤذَنَ لَكُم إِلَىٰ طَعَامٍ غَيرَ نَٰظِرِينَ إِنَىٰهُ وَلَٰكِن إِذَا دُعِيتُم فَٱدخُلُواْ فَإِذَا طَعِمتُم فَٱنتَشِرُواْ وَلَا مُستَئنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَٰلِكُم كَانَ يُؤذِي ٱلنَّبِيَّ فَيَستَحيِۦ مِنكُم وَٱللَّهُ لَا يَستَحيِۦ مِنَ ٱلحَقِّ وَإِذَا سَأَلتُمُوهُنَّ مَتَٰعًا فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَاءِ حِجَابٍ ذَٰلِكُم أَطهَرُ لِقُلُوبِكُم وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُم أَن تُؤذُواْ رَسُولَ ٱللَّهِ وَلَا أَن تَنكِحُواْ أَزوَٰجَهُۥ مِن بَعدِهِۦ أَبَدًا إِنَّ ذَٰلِكُم كَانَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.”[129]

5.      Dalam surah Al-Qashash ada 1 ayat, yaitu ayat 27:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَن أُنكِحَكَ إِحدَى ٱبنَتَيَّ هَٰتَينِ عَلَىٰ أَن تَأجُرَنِي ثَمَٰنِيَ حِجَجٍ فَإِن أَتمَمتَ عَشرًا فَمِن عِندِكَ وَمَا أُرِيدُ أَن أَشُقَّ عَلَيكَ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ

“Berkatalah dia (Syu´aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.”[130]

6.      Dalam surah Al-Mumtahanah ada 1 ayat, yaitu ayat 10:
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ إِذَا جَاءَكُمُ ٱلمُؤمِنَٰتُ مُهَٰجِرَٰت فَٱمتَحِنُوهُنَّ ٱللَّهُ أَعلَمُ بِإِيمَٰنِهِنَّ فَإِن عَلِمتُمُوهُنَّ مُؤمِنَٰت فَلَا تَرجِعُوهُنَّ إِلَى ٱلكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلّ لَّهُم وَلَا هُم يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَءَاتُوهُم مَّا أَنفَقُواْ وَلَا جُنَاحَ عَلَيكُم أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا ءَاتَيتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمسِكُواْ بِعِصَمِ ٱلكَوَافِرِ وَسئَلُوا أَنفَقتُم وَليَسئَلُوا مَا أَنفَقُواْ ذَٰلِكُم حُكمُ ٱللَّهِ يَحكُمُ بَينَكُم وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[131]

Ayat-ayat yang sudah penulis paparkan di atas adalah ayat-ayat yang membawa redaksi kata nikah di dalamnya. Dan semua kata nikah yang terdapat di dalam ayat-ayat tersebut bermakna akad kecuali ayat 230 surah Al-Baqarah. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Az-Zamakhsyari bahwa:
ليس في القرآن لفظ النكاح بمعني الوطء إلا قوله تعالي "حتي تنكح زوجا غيره".[132]

“Tidak ada kata nikah yang bermakna Wat}’u atau hubungan intim, kecuali firman Allah Q.S Al-Baqarah ayat 230.”

Yaitu:

فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِن بَعدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوجًا غَيرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ وَتِلكَ حُدُودُ ٱللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوم يَعلَمُونَ
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”.[133]

Hal itu dibuktikan dengan adanya hadis yang berbunyi:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ امْرَأَةَ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنِّي كُنْتُ عِنْدَ رِفَاعَةَ فَطَلَّقَنِي فَبَتَّ طَلَاقِي فَتَزَوَّجْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ وَإِنَّ مَا مَعَهُ مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَتَبَسَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ.[134] رواه ابن ماجه
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Az Zuhri berkata, telah mengabarkan kepadaku Urwah dari 'Aisyah berkata; "Isteri Rifa'ah Al Qurazhi datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Sesungguhnya aku pernah menjadi isteri Rifa'ah, lalu ia menceraikan aku dan telah selesai perceraianku. Kemudian aku menikah dengan 'Abdurrahman bin Az Zubair, namun ia tidak punya apa-apa selain seperti sepotong kain! " maka tersenyumlah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Apakah kamu ingin kembali lagi dengan Rifa'ah? Tidak, hingga engkau merasakan madunya dan ia merasakan madumu.”
Kehadiran hadis di atas memberikan penjelasan bahwa maksud kata nikah pada ayat 230 surah Al-Baqarah tersebut adalah hubungan intim. Dengan demikian, pemahaman kata nikah dalam hukum perkawinan Islam telah jelas, bahwa sebuah kata yang awalnya mempunyai makna secara bahasa menunjuk suatu makna, kemudian kata tersebut digunakan untuk makna lain oleh syariat, maka dalam hal ini tentu saja kata tersebut akan dipahami menurut ketentuan syariat. Seperti itulah ketentuan yang berlaku, sebab ketika sang pembuat syariat mengatakan sebuah kata dalam nash, maka yang dimaksud adalah seperti yang dikehendaki oleh syariat seakan-akan secara tidak langsung kata tersebut mengandung petunjuk yang menentukan bagi makna yang dikehendaki syariat.



