PEMAHAMAN KATA NIKAH DALAM HUKUM PERKAWINAN
ISLAM (STUDI TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG PERKAWINAN AKIBAT ZINA)
Oleh:
Muhammad Abdul Khair SH
Salah
satu alumni Hukum Keluarga Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin
A.
Latar Belakang
Zina merupakan sekotor-kotornya dosa,
seburuk-buruknya amal, awal malapetaka, dosa besar yang sangat keji dan
terkutuk pelakunya. Islam sebagai agama yang sempurna mengharamkan praktik
zina. Allah berfirman dalam Q.S Al-Isra' ayat 32:
وَلَا تَقرَبُواْ ٱلزِّنَىٰ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلاً
“Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”[1]
Islam bukanlah agama yang berfikiran sempit
dengan melarang sesuatu tanpa adanya solusi. Dalam permasalahan penyaluran
hasrat seksual manusia agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap seks maka Islam
mensyariatkan nikah. Banyak ayat-ayat Alqur'an yang menyatakan tentang anjuran
nikah, diantaranya adalah Q.S An-Nur ayat 32:
وَأَنكِحُواْ ٱلأَيَٰمَىٰ مِنكُم وَٱلصَّٰلِحِينَ مِن عِبَادِكُم
وَإِمَائِكُم إِن يَكُونُواْ فُقَرَاءَ يُغنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضلِهِۦ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan nikahkanlah
orang-orang yang masih membujang diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah)
dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin
Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha
luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”[2]
Di balik pensyariatan perkawinan, ternyata
dikenal juga istilah larangan perkawinan. Artinya, ada sebab-sebab tertentu
yang menghalangi seorang laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan
perkawinan. Larangan perkawinan dalam bahasa agama disebut dengan mah}ram.
Larangan perkawinan ada dua macam yaitu, mu’abbad, larangan abadi dan mu’aqqat,
larangan sementara.[3]
Larangan perkawinan diatur dalam Inpres no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam pasal 39, sebagai berikut:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dan wanita disebabkan:
1.
Karena
pertalian nasab:
a.
Dengan
seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya.
b.
Dengan
seorang wanita keturunan ayah atau ibu.
c.
Dengan
seorang wanita saudara yang melahirkannya.
2.
Karena
pertalian kerabat semenda:
a.
Dengan
seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya.
b.
Dengan
seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya.
c.
Dengan
seorang wanita keturunan isteri atau bekas isteri, kecuali putusnya hubungan
perkawinan dengan bekas isterinya itu qabla ad-dukhhu<l.
d.
Dengan
seorang wanita bekas isteri keturunannya.
3.
Karena
pertalian sesusuan:
a.
Dengan
wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas.
b.
Dengan
seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.
c.
Dengan
seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah.
d.
Dengan
seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas.
e.
Dengan anak
yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Ketentuan dalam pasal 39 Kompilasi Hukum Islam
pada angka satu mendahulukan sebab pertalian nasab, yaitu sebab yang timbul
karena hubungan darah yang referensinya adalah firman Allah Q.S An-Nisa ayat 23
yang juga sekaligus menjadi dasar adanya sebab pertalian sepersusuan:
حُرِّمَت عَلَيكُم أُمَّهَٰتُكُم وَبَنَاتُكُم وَأَخَوَٰتُكُم
وَعَمَّٰتُكُم وَخَٰلَٰتُكُم وَبَنَاتُ ٱلأَخِ وَبَنَاتُ ٱلأُختِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ
ٱلَّٰتِي أَرضَعنَكُم وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَائِكُم وَرَبَٰئِبُكُمُ
ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَائِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلتُم بِهِنَّ فَإِن لَّم تَكُونُواْ
دَخَلتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيكُم وَحَلَٰئِلُ أَبنَائِكُمُ ٱلَّذِينَ مِن أَصلَٰبِكُم
وَأَن تَجمَعُواْ بَينَ ٱلأُختَينِ إِلَّا مَا قَد سَلَفَ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ
غَفُورا رَّحِيما
“Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”[4]
Kemudian angka dua dalam pasal tersebut
menyebutkan sebab kerabat semenda atau perkawinan, hal ini didasarkan pada
firman Allah Q.S An-Nisa ayat 22:
وَلَا تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَاؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَاءِ
إِلَّا مَا قَد سَلَفَ إِنَّهُۥ
كَانَ فَٰحِشَة وَمَقتا وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan
janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”[5]
Pengutipan ayat di atas memang terlihat tidak
berurutan, akan tetapi Kompilasi Hukum Islam bermaksud ingin membuat versi
urutanmya sendiri secara tertib, dari sebab pertalian nasab, sebab pertalian
akibat perkawinan, dan sebab sepersusuan.[6]
Secara sepintas bisa dilihat dari
larangan-larangan perkawinan di atas bahwa dengan adanya perkawinan antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan, maka menimbulkan hal-hal yang
sebelumnya tidak ada menjadi ada, seperti terjalinya pertalian nasab,
persemendaan, dan lain sebagainya. Namun, dalam kehidupan manusia penyaluran
hasrat seksual kadang-kadang disalurkan di luar ikatan suci perkawinan, yang
disebut zina. Dengan demikian, jika suatu perkawinan dapat mengakibatkan
pertalian nasab ataupun pertalian kerabat semenda, maka apakah suatu perzinaan
juga dapat mengakibatkan seperti yang diakibatkan perkawinan. Dalam hal ini terdapat
perbedaan pendapat para ulama ahli fiqih.
Menurut ulama Hanafiyah, seorang laki-laki yang
berzina dengan seorang perempuan, menyentuhnya, menciumnya, atau melihat
kemaluannya dengan syahwat, ia diharamkan menikah dengan orang tua perempuan
itu serta garis lurus ke atas, dan diharamkan pula keturunan perempuan tersebut
serta garis lurus ke bawah. Begitu pula dengan perempuan yang berzina, dia
tidak diperbolehkan untuk menikah dengan orang tua dan keturunan laki-laki yang
berzina dengannya. Sebab, hurmah al-musha>harah dapat disebabkan oleh zina menurut mereka.[7] Ulama
Hanabilah pun berpendapat serupa demikian, kedua mazdhab tidak membedakan
antara terjadinya perzinaan sebelum dan sesudah perkawinan. Maka dapat dipahami
bahwa kedua pendapat ini menggolongkan
perzinaan dan perbuatan yang mengarah kepada perzinaan adalah sebagai faktor
terjalinnya hubungan mahram karena pernikahan, atau disebut dengan mus}a<harah.[8]
Hal ini senada dengan pendapat Ibnu Qudamah
yaitu, kata nikah dalam firman Allah Q.S
An-Nisa ayat 22 menurutnya bermakna hubungan intim. Wat}’u yang berarti buhungan intim di luar nikah
terkadang dinamai juga nikah, seperti kata seorang penyair “apabila aku berzina
maka aku menemukan pernikahan”. Maka dari itu di dalam ayat tersebut ada
indikasi yang memberikan makna hubungan intim suami isteri di luar nikah,
karena hukum ini diarahkan ke dalam makna keumuman ayat. Hubungan seks dengan
jalan yang haram menyebabkan haram hukum nikah, sebagaimana keharaman nikah
dengan sebab hubungan suami isteri yang halal atau hubungan suami isteri yang
syubhat. Artinya, sudah menjadi ketetapan hukum haram nikah disebabkan mus}a<harah,
apabila seorang laki-laki berzina dengan
perempuan, maka perempuan itu haram dinikahi oleh ayah dan anak laki-laki yang
menzinahinya, dan juga atas laki-laki yang menzinai itu menikahi ibu dan anak
perempuan yang dizinainya sebagaimana ia melakukan hubungan suami isteri karena
syubhat atau halal.[9]
Imam Syafi’i dan Imam Malik berkata pada suatu
riwayat yang terkenal dari mazdhabnya, bahwa dibolehkan atas laki-laki menikahi
anak perempuannya dari hasil zina dan juga saudaranya, cucu perempuan dari anak
laki-lakinya, cucu perempuan dari anak perempuannya dan anak perempuan saudara
atau saudari zinanya. Sebab mereka adalah orang lain bagi laki-laki tersebut
dan tidak dihubungkan nasab kepadanya secara syar’i, juga di anatara mereka
berdua tidak saling mewarisi.[10] Tentang masalah ini Imam Malik mempunyai dua riwayat,
yang pertama sejalan dengan pendapat Syafi’i, dan yang satunya lagi sejalan
dengan pandangan Hanafi.[11]
Imam Syafi’i berpandangan bahwa jika seorang
perempuan yang hamil dari zina melahirkan anak, baik laki-laki yang berzina
dengannya itu mengakui atau tidak mengakui, lalu dia menyusui seorang anak,
maka anak yang disusuinya itu menjadi anaknnya, tetapi ia tidak menjadi anak
bagi laki-laki yang berzina dengan perempuan tersebut. Namun, untuk tataran
sikap wara’, saya memakruhkan laki-laki tersebut menikah dengan
anak-anak perempuan dari anak yang lahir dari zina yang dilakukan lak-laki
tersebut.[12]
Dalam permasalahan ini logika manusia secara
sepintas akan mendukung pendapat ulama Hanafiyah dan ulama-ulama yang satu
pemikiran dengan mereka. Terlebih lagi jika dalam masalah hukum menikahi anak
perempuan hasil zina sendiri, maka secara langsung logika akan mengatakan bahwa
tidak boleh menikahinya karena ia adalah darah dagingnya sendiri. Namun, Imam
Syafi’i berpandangan lain akan hal ini, dengan ijtihadnya ia sama sekali tidak
memandang bahwa zina itu mempunyai pengaruh seperti perkawinan.
Dari perbedaan pendapat di atas bisa dikatakan
bahwa salah satu hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut
adalah dari segi pemahaman kebahasaan. Menurut Wahbah Zuhaili, sebab perbedaan
pendapat dalam masalah ini adalah pemahaman kata nikah dalam ayat 22 surah
An-nisa, sebab kata nikah di sana merupakan kata yang musytarak, antara makna hubungan intim dan makna akad. Kelompok yang
berpendapat bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah hubungan intim, maka
diharamkan walaupun dengan zina. Sebaliknya, kelompok yang berpendapat bahwa
yang dimaksud dalam ayat itu adalah akad, maka tidak haram dengan zina.[13]
Berdasarkan
latar belakang masalah yang ada, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih
dalam pemahaman kata nikah dalam pemikiran Imam Syafi’i serta dasar hukum
yang digunakan oleh Imam Syafi’i tentang perkawinan akibat zina tersebut
dan menuangkannya dalam sebuah penelitian yang bersifat deskriptif analitis
yang berjudul “Pemahaman
Kata Nikah Dalam Hukum Perkawinan Islam (Studi Terhadap Pemikiran Imam Syafi’i
Tentang Perkawinan Akibat Zina)”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah, maka permasalahan yang akan dibahas melalui penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimana
pemikiran Imam Syafi’i tentang perkawinan akibat zina?
2.
Bagaimana dasar
hukum yang digunakan Imam Syafi’i dalam pemikirannya tentang perkawinan akibat
zina?
3.
Bagaimana
pemahaman kata nikah dalam pemikiran Imam Syafi’i tentang perkawinan akibat
zina?