[1]Departemen Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya, (Jakarta:  Lentera Abadi, 2010), hlm. 471.

[2]Ibid., hlm. 598
[3]Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 103.
[4]Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 136.

[5]Ibid., hlm. 136.

[6]Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 103.

[7]Sayyid Sabiq, Fiqih As-Sunnah, juz. 2, (cairo: maktabah dar at-turats, 2005), hlm. 47.

[8]Muhammad Jawad Mugniyah, Al-fiqh ‘Ala Al-Mazdahib Al-Khamsah, terjemah, Masykur A.B, Afif Muhammad, Idrus Kaff, cet. 25, (Jakarta: Lentera, 2010), hlm. 331.

[9]Ibnu Qudamah, Al-Mugni<, terjemah, Mamduh Tirmizdi, Dodi Rosadi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2012), hlm. 509.

[10]Ibnu Qudamah, op.cit., hlm. 514

[11]Muhammad Jawad Mugniyah, op.cit., hlm. 332

[12]Muhammad bin Idris Asy-syafi’i, Al-Umm, terjemah, Misbah, juz. 9, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014), 182

[13]Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir, juz 2, cet. 10 (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2003), hlm. 652.

[15]Ibid., hlm. 222.

[16]Pusat bahasa, Kamus Besar Bahasa Indodesia, cet. 3, (jakarta: balai pustaka, 2006), hlm. 427.
[17]Mahmud yunus, op.cit., hlm. 196.
[19]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu juz. 9, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2006), hlm. 6641.

[21]Muhammad Al-Khudhari bik, ta>ri>kh At-Tasyri>’ Al-Isla>mi, (jakarta: Dar Al-kutub Al-islamiyah, 2007), hlm. 9.

[22]Ibid., hlm. 28.

[23]Holilurrahman, dkk, Op.Cit., hlm. 16.

[24]Ibid., hlm. 32.
[26]Muhammad Asrari, muh}a>d}arah ma>ddah dira>sah al-h}adis| asy-syari>f, (malang: UIN-Maliki Press, 2011), hlm. 186.

[28]Ibid.,
[29]Muhammad Asrari, op.cit., hlm. 196.

[31]Ibid., hlm. 286.

[32]Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Us}u>l Al-fiqh (Kairo: Dar Al-hadis, 2003), hlm. 165.
[33]Ibid., hlm. 166.
[34]Wahbah zuhaili, Us}u>l Al-fiqh Al-isla>mi>, (Damaskus: Dar Al-fikr, 1986), hlm. 286.

[35]Ibid.,

[36]Muhammad bin ‘Alwi al-maliki, Al-Qawa>’id Al-Asa>siyyah fi> ushul Al-Fiqh, (jeddah: Al-Haramain, Tth), hlm. 17.

[37]Ibid,.
[38]Ibid., hlm. 21.
[40]Ahmad Amin, Dhuha> Al-Isla>m, cet. Ke-8, jilid 2, (Kairo: Maktabah An-Nahdhah Al-Mishriyah, 1974), hlm. 218.
[42]Ahmad bin Husain Al-Baihaqiy, Mana>qib Asy-Sya>fi’i>, cet. Ke-2, (Majelis Albanjariy Littafaqquh Fid Din, 2006), hlm. 35.

[43]Ahmad nahrawi, op.cit., hlm. 6.

[44]Abu Zakaria Muhyiddin bin Syarafuddin An-Nawawi, Tahdzi>b Al-Asma> wa Al-Lugha>t, (Beirut: Dar Al-kutub Al-‘ilmiyah, Tth), hlm. 45.

[46]Ahmad nahrawi, op.cit., hlm. 9.

[47]Ahmad Nahrawi Abd As-Salam, Al-Ima>m Asy-Sya>fi’i> fi> madzhabaih Al-Qadi>m wa Al-Jadi>d, (Dar Al-kutub, 1988), hlm. 29.
[48]Ahmad nahrawi, op.cit., hlm. 15.
[49]Muhammad bin Umar Fakhruddin ar-razi, Mana>qib Al-Ima>m Asy-sya>fi’iy, (Cairo, Maktabah Al-kulliyah Al-Azhariyah, 1986), hlm. 37.

[50]Ibid., hlm. 191.

[51]K.H. munawar khalil, op.cit., hlm. 153.

[52]Ahmad nahrawi, op.cit., hlm. 18.

[53]Yaqut Al-hamawiy, Mu’jam Al-Udaba>, (Pdf), hlm. 1178
[54]Muhammad bin Umar Fakhruddin ar-razi, op.cit., hlm. 219.

[55]Ahmad nahrawi, op.cit., hlm. 23.

[56]Hafiz Hasan Al-Mas’udi, Minh}ah Al-Mughits fi> ‘Ilm Mus}thalah Al-Hadist, (tt: Al-haramain, tth), hlm. 16.
[57]K.H. munawar khalil, op.cit., hlm. 153.

[58]Muhammad bin Umar Fakhruddin ar-razi, op.cit., hlm. 43.
[59]Ibid, hlm. 44
[60]Ibid., hlm. 48.
[61]Ibnu Hajar Al-Asqalani, Tawa>li> At-ta’si>s, (Beirut: Dar Al-kutub Al-ilmiah, 1986), hlm. 147.
[62]Ahmad nahrawi, op.cit., hlm. 622.

[63]Ibid, hlm. 622.
[64]Ibnu Hajar Al-Asqalani, op.cit., hlm. 151.

[65]Ibid., hlm. 147.
[66]Ahmad nahrawi, op.cit., hlm. 626.

[67]Muhammad Al-Khudhari bik, op.cit., hlm. 198.
[68]Muhammad bin Umar Fakhruddin ar-razi, op.cit., hlm. 226.

[69]Ahmad nahrawi, op.cit., hlm. 627.

[70]Ibid., hlm. 161.
[71]Ahmad Amin, Dhuha> Al-Isla>m, op.cit., hlm. 225.

[72]Ibid., hlm. 226.

[73]Muhammad Al-Khudhari bik, op.cit., hlm. 160.

[74]Muhammad bin Umar Fakhruddin ar-razi, op.cit., hlm. 390.
[75]Ahmad nahrawi, op.cit., hlm. 164.

[77]Ibid,.
[79]Ibid, hlm. 334.
[80]Ibid., hlm. 136.

[81]Ibid.

[82]Ibid.
[83]Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 471.

[84]Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ad-Damisyqi, Syarah Shahih Muslim, juz 10 (Kairo: Al-Maktabah At-Taufiqiyah, 2008), hlm. 38.

[85]Ibid., hlm. 40.

[86]‘Ali bin ‘Umar Ad-Daruquthniy, Sunan Ad-Da>ruquthni>, juz 4, (beirut: Mu’assisah Ar-Risalah, 2004), hlm. 401.

[87]Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali Asy-Syirazi, Takmilah Al-majmu>’ Syarh} Al-Muhadzdzab, juz 16, (Kairo: Dar Al-Hadis, 2010), hlm. 485.

[90]Ali bin Muhammad Al-Jurjani, Kita<b At-ta’ri<fa<t, (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, tth), hlm. 266.

[91]Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir, loc.cit,.

[92]Departemen Agama RI, op.cit. hlm. 336

[93]Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir, op.cit., hlm. 652.
[94]Ibid., hlm. 653.

[95]Ibid.

[96]Ibid., hlm. 654.
[97]Abdullah bin Muhammad, luba>b at-tafsi>r min ibni kas}i>r, terjemah, M. Abdul Ghafur, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, (Jakarta: PUSTAKA IMAM SYAFI’I, 2008), hlm. 334.

[98]Muhammad bin Yazid Al-Qazwiniy, op.cit., Juz 2, hlm. 1025.
[100]Departemen Agama RI, loc.cit,.

[101]Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir, juz 2, cet. 10, op.cit., hlm. 649
[102]Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ad-Damisyqi, loc.cit,.

[103]Ibid., hlm. 40.

[104]‘Ali bin ‘Umar Ad-Daruquthniy, loc.cit,.

[105]Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali Asy-Syirazi, loc.cit,.

[106]Muhammad bin Yazid Al-Qazwiniy, loc.cit,.

[107]Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali Asy-Syirazi, loc.cit,.

[108]Ibid., hlm. 485.
[109]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, juz. 9, op.cit., hlm. 6514

[110]Wahbah zuhaili, Tafsir Al-Munir, op.cit., hlm. 653.

[111]Ibid., hlm. 654.

[112]Abdul Wahhab Khallaf, loc.cit,.

[113]Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 326

[114]Ibid., 335.

[115]Ibid.,

[116]Ibid., hlm. 348.

[117]Ibid., hlm. 350.

[118]Ibid., hlm. 114.

[119]Ibid., hlm. 112.

[120]Ibid., hlm. 136.

[121]Ibid., hlm. 148.

[122]Ibid., hlm. 282.

[123]Ibid., hlm. 561.

[124]Ibid., hlm. 598.

[125]Ibid., hlm. 598.

[126]Ibid., hlm. 634.

[127]Ibid., hlm. 21.

[128]Ibid., hlm. 24

[129]Ibid., hlm. 32.

[130]Ibid., hlm. 32.

[131]Ibid., hlm. 99.

[132]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, juz. 9, op.cit., hlm. 6515.

[133]Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 336.

[134]Muhammad bin Yazid Al-Qazwiniy, op.cit., Juz 1, hlm. 622.

Posting Komentar

0 Komentar