C.
Definisi Istilah
Agar tidak menimbulkan
kesalahpahaman yang dilakukan pada penelitian ini, maka perlu memberikan
definisi istilah sebagai berikut:
1.
Muh}arrama>t
Muh}arrama>t
adalah suatu istilah untuk perempuan-perempuan yang haram dinikahi menurut
Hukum Islam. Kata Muh}arrama>t
diambil dari bahasa Arab yang berbentuk ism Al-Maf’ul yang berasal dari
kata h}arrama yuh}arrimu tah}ri>man yang berarti mengharamkan[14].
2.
Mus}a<harah
Mus}a<harah
adalah suatu istilah hubungan yang muncul disebabkan oleh perkawinan. Dengan
kata lain hubungan yang sebelumnya tidak terjalin, menjadi terjalin dengan
sebab adanya sebuah ikatan perkawinan. Mus}a<harah merupakan sebuah hubungan yang
menyerupai kekerabatan nasab. Dalam bahasa Arab kata mus}a<harah
diambil dari akar kata s}a>hara yus}a>hiru mus}a>haratan yang mempunyai arti menjadikan keluarga.[15]
3.
Zina
Zina
adalah perbuatan bersenggama antara seorang laki-laki dan perempuan yang tidak
terikat oleh hubungan perkawinan.[16]
Zina yang dimaksud penulis di sini adalah hubungan intim yang terjadi di
kemaluan depan antara seorang laki-laki dan perempuan yang terjadi di luar
suatu akad pernikahan yang sah.
4.
Musytarak
Musytarak
adalah suatu istilah
yang digunakan untuk kata yang mempunyai dua arti yang sebenarnya dan arti-arti
tersebut berbeda-beda. Kata Musytarak dalam bahasa Arab berasal dari akar kata isytaraka yasytariku isytira>kan yang berarti
bersekutu[17] atau
dengan kata lain berkumpul menjadi satu.
D.
Landasan Teori
1. Wanita-Wanta Yang Haram Dinikahi
Firman Allah
SWT dalam Qs. An-Nisaa ayat 22-24:
وَلَا تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَاؤُكُم
مِّنَ ٱلنِّسَاءِ إِلَّا مَا قَد سَلَفَ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَة وَمَقتا وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita
yang telah dikawini oleh ayahmu terkecuali pada masa yang telah lampai.
Sesungguhnya perbuatan itu amatlah dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan
(yang ditempuh).”
حُرِّمَتْ عَلَيكُم أُمَّهَٰتُكُم وَبَنَاتُكُم
وَأَخَوَٰتُكُم وَعَمَّٰتُكُم وَخَٰلَٰتُكُم وَبَنَاتُ ٱلأَخِ وَبَنَاتُ ٱلأُختِ
وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِي أَرضَعنَكُم وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ
وَأُمَّهَٰتُ نِسَائِكُم وَرَبَٰئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَائِكُمُ
ٱلَّٰتِي دَخَلتُم بِهِنَّ فَإِن لَّم تَكُونُواْ دَخَلتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيكُم
وَحَلَٰئِلُ أَبنَائِكُمُ ٱلَّذِينَ مِن أَصلَٰبِكُم وَأَن تَجمَعُواْ بَينَ ٱلأُختَينِ
إِلَّا مَا قَد سَلَفَ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورا رَّحِيمًا
“Diharamkan
atas kamu (mengenai) ibu-ibumu; anak-anak yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudara yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua);
anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang sudah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campuri dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu);, dan menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
وَٱلمُحصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَاءِ
إِلَّا مَا مَلَكَت أَيمَٰنُكُم كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيكُم وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاءَ
ذَٰلِكُم أَن تَبتَغُواْ بِأَموَٰلِكُم مُّحصِنِينَ غَيرَ مُسَٰفِحِينَ فَمَا ٱستَمتَعتُم
بِهِ مِنهُنَّ فََٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَة وَلَا جُنَاحَ عَلَيكُم فِيمَا
تَرَٰضَيتُم بِهِ مِن بَعدِ ٱلفَرِيضَةِ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
"Dan (diharamkan juga kamu mengawini)
wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah
menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu
selain yang demikian (yaitu) mencari isteri yang telah kamu nikahi (campur) di
antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu
terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana."
Dalam tiga ayat
di atas Allah menyebutkan perempuan-perempuan yang haram dinikahi. Dengan
mencermati firman Allah tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa tidak semua perempuan bisa dinikahi, karena
wanita yang akan dinikahi harus dapat dipastikan tidak termasuk muharrama>t. Dan faktor penyebab keharaman nikah seorang perempuan
atas seorang laki-laki terbagi 2 macam[18]:
a. Mu’abbadah
Mu’abbadah
yaitu pengharaman
yang berlaku selama-lamanya, seorang perempuan tidak boleh menjadi isteri seorang
laki-laki untuk selamanya. Keharaman ini ada tida macam:
1) Sebab nasab
a) Ibu
b) Anak perempuan
c) Saudara perempuan
d) Bibi dari pihak ayah
e) Bibi dari pihak ibu
f) Anak perempuan saudara laki-laki
g) Anak perempuan saudara perempuan
2) Sebab perkawinan atau musha>harah
a)
Ibu istri (ibu mertua), dan tidak
dipersyaratkan tahrim ini suami harus dukhul ”bercampur” lebih dahulu. Meskipun
hanya sekedar akad nikah dengan puterinya, maka sang ibu menjadi haram atau
menantu tersebut.
b)
Anak perempuan dari isteri yang
sudah didukhul (dikumpul), oleh karena itu, manakala akad nikah dengan ibunya
sudah dilangsungkan namun belum sempat (mengumpulinya), maka anak perempuan
termasuk halal bagi mantan suami ibunya itu.
c)
Isteri anak (menantu perempuan).
d)
Isteri bapak (ibu tiri).
3) Sebab persusuan
a) Ibu yang menyusui serta garis lurus ke atas.
b) Keturunan ibu yang menyusui serta garis lurus
ke bawah.
c) Saudara-saudara sepersusuan dan
keturunan-keturunannya.
d) Bibi-bibi radha’ah, baik saudari suami
ibu yang menyusui atau saudari ibu yang menyusui langsung.
e) Ibu isteri dari radha’ah, serta garis
luru ke atas.
f) Isteri ayah dan ke atasnya dari radha’ah.
g) Isteri anak laki-laki dan ke bawahnya dari radha’ah.
h) Anak perempuan isteri dari radha’ah.
b. Mu’aqqatah
Mu’aqqatah yaitu pengharaman yang bersifat sementara,
jika nanti keadaan berubah, gugurlah keharaman itu dan juga menjadi halal.
Berikut 5 macam bagiannya:
1) Saudari isteri
2) Wanita kelima bagi yang beristeri empat orang
wanita
3) Wanita yang tidak beragama samawi
4) Wanita yang ditalak tiga
5) Wanita yang masih dalam ikatan perkawinan atau
dalam masa iddah.[19]
2. Sumber Hukum Islam
a.
Sumber hukum Islam pada masa
Rasulullah
Sumber hukum Islam pada fase ini
terhimpun dalam satu sumber yaitu wahyu yang diturunkan langsung kepada Rasulllah dari Allah. Wahyu sendiri
ada dua macam, yakni wahyu yang terbaca yaitu Alquran, dan wahyu yang tidak
dapat dibaca yakni Sunnah.[20]
1)
Alquran
Alquran adalah kitab Allah yang
diturunkan kepada nabi Muhammad secara berangsur-angsur dari malam ke-17
Ramadahan pada tahun ke-41 dari kelahiran nabi Muhammad,[21]
kitab yang membacanya bernilai ibadah. Alquran merupakan sumber pertama dan
utama bagi penetapan hukum Islam, ia meliputi semua ajaran pokok dan semua
kaidah yang harus ada dalam pembuatan produk hukum Islam.
Seperti yang diketahui Alquran tidak
diturunkan sekaligus, akan tetapi dengan cara berangsur-angsur. Dan ternyata
hal itu memiliki hikmah, salah satunya yaitu untuk mengokohkan hati Rasulullah,
apalagi Baginda merasa takut ketika pertama kali bertemudengan Jibril, setelah
itu wahyu terputus beberapa waktu sehingga hati Baginda menjadi rindu dengan
wahyu. Allah berfirman dalam surah Al-Furqan ayat 32:
وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَولَا نُزِّلَ عَلَيهِ ٱلقُرءَانُ
جُملَةً وَٰحِدَةً كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِۦ فُؤَادَكَ وَرَتَّلنَٰهُ تَرتِيلًا
“Berkatalah orang-orang
yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun
saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacanya secara tartil (teratur dan benar).”
2)
Sunnah
Sunnah adalah segala sesuatu yang
datangnya dari Nabi Muhammad dari segi perkataan, perbuatan, atau ketetapannya,
dan tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah adalah seorang penyampai dari Allah.[22]
Sebagaimana firman Allah Al-Maidah ayat 67:
يَٰأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ بَلِّغ مَا أُنزِلَ إِلَيكَ مِن رَّبِّكَ
وَإِن لَّم تَفعَل فَمَا بَلَّغتَ رِسَالَتَهُۥ وَٱللَّهُ يَعصِمُكَ مِنَ ٱلنَّاسِ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهدِي
ٱلقَومَ ٱلكَٰفِرِينَ
“Hai Rasul,
sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu
kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
b.
Sumber hukum Islam pada masa Khulafa> Ar-Ra>syidi>n
Pada periode ini sumber hukum Islam
ada empat[23],
yakni:
1)
Alquran
2)
Sunnah
3)
Ijma’
4)
Ra’yu
c.
Sumber hukum Islam pada
masa Tabi’in
pada periode ini ada tiga yang
menjadi sumber hukum Islam,[24]
yaitu:
1)
Alquran
Pada masa ini Alquran mulai
dikodifikasikan dan memunculkan pernyataan bahwa dalil-dalil Ah}ka>m yang terdapat dalam
Alquran bersifat qat}’i al-wuru>d. Hal ini tersirat
dalam proses kodifikasi Alquran sendiri menjadi beberapa nusakh, yang dalam
prosesnya dijamin kemutawatirannya, baik dalam proses penukilan maupun
penulisannya.
2)
Sunnah
Belum terjadi kodifikasi sunnah
karena kekhawatiran akan tercampurnya Alquran dan Sunnah. Namun demikian, hal
ini berdampak terhadap beberapa hal berikut:
I.
Adanya upaya mempelajari hadis dari
aspek periwayatannya untuk mengetahui keshashihan hadis. Kemudian muncullah
pembagian hadis menurut periwayatannya menjadi hadis yang qat}’i al-wuru>d dan z}anni al-wuru>d.
II.
Munculnya silang
pendapat kehujahan sunnah sebagai sumber tasyri’.
3)
Ijtihad sahabat
Belum terjadi kodifikasi dalam
produk ijtihad yang bersifat fardiyah. Namun semangat yang digunakan sebagai
kerangka dalam berijtihad ini mulai muncul yaitu dar’u al-mafa>sid wa jalb al-mas}a>lih}.
Semakin berkembang peradaban zaman
semakin banyak pula melahirkan tokoh-tokoh yang menjadi pewaris para Nabi, yang
kemudian banyak membawa pembaharuan-pembaharuannya dalam perumusan hukum Islam.
Dan akhirnya, para ulama sepakat terhadap kehujahan dalil-dalil syar’i yang
empat, yaitu Alquran, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Mereka juga sepakat bahwa
rujukan utama dari keempat dalil tersebut adalah Alquran. Sebab, apa yang
bersumber dari nabi Muhammad adakalanya merupakan penjelasan dan penetapan
terhadap apa yang ada di dalam Alquran. Dan adakalanya pensyari’atan itu dari
intisari Alquran dan dasar-dasarnya. Dan juga, Ijma’ harus mempunyai sandaran
yang merujuk pada Alquran dan Sunah. Sedangkan Qiyas fungsinya adalah sebagai
penjelas bahwa hukum yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya pada suatu
permasalahan tertentu, juga bisa berlaku pada permasalahan yang lain, jika
mempunyai kesamaan ‘illat, yaitu faktor penentu hukum tersebut.[25]
3.
Sanad dan Matan Hadis
a.
Sanad
الطريقة الذي يوصل إلي متن الحديث, وهو سلسلة الرواة الناقلين عن الرسول صلي
الله عليه وسلم, والذين استند إليهم الراوي في حديثه.[26]
“Sanad ialah jalan yang tersambung sampai matan hadis,
yaitu mata rantai para perawi yang mengambil dari Rasulullah, dan yang kemudian
mereka itu disandarkan oleh seorang perawi dalam hadisnya.”
Sanad merupakan faktor yang sangat menentukan dalam
keabsahan sebuah hadis. Sanad dalam pemahaman sederhana adalah mata rantai
sejarah yang terdiri dari manusia-manusia yang menghubungkan antara pencatat
hadis dengan sumber riwayat. Jika hal itu adalah Rasulullah maka akan disebut
hadis marfu’, jika seorang sahabat maka disebut hadis mauquf, dan
jika dari seorang tabi’in maka disebut hadis maqthu’. Yang menjadi objek
kajian pada sanad ini adalah kualifikasi perorangan dalam jajaran rantai narasi
tersebut, dan hubungan antara masing-masing perawi yang di atas dengan di
bawahnya secara berurutan.
Tentang kualifikasi seorang perawi, berdasarkan data
sejarah, ada dua aspek yang dipersoalkan.[27]
1)
Aspek yang bersifat
umum dalam kajian sejarah, yaitu tentang kualitas intelektual perawi, terutama
tentang daya serap dan daya simpan informasi yang ia peroleh dari sumber
tertentu, atau yang disebut dengan istilah dhabith.
2)
Aspek yang kajian
khususnya adalah keislaman, yaitu aspek keberagamaan atau ketaatannnya, atau
yang disebut dengan istilah ‘adalah.
Dalam kedua aspek ini sebagai analisis sejarah,
keduanya didasari pada data atau informasi historis yang dicatat dan dibukukan
oleh para sejarawan yang ahli di bidangnya. Para sejarawan perawi hadis ini
sendiri memiliki persyaratan dan kualifikasi yang relatif ketat. Data sejarah
inilah yang diakumulasikan bagi upaya induksisasi sebuah kesimpulan ilmiah
tentang seorang perawi hadis. Jika seluruh perawi dalam sanad mendapat nilai
positif dengan tingkatan yang beragam, maka dua aspek dari persyaratan
keabsahan narasi hadis tadi sudah terpenuhi. Dua syarat itu belum cukup, akan
tetapi masih perlu membuktikan keabsahan hubunngan antar perawi dalam proses
penyampaiannya atau yang disebut tahammul wal ada’,[28]
b.
Matan
المتن هو ما انتهي إليه السند من الكلام أو هو
الكلام المذكور بعد السند.[29]
“Matan ialah suatu teks hadis yang sanad itu berhenti padanya,
atau suatu teks hadis yang disebutkan sesudah sanad.”
Dalam analisis teks hadis sebagai upaya menemukan
pesan-pesan moral atau pesan agama yang terkandung di dalamnya, ada beberapa
asumsi dasar yang perlu digarisbawahi. Tanpa landasan yang jelas dalam proses
pemahaman, seorang analis tidak dapat menentukan pangkal tolak analisisnya dan
tidak dapat memilih dan memilah kasus-kasus kehadisan. Tanpa itu, bisa saja
orang akan terjebak pada kasus yang sesungguhnya merupakan masalah marginal
dalam agama dan mengabaikan atau tidak berkesempatan untuk menelaah,
memikirkan, dan mengembangkan hal-hal yang bersifat substantif. Orang dapat
disibukkan oleh warna kulit tanpa sempat menguak isinya. Sejumlah asumsi yang
dimaksud ialah di antaranya:
1)
Hadis sebagai teks
agama
Teks-teks hadis secara filosofis adalah teks-teks
agama yang nilai keberadaannya didasari oleh iman. Sebagai bagian dari agama,
kebenaran substantif yang tersurat dan tersirat dalam hadis Rasulullah
bersumber dari Allah, atau sering disebut bersifat wahyu. Rasulullah hanya
berperan sebagai media dan terlibat dalam aspek verbalisasi atau teksasi
substansi kebenaran hadis tersebut. Dalam hal ini, memang berbeda dengan
Alquran yang berkenaan degan isi dan redaksional teksnya bersumber dari Allah.
sementara hadis tidak demikian. Artinya, teks hadis tersebut tidak lepas dari
dampak perjalanan waktu. Teks hadis dalam perjalannya dari huku ke hilir, dari
guru pertama yakni Rasulullah, sampai kepada pembuku hadis, telah mengalami
imbasan sejarah dengan segenap konsekuensinya.
2)
Kontekstualitas hadis
Sama dengan Alquran, sejumlah hadis dalam upaya
pemahaman sangat erat hubungannya dengan konteks tertentu, misalnya kapan
Rasulullah menyampaikan berita atau bersikap, bertindak atau berperilaku, di
mana, dalam kondisi bagaimana, kepada siapa beliau menyampaikan, dan
sebagainya. Pemahaman hadis yang bernuansa kontekstual tanpa memperhatikan
kontekstualitasnya akan melahirkan sebuah pemaknaan yang barangkali sesuai
dengan makna lahir teks, namun tidak sesuai dengan pesan moral yang disampaikan
Rasulullah.
3)
Dimensi metafisika
Sama dengan Alquran, teks hadis ada juga yang dapat
didekati dengan pendekatan rasional, yaitu hadis yang berhubungan dengan
kehidupan atau amalan yang riil di dunia nyata, dan ada yang bersifat informasi
yang berhubungan dengan kehidupan ghaib,
menyangkut surga dan neraka, dan lain-lain. Pada hal-hal yang berkaitan dengan
informasi ghaib, pendekatan rasional tidak dapat menyelesaikan persoalan. Dalam
hal seperti ini, diperlukan pendekatan yang bersifat supra-rasional.
Pada tataran ini, manusia hanya dapat menerima sebuah
fakta atau kebenaran meskipun akal tidak dapat mencernanya. Rasionalisasi pada
suatu yang bernuasa ghaib ini akan berakibat fatal serta akan muncul
klaim-klaim mati ataupun penolakan sebuah hadis tanpa landasan epistemologos
dan aksiologis yang jelas. Akibatnya, terjadi pemaksaan rasionalistas dengan
tata pikir yang tidak rasional. Maksudnya, rasionalisasi pada bidang yang bukan
wilayah empiris merupkan tindakan yang tidak rasional; atau dengan bahasa lain,
salah dalam penggunaan pisau analisis. Pada kasus-kasus hadis yang bernuansa
ghaib atau tidak dapat dicerna oleh akal manusia, khususnya dalam kajian ilmu
keislaman, diperlukan epistemologi plus, artinya bersifat khusus bagi orang-orang
yang beragama atau beriman.
4.
Musytarak
a.
Pengertian musytarak
Musytarak ialah suatu kata yang yang mempunyai dua arti yang
sebenarnya dan arti-arti tersebut berbeda-berbeda. Seperti kata ‘ain yang mempunyai arti mata, mata air, dan benda. Apabila
arti yang sebenarnya hanya satu dan yang lain
arti majazi, maka tidaklah dikatakan musytarak.[30]
b.
Penyebab adanya kata musytarak
Munculnya kata dengan
makna yang musytarak disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya yaiu:
1)
Karena bangsa arab
terbagi atas berbagai suku, misalnya ada suku Adnan, suku Qathan, dan suku
Quraisy. Masing-masing suku berpencar-pencar dalam beberapa dusun yang berbeda
tempat dan lingkungannya. Kadang-kadang, suatu suku memaknai sebuah kata
tertentu menurut kesepakatan suku bersangkutan, sedangkan suku lainnya berbeda
dalam memaknai hal yang sama. Meskipun demikian, semua makna menunjukan makna
sesugguhnya atau disebut dengan makna hakiki.
2)
Antara kedua pengertian
terdapat arti dasar yang sama. Oleh karena itu suatu kata bisa digunakan untuk
kedua pengertian tersebut, yang disebut isytirak ma’nawi. Kadang-kadang
orang melupakan yang dapat mengumpulkan kedua pengertia tersebut, dan menduga
hanya isytirak lafzhi. Sebagaimmana kata qur’un arti semula ialah waktu tertentu. Oleh karena
itu, malaria disebut qur’un, karena mempunyai waktu tertentu. Perempuan
dikatakan mempunyai qur’un sebab ia datang bulan pada waktu yang
tertentu dan waktu suci yang tertentu. Arti dasar yang menghubungkan berbagai
penngertian qur’un ialah waktu tertentu, yakni isytirak ma’nawi. Akan
tetapi, arti yang menghubungkan ini kemudian dilupakan, sehingga tidak dikenal
hubungannya suci dan datang bulan, lalu kemudian dinamakan isytirak lafzhi.
3) Pada mulanya, suatu kata digunakan untuk satu arti, kemudian
berpindah pada arti yang lain dengan majaz, karena adanya ‘alaqah atau
hubungan. ‘Alaqah ini dilupakan dan kemudian hilang, maka kata tersebut
diduga digunakan untuk dua arti yang sebenarnya, tanpa mengetahui adanya ‘alaqah
tersebut. [31]
c.
Kaidah pada kata musytarak
إذا ورد في النص الشرعي لفظ مشترك, فإن كان مشتركا بين معني لغوي و معني
اصطلاحي شرعي, وجب حمله علي المعني الشرعي, وإن كان مشتركا بين معنيين أو أكثر من
المعاني اللغوية وجب حمله معني واحد منها بدليل يعينه, ولا يصح ان يراد بالمشترك
معنياه أو معانيه معا.[32]
“Apabila
terdapat suatu kata musytarak pada nash syariat, maka jika musytarak
antara makna secara bahasa dan makna secara istilah syariat, maka wajib
memaknainya dengan makna syariat, dan jika musytarak antara dua makna
atau lebih dari makna secara bahasa, maka wajib memaknainya dengan salah
satunya saja dengan dalil yang menentukannya. Sebab, dua kata yang maknanya musytarak
tidak akan bisa dipahami sekaligus.”
Jadi, apabila kata musytarak
yang muncul dalam nash syariat adalah musytarak antara
makna kebahasaan dan makna istilah syariat, maka wajib memaknainya dengan makna
istilah syariat. Seperti kata shalat yang menurut bahasa bermakna doa dan
menurut istilah syariat adalah ibadah yang khusus, seperti firman Allah surah
Al-An’am ayat 72:
وَأَن أَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّقُوهُ وَهُوَ ٱلَّذِي
إِلَيهِ تُحشَرُونَ
“Dan agar mendirikan sembahyang serta bertakwa kepada-Nya".
Dan Dialah Tuhan yang kepada-Nya-lah kamu akan dihimpunkan.”
Kata shalat di atas
dimaksudkan untuk makna istilah syariatnya yaitu ibadah yang khusus bukan makna
kebahasaannya yaitu doa. Dan kata talak yang menurut kebahasaan bermakna
melepaskan sedangkan menurut istilah syariat adalah melepaskan ikatan
perkawinan yang sah, seperti dalam ayat 229 surah Al-Baqarah:
الطَلَاقُ مَرَّتَانِ..
“Talak (yang
dapat dirujuk) itu dua kali..”
Kata talak yang dibawa
oleh ayat di atas bermakna secara syariat dan tidak bermakna kebahasaan. Karena
itulah, setiap kata musytarak antara makna syariat dan makna kebahasaan
yang muncul dalam nash syariat, maka sya>ri’ yakni Sang Pembuat syariat menghendakinya bermakna
dengan makna syariat pula. Ketika makna sebuah kata yang dipakai oleh sya>ri’ untuk makna khusus yang diambil dari makna
kebahasaannya, maka dapat dipastikan kata itu mempunyai petunjuk yang tertentu
pada apa yang dimaksud oleh sya>ri’.[33]
Apabila kata musytarak
yang muncul dalam nash syariat adalah musytarak antara
beberapa makna kebahasaan, maka wajib mengerahkan segenap kemampuan untuk
menemukan suatu qari>nah atau petunjuk yang
menentukan makna yang dimaksud dalam nash tersebut. Seperti contoh,
surat Al-Baqarah ayat 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ...
“Isteri-isteri
yang diceraikan, hendaklah berdiam diri (ber’iddah) tiga
kali suci.”
Lafal Qur’u mempunyai dua arti, yaitu haid dan suci. Antara kedua arti tersebut adalah
makna yang dikehendaki ayat
tersebut. Ulama Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa yang dimaksud Qur’u adalah suci dengan qari>nah kata s|ala>s|ah yang merupakan kata bilangan. Kata bilangan
memperlakukan objek yang dibilanginya menjadi kebalikan sifat mu’annas| dan muz|akkar kata tersebut. Maka sifat mu’annas pada kata bilangan
dalam ayat di atas menjadi petunjuk bahwa objek yang dibilangi olehnya adalah
kata yang muz|akkar. Dan dalam bahasa arab
kata muz|akkar diantara haid dan suci adalah kata suci. Maka dari
itu, oleh mereka kata Qur’u dalam ayat di atas
bermakna suci.[34]
Berbeda dengan ulama Hanafiyah dan Hanabilah, mereka
memaknai kata Qur’u tersebut dengan haid. Menurut mereka, kata s|ala>s|ah adalah kata yang khusus, sedangkan kata yang khusus
mempunyai petunjuk yang pasti, bahwa masa iddah adalah tiga kali suatu masa
tanpa adanya tambahan dan pengurangan dan ini membuktikan bahwa yang dimaksud
dengan kata Qur’u adalah haid.[35]
5.
Hakikat dan Majaz
Suatu kata di
dalam kegunaannya pada makna ada dua macam, yaitu hakikat dan majaz.
a.
Hakikat
Tidak ada bantahan bahwa di dalam
Alquran terdapat kata-kata yang mempunyai makna sesungguhnya yang disebut makna
hakiki.
"Hakikat adalah lafazh yang digunakan
pada apa yang menjadi maknanya sejak awal peletakan maknanya secara kebahasaan."
Makna hakikat dari suatu lafazh ada
tiga macam:
1)
Makna hakikat menurut syari’at
Suatu lafazh yang bermakna hakikat
dengan ketentuan syari’at seperti kata shalat yang digunakan oleh
syari’at untuk ibadah yang khusus.
2)
Makna hakikat menurut peletakan
kebahasaan
Suatu lafazh
yang bermakna hakikat dengan ketentuan kebahasaan seperti kata asad (singa)
yang digunakan oleh kesepakatan bahasa untuk binatang buas.
3)
Makna hakikat menurut ‘urf (tradisi)
Suatu lafazh yang bermakna hakikat
dengan ketentuan tradisi seperti kata da>bbah yang digunakan untuk
makna binatang berkaki empat oleh ketentuan tradisi.
b.
Majaz
المجاز هو اللفظ الذي تعدي به في الإستعمال و نقل عن
معناه الموضوع له اللغوي إلي معني ثان مجازي لعلاقة بينهما. [37]
“Majaz adalah suatu lafazh yang melampaui
makna asal penggunaannya, dan diambil dari makna asal kebahasaan sehingga
muncul makna yang kedua sebagai makna majaz karena ada hubungan di antara
keduanya.”
Terjadinya majaz bisa dengan pengurangan,
penambahan, pemindahan, dan peminjaman kata. Artinya, bahwa makna majaz bisa
muncul dengan sebab pengurangan kata, penambahan kata, pemindahan kata, dan
peminjaman kata untuk mengoperasikan makna tersebut. Berikut pembagiannya:
1) Majaz bi An-Naqshi atau dengan pengurangan kata
Adapun
majaz dengan pengurangan kata contohnya adalah pengurangan kata Ahlu sebelum
kata al-qaryah pada ayat 82 surah yusuf:
وَاسْأَلِ القَريَةَ ٱلَّتِي كُنَّا
فِيهَا وَٱلعِيرَ ٱلَّتِي أَقبَلنَا فِيهَا وَإِنَّا لَصَٰدِقُونَ
"Dan
tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami
datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar"
Jika ayat di atas dipahami secara makna hakikat
maka yaitu negeri, maka tidak logis jika bertanya pada sebuah negeri. Maka
makna majaz muncul di sana, “tanyakan pada negeri” maksudnya adalah ”tanyakan
pada penduduk negeri”. Perlu diketahui, kurangnya kata Alhu pada ayat di
atas bukan berarti Alquran mengandung kekurangan dalam arti sebenarnya, akan
tetapi gaya bahasa seperti ayat di atas, memang sebuah ungkapan bahasa yang dipakai
oleh ahli sastra dan ahli ushul bahasa arab. Sebagaimana kita tahu bahwa Alquran
adalah kalam Allah yang sempurna yang tiada penambahan dan pengurangan padanya.
2) Majaz bi Az-Ziyadah atau dengan penambahan kata
Firman
Allah surah Asy-Syura ayat 11:
لَيسَ كَمِثلِهِۦ
شَيء وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلبَصِيرُ
"Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan
Melihat".
Huruf
Kaf pada kalimat kamitslihi> adalah tambahan untuk kebutuhan majaz. Jika
seandainya, tidak ada huruf itu, maka maknanya hanya meniadakan satu permisalan
dari permisalan yang lain dan akan sama dengan yang lain, dan ini mustahil pada
dzat Allah.
3) Majaz bin An-Naql dengan pemindahan kata
Firman
Allah surah An-Nisa ayat 43:
أَو جَاءَ أَحَد مِّنكُم مِّنَ ٱلغَائِطِ
“Atau
salah seorang kamu datang dari tempat buang air”
Lafazh Al-gha>ith yang dipindahkan dari makna hakikinya, yaitu tempat
yang tenang di bumi ke makna kotoran manusia. Sebab siapapun yang ingin membuang air pastilah
ia menuju ke tempat itu, maka kotoran yang keluar dari manusia itu dimaknai
dengan tempat yang melazimi hal itu.
4) Majaz bi al-isti’arah atau dengan
peminjaman kata
Firman
Allah surah Al-kahfi ayat 77:
فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارا يُرِيدُ أَن
يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ
“kemudian
keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka
Khidhr menegakkan dinding itu.”
Kata yuridu
dalam ayat itu bukan arti kehendak yang sebenarnya sebab tidak ada kehendak
bagi benda mati, seperti ayat di atas tidak mungkin sebuah dinding memiliki
kehendak. Dengan demikian, dialihkan makna hakikatnya ke makna majaz, yaitu
hampir roboh. Majaz yang seperti ini dinamakan majaz isti’arah (meminjam),
sebab kehendak itu adalah perkara kemanusiaan yang kemudian disandarkan kepada
kata benda mati. Artinya, kata yuridu dipinjamkan untuk lafazh jidar (dinding)
untuk kebutuhan majaz.[38]
A. Biografi Asy-Syafi’i
1. Nasab Dan Kelahirannya
Nasabnya dari pihak ayahnya yaitu, Muhammad bin
Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’i bin Sa’ib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu
Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthallib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay al-Quraysyi
al-Muthallib. Nasab Asy-Syafi’i bertemu dengan nasab Rasulullah pada titik
‘Abdu Manaf. Dengan demikian, jika ditilik dari jalur paman dan bibi Asy-Syafi’i
dari jalur ayah, ia adalah keponakan jauh Rasulullah.[39] Nasab
nabi muhammad berasal dari suku quraisy bani hasyim, sedangkan nasab Asy-Syafi’i
dari jalur ayah berasal dari suku quraisy bani Muthallib. Adapun pendapat lain
mengenai hal ini merupakan pendapat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
validitasnya. Seperti pedapat Al-Jurjaniy seorang ulama Hanafiyah bahwa kakek Asy-Syafi’i
yang bernama Syafi’i, itu bukanlah seorang Quraisy asli, akan tetapi ia adalah
budak Abu Lahab, dengan demikian Al-Jurjani berkesimpulan bahwa Asy-Syafi’i adalah
budak. Pendapatnya ini tidak diakui oleh para ahli nasab.[40]
Allah telah memberikan keunggulan kepada suku quraisy
dibandingkan suku-suku lainnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kitab Shahih
Muslim, sebuah hadis riwayat Wali’ah bin Al-Asqa’.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِهْرَانَ
الرَّازِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَهْمٍ جَمِيعًا عَنْ
الْوَلِيدِ قَالَ ابْنُ مِهْرَانَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا
الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ أَبِي عَمَّارٍ شَدَّادٍ أَنَّهُ سَمِعَ وَاثِلَةَ بْنَ
الْأَسْقَعِ يَقُول
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ
إِسْمَعِيلَ
وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ
وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ. رواه
مسلم[41]
"Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Mihran Ar Raazi dan Muhammad bin
Abdurrahman bin Saham seluruhnya dari Al Walid. Ibnu Mihran berkata; Telah
menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim Telah menceritakan kepada kami Al
Auza'i dari Abu Ammar Saddad bahwa dia mendengar Watsilah bin Asqa' berkata;
Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah dari anak Ismail, memilih
Quraisy dari Kinanah, memilih Bani Hasyim dari Quraisy, dan memilihku dari Bani
Hasyim”.”
Dalam kitab Ma>qib As-Sya>fi’i>, Al-Baihaqi menyebutkan hadis-hadis yang
menunjukan keutamaan suku quraisy dan ilmu dari seorang alim quraisy memiliki
kemampuan dalam memenuhi lapisan bumi. Salah satunya adalah riwayat berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلي الله عليه وسلم أنه
قال: اللهم اهد قريشا فإن عالمها يملأ الأرض علما, اللهم كما أذقتهم عذابا فأذقهم
نوالا.
“ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kaum
quraisy karena seorang quraisy yang berilmu dapat memenuhi lapisan bumi dengan
ilmunya. Ya Allah, sebagaimana engkau timpakan kepada mereka siksa, maka
berikanlah kepada mereka anugrah (ilmu).”
Nabi Muhammad memanjatkan do’a tersebut
sebanyak tiga kali. Kemudian Al-Baihaqi menyatakan, sanad-sanad hadis mengenai
keutamaan suku qraisy jika digabungkan maka akan saling menguatkan sehingga
menjadi riwayat yang kuat.[42] Dengan
demikian, nabi Muhammad adalah keturunan bani Hasyim dan Asy-Syafi’i adalah
keturunan bani Muthallib dari jalur ayah.[43]
Asy-Syafi’i
lahir pada bulan Rajab tahun 150 Hijriah (767 Masehi). Di Gaza, Palestina, ia
lahir di tengah keluarga yang sederhana, yang kadang-kadang menderita kesulitan.
Menurut riwayat, Asy-Syafi’i lahir bertepatan dengan
tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Pendapat ini dikukuhkan oleh Imam An-Nawawi
dalam karyanya Tahdzi>b Al-Asma> wa Al-Lugha>t.
“Para ulama
sepakat bahwa Asy-Syafi’i dilahirkan pada tahun 150, yang pada tahun itu Abu
Hanifah diwafatkan”.
Artinya,
ketika Asy-Syafi’i dilahirkan dan ibunya telah menamakan dia dengan nama
Muhammad, maka berselang beberapa hari kemudian sampailah berita dari Baghdad
yang menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah telah wafat, dan telah dimakamkan di
Rashafah, Baghdad sebelah timur.[45]
Tempat
kelahiran beliau ini sebenarnya bukanlah tempat kediaman ayahnya, karena
ayahnya adalah orang Hijaz, Mekah, yang hidup sederhana dan pindah ke Madinah
kemudian hijrah Palestina, tepatnya di Gaza atau Asqolan.[46] Setelah
wafat ayahnnya, Asy-Syafi’i diasuh oleh ibu beliau sendiri. Meski harus
menanggung beban sendiri, karena sang ayah telah tiada, namun ibunda Syafi’i
tidak pernah merasa gusar dan mampu memikul tanggung jawab itu sendiri. Ketika Syafi’i
kecil masih menyusu, ia membawanya dari Gaza ke Asqolan. Kemudian demi kebaikan
masa depan anaknya, sang ibunda memutuskan untuk pergi ke Mekah dan menetap di
kota itu. Alasannya karena Mekah adalah tanah kelahiran nenek moyangnya dan
tempat lahirnya para ulama ahli Fiqih, penyair dan sastrawan. Pertimbangan lain
adalah Syafi’i kecil dapat tumbuh di lingkungan yang baik dan mengenyam
berbagai disiplin ilmu yang dikehendakinya. Padahal secara pribadi, hidup di Palestina
lebih baik daripada di Mekah, karena banyak keluarganya dari suku Azdi yang
tinggal di situ, akan tetapi sang ibu lebih mengutamakan anaknya. Asy-Syafi’i
bercerita:
فخافت أمي علي الضيعة وقالت ألحق بأهلك فتكون منهم فإني
أخاف أن يغلب علي نسبك, فجهزتني أمي إلي مكة.[47]
“Ibuku khawatir hidupku tersia-sia. Ibuku mengatakan:
pergilah untuk menyusul keluargamu yang ada di Mekah agar kamu bisa menjadi
seperti mereka, karena aku takut kamu kehilangan nama besar keluarga, akhirnya
ibuku mempersiapkanku untuk berangkat ke Mekah”.
2. Masa Pertumbuhan dan Pendidikan Syafi’i
Asy-Syafi’i
menghabiskan masa kanak-kanak, remaja, muda, dan sebagian hidupnya di wilayah
Hijaz. Sebagaimana kita ketahui bahwa tempat menetap pertama Syafi’i adalah
Mekah untuk belajar Alqur’an dan hadis. Kemudian ia pindah ke Madinah untuk
belajar kepada Imam Malik, bahkan juga pernah mondok di pedalaman Arab
Badui untuk mengusai bahasa dan sastra. Jarang sekali ia meninggalkan Hijaz,
hanya sesekali ke Yaman dan Irak. Memang Asy-Syafi’i adalah orang miskin dan
berasal dari keluarga sederhana. Namun, hal itu tdak membuat dirinya rendah
diri, karena kemiskinan bukan aib. Sebaliknya, kemiskinan dapat memotivasi
dirinya untuk bekerja keras dan berjuang gigih. Asy-Syafi’i ingin membuktikan
bahwa harta bukan segalanya bagi penuntut ilmu. Tetapi, kemauan keras,
keuletan, ketabahan, dan kesungguhan adalah kunci untuk meraih kesuksesan.
Karena itu, Asy-Syafi’i tidak pernah mengenal lelah dan jera untuk mencari
ilmu. Sebagai sarananya, ia mengumpukan tembikar dan apa saja yang dapat
dijadikan sebagai buku tulis untuk menorehkan semua ilmu yang ia dengar dari
para gurunya.[48]
Imam
Fakhrurazi mengungkapkan dalam kitabnya Mana>qib Al-Ima>m Asy-Syafi’i>, bahwa para ulama menyebutkan latar belakang
keluarga Asy-Syafi’i adalah miskin. Semenjak masuk bangku sekolah, para guru
tidak pernah menerima bayaran sepeser pun dari Asy-Syafi’i. Akibatnya, sang
guru tidak mngajarkan sepenuh hati kepada Syafi’i kecil. Namun, setiap kali
guru mengajarkan sesuatu kepada anak-anak, Syafi’i kecil langsung dapat menghafalnya.
Karena itu, ketika gurunya beranjak pergi, giliran Syafi’i lah yang mengajar
ulang pelajaran itu kepada teman-temannya. Melihat tingkah Asy-Syafi’i yang
seperti itu, sang guru merasa ssangat lega karena Asy-Syafi’i telah memberikan
sesuatu yang lebih baik daripada uang bayaran sekolah yang diharapkannya. Untuk
itu, ia pun membebaskan Asy-Syafi’i dari iuran sekolah. Hal seperti ini terus
berlangsunng sampai Asy-Syafi’i mampu menghafal seluruh Alquran pada usia 7
tahun.[49]
Asy-Syafi’i pertama kali belajar Alquran di
Mekah dan berhasil menghapalnya di usia yang dini dibawah bimbingan gurunya
yaitu Isma’il bin Qisthanthin, syekh kota Mekah di zamannya. Berikut penuturan Syafi’i
tentang gurunya di bidang Alquran serta sisilah sanad bacaannya:
قرأت القرآن
علي إسماعيل بن قسطنطين, وكان شيخ أهل مكة في زمانه, وقال قرأت القرآن علي شبل بن
عباد ومعروف بن مشكان, وقالا قرأنا القرآن علي عبد الله بن كثير, وقال قرأت علي
مجاهد, وقال قرأت علي ابن عباس, وقال قرأت علي أبي بن كعب, وقال قرأت علي رسول
الله صلي الله عليه وسلم.[50]
“Saya mengaji Alquran kepada Isma’il bin
Qisthanthin. Ia adalah syekh penduduk Mekah di zamannya.” Ia berkata (ibnu
qisthanthin), Saya belajar mengaji kepada Syibl bin ‘Ibad dan Ma’ruf bin Misykan,
keduanya berkata kami belajar dari Abdullah bin Katsir, ia berkata saya belajar
dari Mujahid, Mujahid berkata saya belajar dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Abbas
berkata saya belajar dari Ubay bin Ka’ab, Ubay bin Ka’ab berkata saya belajar
langsung dari Rasulullah.”
Setelah
menghafal Alquran Asy-Syafi’i mulai rajin duduk di majelis para ulama untuk
belajar hadis dan problemnya. Seperti Imam Muslim bin Khalid Az-Zanny, seorang
guru besar dan mufti di kota Mekah pada masa itu. Kemudian Imam Sufyan
bin ‘Uyainah, seorang ahli hadis di kota itu.[51] Asy-Syafi’i
sangat menyadari bahwa seseorang tidak mungkin dapat memahami makna-makna
Alquran, hukum-hukum dan rahasia-rahasianya, tanpa menguasai bahasa Arab dengan
baik. Karena Alquran diturunkan dengan bahasa Arab yang fasih. Karena itu, ia
harus belajar bahasa Arab, Syair Arab, sastra Arab, dan kisah-kisah Arab agar
penguasaan bahasa arabnya menjadi sempurna. Tidak cukup belajar dari para pakar
bahasa dan membaca literatur bahasa Arab, Asy-Syafi’i pun lantas mendalami
bahasa Arab dari sumber asli. Ia sengaja keluar kota Mekah dan masuk ke
pedalaman Arab untuk belajar bahasa arab kepada suku Hudzail, karena suku
inilah yang paling fasih berbahasa Arab. Lalu Asy-Syafi’i mulai mempelajari
gaya percakapan mereka dan menyelami adat istiadatnya. Hingga akhirnya, Asy-Syafi’i
menguasai bahasa, syair, sastra arab dengan penguasaan yang sempurna.[52]
Sesuai penuturan Asy-Syafi’i bahwa:
“Saya meninggalkan kota Mekah dan tinggal
di pedalaman Arab bersama suku Hudzail. Saya mempelajari percakapan dan adat
istiadat mereka. Karena Hudzail adalah suku yang paling fasih berbahasa Arab.”
Kemudian
Syafi’i kecil ingin belajar fiqih dan hadis secara mendalam. Untuk itu, ia
berangkat ke Madinah untuk belajar langsung kepada Malik bin Anas, Imam kota
Madinah. Asy-Syafi’i selalu menemani ke manapun Imam Malik pergi sampai sang
guru tutup usia pada tahun 179 H. Hal itu karena Asy-Syafi’i memang sangat
dekat dengan Imam Malik sehingga dikatakan bahwa Asy-Syafi’i seperti bayangan
Imam Malik. Asy-Syafi’i berhasil menghafal kitab Muwaththa’
pada saat berumur 13 tahun. Ia membaca kitab
tersebut langsung dihadapan sang guru, Imam Malik. Sang guru sempat berkata
kepada Asy-Syafi’i bahwa “carilah orang yang akan membacakan kitab itu
untukmu”, namun Asy-Syafi’i mengatakan “aku akan membacanya sendiri”. Dalam
beberapa hadis tertentu, sang guru sering menyuruhnya untuk mengulangi bacaan,
sehingga Asy-Syafi’i mengulangnya serta menghafalnya. Sebuah cerita Asy-Syafi’i,
yang diriwayatkan oleh Harmalah dalam kitab Mana>qib Al-Ima>m
Asy-sya>fi’iy, Ar-Razi
menyatakan bahwa kisah ini merupakan riwayat yang populer, baik di kalangan
pendukung maupun di kalangan pengkritik Asy-Syafi’i. Hafalan Asy-Syafi’i
terhadap kitab Muwaththa’
menunjukkan kehebatannya di bidang hadis, karena banyak para penghafal hadis
yang tidak sanggup menghafalkan kitab tersebut.[54]
Maka dari itu Asy-Syafi’i ini sebenarnya termasuk ahli hadis dan periwayat
hadis yang terpercaya, namun ketenarannya di bidang fiqih mengalahkan
popularitasnya di bidang hadis.[55]
Di usia
yang tergolong dini tersebut Asy-Syafi’i sudah mencapai prestasi yang luar
biasa, yaitu mampu menghafal seluruh Alquran dan kemudian berhasil menghafal ribuan
hadis dari Imam Malik. Terlebih lagi seperti yang dikatakan Al-Imam Muhammad
bin Isma’il Al-Bukhari:
"Jalur
periwayatan yang paling shahih adalah apa yang diriwayatkan Malik dari
Nafi’ dari Ibnu ‘umar.”
Kecerdasannya
inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat muda, yaitu pada usia 15
tahun beliau telah duduk di kursi mufti kota Mekkah.[57] Namun
demikian Asy-Syafi’i belum merasa puas menuntut ilmu karena semakin dalam
beliau menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum beliau mengerti, sehingga
tidak mengherankan bila guru Asy-Syafi’i begitu banyak jumlahnya sama dengan
banyaknya para muridnya.
3. Para Guru Dan Murid Asy-Syafi’i
Imam Ar-Razi menyatakan bahwa guru Asy-Syafi’i
jumlahnya cukup banyak. kami hanya akan menyebutkan guru-gurunya dari kalangan
ahli fiqih dan fatwa yang terkenal saja. Dalam karya ayahku, Imam Dhiyauddin
“Umar bin Hasan menyebutkan jumlahnya 19 guru. Yaitu, 5 orang berasal dari Mekah, 6 berasal dari Madinah, 4
berasal dari Yaman, dan 4 berasal dari Iraq.[58]
Berikut rincian para guru Syafi’i:
a.
Dari
Mekah
1)
Sufyan
bin ‘Uyainah
2)
Muslim
bin Khalid Az-Zanji
3)
Sa’id
bin Salim Al-Qaddah
4)
Daud bin
Abdur Rahman A-l ‘Aththar
5)
‘Abdul
Majid bin ‘Abdul ‘Aziz bin Abu Daud.
b.
Dari
Madinah
1)
Malik
bin Anas
2)
Ibrahim
bin Sa’ad Al-Anshari
3)
‘Abdul
‘Aziz Muhammad Al-Darawardi
4)
Ibrahim
bin Abu Yahya Al-Aslami
5)
Muhammad
bin Sa’id bin Abu Fudaik
6)
Abdullah
bin Nafi’ Ash-Shaigh, temannya Ibnu Abi Dzuaib
c.
Dari
Yaman
1)
Mutharrif
bin Mazan
2)
Hisyam
bin Yusuf, seorang hakim di Shan’a
3)
‘Amar
bin Abu Salamah, temannya Al-Auza’iy
4)
Yahya
bin Hassan, temannya Abul Laits bin Sa’ad
d.
Dari
Iraq
1)
Waki’
bin Al-Jarrah
2)
Abu
Usamah Hammad bin Usamah, dua orang pertama ini adalah berasal dari kota Kuffah
3)
Isma’il
bin ‘Aliyyah
4)
‘Abdul
Wahhab bin ‘Abdul Majid, dua orang terakhir ini adalah berasal dari kota
Bashrah.[59]
Demikianlah
nama-nama guru Asy-Syafi’i yang dikutip oleh Imam Ar-Razi dalam karya ayahnya.
Asy-Syafi’i
terkenal dengan tokoh yang paling banyak diikuti orang dan mazhabnya disebarkan
oleh para ulama sesudahnya. Para ulama yang mengikuti mazhab Syafi’i bukanlah
ulama sembarangan, tetapi ulama besar yang banyak menghasilkan karya-karya
ilmiah. Bahkan, sebagiannya adalah para ulama yang berkedudukan sebagai mujtahid
mutlak. Imam Ar-Razi mengungkapkan tentang murid-murid Syafi’i yang ia
kutip dari karya ayahnya sebagai berikut:
a.
Berasal
dari Iraq
1)
Abu
Abdullah Ahmad bin Hanbal
2)
Al-Hasan
bin Muhammad Ash-Shabah Az-Za’faraniy
3)
Al-Husen
Al-Karabisiy
4)
Abu
Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalabiy
b.
Berasal
dari Mesir
1)
Abu
Ibrahim Isma’il bin Yahya Al-Muzaniy
2)
Abu Muhammad
Rabie’ bin Sulaiman Al-Muradiy
3)
Abu
Ya’qub Yusuf bin Yahya Al-Buwaithiy
4)
Abu
Hafash Harmalah bin Yahya bin Abdullah bin Harmalah
5)
Abu Musa
yunus bin abdul A’la
6)
Muhammad
bin Abdullah bin Abdul Hakam Al-Mishri
7)
Abdullah
bin Az-Zubair Al-Humaidy[60]
4. Intelektualitas Asy-Syafi’i
Asy-Syafi’i
merupakan sosok yang sangat memperhatikan ilmu dan mencintainya melebihi
kecintaan terhadap diri sendiri. Sejak kecil, ia sudah terbiasa mencatat semua
pelajaran yang disampaikan oleh gurunya, berkenaan degan hadis-hadis, masalah
fiqih, dan sebagainya. Kemudian ia meringkas catatan-catatan tersebut untuk
dijadikan sumber rujukan ketika ia siap menulis. Hal seperti ini sudah sering
ia lakukan sejak pertama kali datang ke Baghdad. Ia membeli karya-karya
Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani, kawan dekat Abu Hanifah. Kemudian ia
memberikan catatan-catatan dalam setiap pembahasan sebagai bantahan kepadanya. Asy-Syafi’i
berkata:
أنفقت علي كتب محمد بن الحسن ستين
دينارا ثم تدبرتها فوضعت إلي جنب كل مسألة حديثا.- يعني ردا عليه.[61]
“Saya
menghabiskan uang 60 dinar untuk membeli karya-karya Muhammad bin Al-Hasan.
Kemudian saya menelitinya satu persatu dan menuliskan satu hadis pada setiap
masalah yang dibahasnya”. Ibnu hajar Al-‘Asqalani menegaskan, hadis tersebut
sengaja ditulis oleh Syafi’i sebagai kritikan terhadap Muhammad bin Al-Hasan."
Dalam
menuangkan gagasan-gagasan dan menuliskannya, Asy-Syafi’i menggunakan metode
filsafat dan logika. Karena itu, karya-karyanya bersifat sangat ilmiah,
kajiannya mendalam, metodenya jelas, dan analisisnya terarah. Semua itu
menggambarkan penguasaan teori yang matang dan pemikiran-pemikirannya yang
sangat orisinil. Sebagaimana terlihat dengan jelas dalam karyanya yang sangat
monumental, yaitu kitab Ar-Risalah dan Al-Umm. Ia mengawali
setiap pembahasan dengan mengetengahkan definisi terlebih dahulu. Kemudian
mensistematisasikan pembahasannya denngan klasifikasi yang jelas dan
contoh-contoh yang memadai. Setelah itu, ia sebutkan dalil-dalil dan berbagai
argumentasi dalam setiap klasifikasinya. Terkadang, ia juga menyebutkan
definisi-definisi yang saling bertentangan, agar dijadikan sebagai perbandingan
dan penelaahan. Setiap pembahasan diakhiri dengan ulasan terhadap pendapat yang
dianggapnya paling mendekati kebenaran.[62]
Gaya berfikir
dan metode penulisan seperti ini hanya mampu dilakukan penulis yang betul-betul
menguasai tema pembahasan secara mendalam. Sehingga ia bisa menuangkan
gagasan-gagasannya dan mengkaji masalah tersebut secara detail dan mendalam.
Harapannya, ia dapat menyampaikan sebuah kesimpulan yang benar atau paling
mendekati kebenaran, tanpa pembahasan yang bertele-tele dan membosankan. Karena
itu, perlu keahlian tersendiri dan perenungan yang mendalam. Untuk menghasilkan
ide-ide yang cemerlang dan memperlancar proses perenungan, terkadang Asy-Syafi’i
memerintahkan pelayannya agar mematikan lampu, agar ia mampu berfikir dengan
jernih. Setelah ia mendapat ide, maka ia segera menyalakan lampunya kembali dan
menuliskanya.[63]
Pada
saat menulis, Asy-Syafi’i tidak hanya mengandalkan kitab-kitabnya saja, tetapi
juga membaca kitab-kitab ulama lain. Tujuannya agar ia mengetahui
pendapat-pendapat ulama lain tentang masalah yang sedang ditulis, sekaligus
mengkritisi dan memperdebatkan pendapat-pendapat yang dianggapnya kurang tepat.
Dalam kitab Tawa>li> At-ta’si>s disebutkan bahwa Asy-Syafi’i
datang ke Mesir dan pada 4 tahun terakhir ia sangat rajin menulis. Ia juga
memboyong ke Mesir kitab-kitab Ibnu ‘Uyainah yang dimilikinya pada saat di
Hijaz. Ia sering menemui Yahya bin Hasan untuk keperluan menulis. Ia juga
membawa kitab-kitab dari Asyhab yang berisi ulasan berbagai masalah. Semua
kitab-kitab itu, diletakkan di hadapannya, lalu ia mulai menulis. Selesai
menulis, Al-Buwaithi ditugaskan untuk membacakan tulisan tersebut. Sedangkan
Ar-Rabie’ bertugas melayani kebutuhan Syafi’i dalam berbagai hal.[64]
Aktivitas
Syafi’i dalam tulis-menulis tidak diketahui dengan pasti permulaannya. Menurut
pendapat yang shahih, ditegaskan bahwa ia sudah mulai menulis ketika masih
berada di Mekah, sebelum kedatangannya ke Iraq yang kedua. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Al-Buwaithi, ia berkata, Syafi’i bercerita:
اجتمع عليّ أصحاب الحديث فسألوني
أن أضع علي كتاب أبي حنيفة, فقلت لا أعرف قولهم حتي أنظر في كتبهم, فأمرت فكتب لي
كتب محمد بن الحسن فنظرت فيها ستة حتي حفظتها ثم وضعت الكتاب البغدادي.- يعني
الحجة.[65]
“Para
ahli hadis berkumpul menemuiku. Mereka meminta agar aku mengkritik kitab Abu Hanifah.
Saya katakan bahwa saya belum pernah meneliti kitabnya dengan seksama. Lalu
saya pun melakukan penelitian yang intensif terhadap kitab-kitab mereka,
maksudnya para pengikut Abu Hanifah. Saya mengkaji kitab-kitab Muhammad bin
Al-Hasan selama setahun penuh, sehingga aku menjadi hafal terhadap kitab-kitab
tersebut. Kemudian di Baghdad, saya menuliskan hasil penelitian tersebut dalam
sebuah kitab”. Al-Buwaithi menegaskan, kitab tersebut diberi judul Al-Hujjah”.
Karya Asy-Syafi’i
yang paling spektakuler adalah kitab Al-Umm. Kitab ini diawali
pembahasannya dengan kajian tentang Thaha>rah,
Ash-Shalawa>t, Al-Jum’at, Al-Khauf, Al-‘I>d, Al-khusuf, Al-Istisqa>,
Ath-Tathawwu’. Kemudian
dilanjutkan dengan pembahasan tentang hukum bagi orang yang meninggalkan
shalat, tata cara shalat jenazah, zakat, klasifikasi sedekah, puasa, i’tikaf,
manasik, haji, jual-beli, dan seterusnya. Jumlah tema yang dibahas dalam kitab Al-Umm
kurang lebih 149 tema, dan setiap tema disebut satu kitab.[66]
Dalam
kitab Ta>ri>kh at-Tasyri>’ Al-Isla>mi>, syekh Muhammad Al-Khudhari menyatakan:
ومن أجل كتب الشافعي كتابه الموسوم
باختلاف الحديث, وقد وضعه انتصارا للسنة علي العموم ولخبر الواحد علي الخصوص,
وتكلم فيه عن الإختلاف في الحديث, وهو الذي ارتكز عليه من ردّوا السنة بإطلاق أو
اشترطوا للعمل بالحديث شروطا غير كون الراوي له ثقة.[67]
“Karya Asy-Syafi’i
yang paling berharga adalah kitabnya yang berjudul Al-Mausum bi Ikhtilaf
al-hadits, kitab ini sengaja ditulis oleh Syafi’i sebagai pembelaan
terhadap hadis secara umum, dan khususnya hadis Ahad. Dalam kitab ini,
dijelaskan mengenai kontroversi penggunaan hadis, mengingat ada sebagian orang
yang menolak hadis secara keseluruhan dan ada pula yang terlalu ketat dalam
menerapkan syarat-syarat diterimanya hadis”.
Berikut
karya-karya Syafi’i yang terkenal:
a. Al-Hujjah, kitab ini merupakan kitab lama di
bidang fiqih klasiknya (madzhab qadim).
b. Al-Umm, kitab ini adalah satu-satunya karya
terbaik dan tak ada bandingannya pada zamannya. Gaya bahasanya sangat indah, redaksinya
mengalir seperti air, maknanya mudah ditangkap, dan memancing emosi pembaca.
Kitab ini tidak hanya berisi daftar masalah-masalah, teapi masalah itu
dibarengi dengan solusi tepat yang dikuatkan dengan dalil-dalil naqliyah dan
aqliyah. Pembahasannya sangat mendalam, kritikannya bersifat membangun
dan kesimpulannya sangat tepat.
c. Ar-Risalah, Asy-Syafi’i menulis kitab ini dua
kali, yang pertama ditulis sebelum datang ke Mesir dan dikenal dengan sebutan Ar-Risalah
Al-Qadimah. Kedua, ditulis di Mesir dan dikenal dengan sebutan Ar-Risalah
Al-Jadidah. Kitab Ar-Risalah yang terdapat dikalangan orang-orang sekarang
ini adalah kitab yang baru dan kitab ini merupakan kitab pertama yang ditulis
tentang usul fiqih.
d. Al-Mabsuth, Ibnu An-Nadim berkata, bahwa kitab
ini adalah salah satu kitab Syafi’i di bidang fiqih yang diriwayatkan langsung
oleh Ar-Rabie’ dan Az-Za’farani.
e. Musnad Asy-Syafi’i, Imam Ar-Razi berkata,
“karyanya yang berjudul musnad Asy-Syafi’i adalah kitab yang sangat
terkenal dan tidak ada seorang pun yang mencelanya”.[68]
Sebagian ulama menyatakan bahwa kitab ini bukan tulisan Syafi’i sendiri, tetapi
tulisan Abu Al-‘Abbas Al-‘Ashamm, hasil kompilasi dari ceramah-ceramah Asy-Syafi’i
yang disampaikan kepada sebagian sahabatnya.[69]
Asy-Syafi’i
adalah sosok yang mampu menguasai dengan baik dua metode fiqih, yaitu fiqih
rasional Abu Hanifah dan fiqih tradisional Malik. Ia pun melakukan kajian yang
mendalam serta membandingkan antara dua metode tersebut, sehingga ia
berkesimpulan bahwa tidak baik untuk bersikap melampaui batas atau semberono.
Sikap yang terbaik adalah pertengahan atau moderat.[70]
Atas dasar inilah Asy-Syafi’i menetapkan dasar-dasar madzhabnya, yaitu:
a.
Ia
menyetujui metode warga Iraq yang menetapkan qiyas sebagai pedoman
beramal, dengan beberapa syarat tertentu. Karena qiyas berarti
menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yang telah
ditetapkan nashnya. Dalam hal ini, mengemukakan pendapat berarti mengarahkan
makna nash bukanlah bid’ah dalam syari’at.
b.
Ia tidak
sepakat dengan ahli fiqih Iraq yang mendasarkan amalan pada metode Istihsan,
karena dianggap jauh dari tuntunan Alquran dan hadis, serta dikhawatirkan
terjebak pada kekeliruan. Karena itu ia berkata “barangsiapa yang telah
menggunakan Istihsan, berarti telah membuat syariat baru”.
c.
Ia tidak
setuju dengan ahli fiqih Iraq yang terlalu selektif dalam menerima hadis,
karena hadis adalah sumber rujukan syariat yang utama setelah Alquran. Untuk
menerima hadis, cukup dengan syarat hadis tersebut muttashil dan shahih
sanadnya.
Ahmad Amin menyatakan, Asy-Syafi’i berpikir
keras untuk mengambil sikap dalam menilai hadis. Ada sebagian kelompok yang
menolak mentah-mentah terhadap hadis. Kelompok lainnya terlalu gampang
mengamalkan hadis. Ada pula kelompok yang mengamalkannya dengan syarat-syarat yang
rumit. Untuk itu ia merumuskan cara pandang terhadap hadis. Jika ada suatu
hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya dari perawi yang terpercaya
sampai Rasulullah, dan tidak ada riwayat lain yang menentangnya, maka hadis
seperti ini harus diamalkan. Namun jika ada haids-hadis lain yang menentangnya,
maka harus diteliti terlebih dahulu Nasikh-Mansukhnya. Yaitu dengan
memposisikan hadis yang belakangan turunnya sebagai Nashikh, sehingga
hadis itu menghapuskan ketentuan hukum hadis sebelumnya sebagai Mansukh, dan
mengamalkan hadis yang Nasikh. Jika tidak terjadi Nasikh-Mansukh, maka
diteliti riwayat yang paling terpercaya dan paling shahih, lalu riwayat
yang terpercaya itu diamalkan. Jika kualitas riwayatnya sepadan, maka matan hadisnya
diuji dengan ajaran pokok Alquran dan hadis shahih. Matan hadis yang
maknanya paling mendekati harus diamalkan. Jika suatu hadis telah dinyatakan
shahih, maka hadis tersebut tidak boleh ditinggalkan dengan alasan
apapun, baik dengan alasan qiyas, adanya pendapat tertentu, maupun
adanya atsar dari Sahabat atau tabi’in. Setelah berhasil merumuskan
pandangan ini, Syafi’i menguji sikap penduduk Hijaz dan Iraq. Ternyata sikap
keduanya tidak sesuai dengan pandangannya, lalu ia mengkritik keduanya. Ia menyerang
pendapat Malik dan mengkritiknya, karena terkadang Malik berani meninggalkan
hadis shahih hanya karena adanya pendapat dari salah seorang Sahabat atau
tabi’in, atau karena bertentangan dengan pemikirannya sendiri. Syafi’i
mengkritik Malik habis-habisan, karena meninggalkan pendapat Ibnu ‘Abbas dalam
satu masalah dan beralih pada pendapat ‘Ikrimah. Padahal Malik tahu bahwa
pendapat ‘Ikrimah itu kurang tepat dan para ahli hadis tidak menerima riwayat
‘Ikrimah dalam masalah tersebut. Syafi’i mengatakan, “sungguh aneh, Malik
sering berkomentar negatif terhadap ‘Ikrimah, tapi dalam kasus-kasus tertentu
ia malah berdalil dengan pendapat ‘Ikrimah. Suatu saat, ia mengkritiknya dan di
saat lain ia diam saja.[71]
d.
Ia tidak
senada dengan sikap para ahli hadis yang terlalu preventif terhadap Alquran dan
hadis, serta tidak mau menggunakan qiyas, kecuali dalam keadaan darurat.
Mereka juga kadang-kadang meninggalkan hadis shahih, karena ada pernyataan
salah satu dari seorang sahabat atau tabi’in. Bahkan mereka menggunakan metode
yang dinamakan Al-mashalih Al-mursalah, yang terlalu memberikan
kebebasan akal untuk bereksplorasi. Metode itu sengaja dikemas sebagai daya
tarik dan keluwesan madzhab, padahal masyarakat tidak membutuhkannya. Selagi
tujuan tersebut masih bisa ditempuh dengan cara yang lebih baik yakni qiyas,
lantas kenapa harus meninggalkanya. Karena sebenarnya qiyas tidak
pernah keluar dari koridor Alqran dan hadis, bahkan selalu disinari oleh cahaya
keduanya.
e.
Ia tidak
sepaham dengan metode ahli hadis yang mendasarkan amalan pada perkataan Sahabat
atau amalan penduduk Madinah, karena beramal dengan dasar tersebut sama halnya
dengan beramal atas dasar rasio.
Ahmad Amin menyatakan bahwa Syafi’i bersikap
moderat dalam penggunaan qiyas, tidak antipati seperti Malik dan tidak
terlalu bebas seperti Abu Hanifah. Syafi’i sendiri pernah menegaskan bahwa
sumber ilmu itu Alquran, hadis, ijma’, atsar, lalu melakukan qiyas terhadap
sumber tersebut. Orang yang tidak mengerti instrumen qiyas tidak
diperkenankan melakukan analogi. Instrumen itu berupa penguasaan terhadap
Kitabullah, yang meliputi hukum-hukum, kewajiban-kewajiban, kesusastraan, nasikh
mansukh, ‘amm dan khosh. Orang tersebut belum diperbolehkan melakukan
qiyas sampai ia paham betul terhadap hadis-hadis, pendapat-pendapat
ulama salaf, ijma’ manusia berikut perbedaan pendapatnya, dan bahasa Arab. Ia
juga belum berhak melakukan qiyas tanpa penelitian yang mendalam. Selain
itu, harus mendengarkan kritikan dari para penentangnya, karena terkadang saran
dari orang lain bisa mengikis kelalaian dan menambah keyakinan terhadap
kebenaran yang diyakininya. Orang yang melakukan qiyas harus benar-benar
kerja keras dalam ijtihadnya dan sadar diri, sehingga ia mengetahui sumber
rujukan pendapat-pendapat yang pantas dikemukakan dan pendapat-pendapat yang
harus ditinggalkan. Sikap Syafi’i yang seperti ini jelas mengingkari Istihsan
dan mengkritik para ulama yang berpedoman padanya. Dari pernyataan Syafi’i
di atas, tampaknya ia menganggap Istihsan hanya produk rasio tanpa
dilandasi dasar-dasar syariat. Ia menyamakan orang yang menggunakan Istihsan
dengan seorang pedagang yang memprediksi harga suatu barang tanpa masuk pasar
dan tanpa mengetahui harga pasaran saat itu, sehingga prediksinya tidak
berdasar. Demikian pula dengan ahli fiqih yang menggunakan Istihsan tanpa
merujuk pada pokok-pokok syariat. Karena itu, ia mengkritik keras pendapat
Malik tentang Al-Mashalih Al-Mursalah, dan pendapat Abu Hanifah tentang Istihsan.[72] Dalam
menghadapi masalah yang tidak ada dalilnya, Syafi’i sengaja menggunakan qiyas
dan mengamalkannya dengan dalil qiyas, dengan catatan harus ada
sumber hukum asalnya. Ia mengkritik keras metode fiqih Iraq yang disebut dengan
istilah Istihsan dan metode
madzhab Malik yang dinamakan Istishlah.[73]
Imam Ar-Razi berkata:
إن الناس كانوا قبل الشافعي فريقان: أصحاب الحديث وأصحاب
الرأي. أما أصحاب الحديث فكانوا عاجزين عن المناظرة والمجادلة, وكانوا عاجزين عن
تزييف طريقة أصحاب الرأي, فما يحصل بسببهم قوة في الدين, ونصرة للكتاب والسنة.
وأما أصحاب الرأي فكان سعيهم وجهدهم مصروفا الي ما استنبطوه برأيهم ورتّبوه
بفكرهم, وما كان جهدهم واجتهادهم مصروفا لنصرة النصوص.... وأما الشافعي فكان عارفا
بالنصوص من القرآن والأخبار, وكان عارفا بأصول الفقه وشرائط الإستدلال بتلك
النصوص, بل هو الذي وضعها ورتّب أصولها وفتح فصولها. وكان أيضا قويا في المناظرة
والمجادلة, ولولا ذالك لامتنع في مجاري العادات أن يرجع أكثر الناس عن قول أبي
حنيفة وقول مالك بسببه مخالفته لهما.[74]
“Sebelum datangnya Syafi’i, manusia terbagi
menjadi dua golongan, golongan ahli hadis dan golongan rasionalis. Golongan
hadis kurang pandai berdiplomasi dan berdebat, mereka tidak mampu mengimbangi
metode golongan rasionalis. Sebab itu, mereka tidak berhasil memonopoli
kekuatan agama dan mengembangkan pemahaman Alquran dan hadis. Sementara
golongan rasionalis sibuk bekerja keras dan berjuang untuk melakukan penggalian
hukum dengan rasio mereka dan menyusunnya sesuai dengan pemikiran mereka.
Tujuan kerja keras dan ijtihad mereka bukan untuk kemajuan Nushush, yakni
teks-teks suci agama... Adapun Asy-Syafi’i adalah sosok yang memahami betul
terhadap Nushush dari Alquran dan hadis, paham terhadap usul fiqih,
mengerti syarat-syarat Istidlal dari nash-nash tersebut. Bahkan beliau
dianggap sebagai peletak ilmu usul fiqih dan mampu mensistematisasikan
fasal-fasalnya. Selain itu, ia juga pandai berdiplomasi dan berdebat. Jika
tidak berkemampuan seperti itu, maka orang-orang akan tetap mengikuti fiqih Abu
Hanifah dan Malik, serta tidak bisa menarik simpati mereka, karena ia dianggap
sebagai rival keduanya.
Pada akhirnya, dalam membangun madzhab, Asy-Syafi’i
memilih jalan tengah antara fiqih rasional dan madzhab fiqih tradisional.
Karena itu, madzhab Syafi’i dapat disebut sebagai madzhab moderat atau madzhab
poros tengah.[75]
Demikianlah sekilas tentang metode fiqih madzhab Syafi’i.
Dalam kitab Al-Umm, tepatnya dalam pembahasan “perbedaan pendapat pada
sesuatu yang didatangkan dengan zina”, dinyatakan bahwa Asy-Syafi’i berkata:
فإن زني بامرأة أبيه أو ابنه أو أم امرأته, فقد عصي الله
تعالي ولا تحرم عليه امرأته, ولا علي أبيه, ولا علي ابنه امرأته لو زني بواحدة
منهما.[76]
“Jika seseorang berzina dengan isteri
ayahnya atau isteri anaknya atau ibu isterinya, maka sungguh ia telah berbuat
durhaka kepada Allah dan tidaklah diharamkan isterinya atasnya (jika ia berzina
dengan ibu isterinya), tidak diharamkan pula (isteri ayahnya) atas ayahnya
(jika ia berzina dengan isteri ayahnya), tidak diharamkan pula (isteri anak
laki-lakinya) atas anak laki-lakinya, jika seandainya ia berzina dengan salah
satu dari keduanya (maksudnya, sebaliknya tidak diharamkan isterinya atas
dirinya sendiri, jika anak laki-lakinya berzina dengan isterinya).”
Sebab menurut Asy-Syafi’i, Allah hanya
mengharamkan sesuatu dengan keharaman akibat suatu yang halal, guna untuk
memuliakan kehalalannya serta menambah kenikmatan apa yang telah dibolehkan
dengan cara menetapkan keharaman padanya yang sebelumnya tidak demikian. Karena
memang, suatu yang haram adalah berlainan dengan sesuatu yang halal.[77]
Di pembahasan lain Asy-Syafi’i lebih jelas
menyatakan bahwa:
الزنا لا
يحرم الحلال وقاله ابن عباس, لأن الحرام ضد الحلال فلا يقاس شيء علي ضده.[78]
“Suatu perzinaan itu tidak mengharamkan
yang halal dan ibnu ‘Abbas pun mengatakan begitu, karena sesungguhnya haram itu
berlawanan dengan halal, maka tidaklah tepat jika sesuatu yang berlawanan
disamakan (Qiyas) satu sama lain.”
Selanjutnya penulis menemukan pemikiran Asy-Syafi’i
yang serupa dengan di atas yang menjelaskan tentang nasab orang yang berzina
tidak terhubung dengan anak hasil zinanya, serta hukum menikahi anak hasil zina
tersebut jika ia terlahir perempuan. Pendapat ini terletak pada pembahasan air
susu laki-laki dan perempuan. Imam Syafii’i berkata:
ولو ولدت ابنا فأرضعت مولودا فهو ابنها ولا يكون ابن
الذي زني بها, وأكره له أن ينكح بنات الذي ولده من زنا, فإن نكح لم أفسخه لأنه ليس
ابنه.[79]
“Jika
seorang wanita melahirkan seorang anak laki-laki dari hasil zina, kemudian
perempuan itu menyusuinya maka anak itu adalah anak perempuan tersebut dan anak
itu tidak menjadi anak lelaki yang berzina dengannya. Dan aku memakruhkan dalam
tataran sikap wara’, jika lelaki tersebut menikahi anak perempuannya
yang dihasilkan dari zina. Jika ia benar-benar menikahinya maka pernikahannya
tidak difasakh, karena memang anak itu bukan anaknya.”
Demikianlah, menurut pemikiran Asy-Syafi’i
bahwa zina itu tidak mengharamkan suatu yang halal. Dengan kata lain bahwa jika
seseorang berzina dengan isteri ayahnya, maka perzinaannya dengan isteri
ayahnya itu tidak mengharamkan isteri ayahnya atas ayahnya. Sebaliknya, jika
ayahnya berzina dengan isterinya, maka tidak diharamkan pula isterinya itu atas
dirinya. Dan bahkan menurut pemikiran Asy-Syafi’i seseorang yang berzina dengan
seorang perempuan, dan perempuan itu hamil kemudian melahirkan anak perempuan hasil
zinanya, maka anak itu tidak memiliki hubungan nasab serta tidak saling
mewarisi serta boleh hukumnya jika ia menikahi anak perempuan hasil zina
tersebut, karena menurutnya tidak ada kehormatan bagi perbuatan zina.
2. Dasar hukum yang
digunakan As-Syafi’i dalam pemikirannya
Dasar
hukum pemikiran Asy-Syafi’i terkait dengan masalah ini adalah:
a. Alquran
وَلَا تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَاؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَاءِ
إِلَّا مَا قَد سَلَفَ إِنَّهُۥ
كَانَ فَٰحِشَة وَمَقتا وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan
janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”[80]
وَأُمَّهَٰتُ نِسَائِكُم وَرَبَٰئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي
حُجُورِكُم مِّن نِّسَائِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلتُم بِهِنَّ
“Dan ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak
isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri”[81]
وَحَلَٰئِلُ أَبنَائِكُمُ ٱلَّذِينَ مِن أَصلَٰبِكُم
“(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu)”[82]
Menurut
Asy-Syafi’i, Allah mengharamkan orang yang disebut dalam ayat di atas dengan
suatu pernikahan atau dengan pernikahan dan senggama, maka dari itu pantaskah
jika Allah mengharamkan sesuatu dengan yang halal, kemudian ia haramkan dengan
yang haram, sedangkan haram itu adalah berseberangan dengan halal. Suatu
pernikahan itu disunnahkan dan diperintahkan Allah, sedangkan zina itu
diharamkan. Allah berfirman:
وَلَا تَقرَبُواْ ٱلزِّنَىٰ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلاً
“Dan janganlah
kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
Dan suatu jalan yang buruk.”[83]
Asy-Syafi’i
meyakini bahwa perempuan-perempuan yang Allah haramkan untuk dinikahi dalam
ayat yang suci tersebut, yaitu dengan akad pernikahan atau dengan hubungan yang
diikat dalam sebuah akad pula. Seperti akad nikah dengan perempuan maka akad
itu sudah mengharamkan ibu si perempuan itu. Berbeda jika akad nikah dengan si
ibu maka akadnya tidak mengharamkan anak perempuan si ibu, sampai si ibu di-dukhul,
maka yang mengharamkan anak perempuan tersebut adalah hubungan intim dengan si
ibu dalam sebuah akad perkawinan.
Kemudian lanjut Asy-Syafi’i, Allah
memerintahkan pernikahan dan menjadikannya sebab terjalinnya hubungan nasab,
hubungan semenda, rasa kasih sayang, dan ketenangan. Dengan pernikahan Allah
juga menetapkan sesuatu larangan, dan segala hak-hak yang terkait dengan
kewarisan, nafkah, mahar, hak suami untuk ditaati, dan kebolehan suatu yang
tidak boleh sebelumnya. Sedangkan Allah juga mengharamkan zina dengan menyebut
bahwa zina itu merupakan perbuatan yang paling keji. Maka dari itu, Asy-Syafi’i
mengatakan ada 2 macam jima’ yang aku temui, yaitu jima’ yang
halal dan jima’ yang haram, apakah layak jika aku qiyaskan satu dengan
yang lainnya.
Asy-Syafi’i
sama sekali tidak membenarkan jika suatu perzinaan itu sama dengan pernikahan.
Seperti itu juga tidaklah pantas jika seseorang yang menikah, dikatakan bahwa
ia berzina, sedangkan seperti yang diketahui bahwa pernikahan merupakan
legalitas bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya ilegal untuk
dilakukan.
b. Hadis
Selain
nash Alquran sebagaimana yang telah dijelaskan, Asy-Syafi’i juga mendasarkan
pemikirannya dengan hadis. Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa hadis
merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Alquran. Hadis yang menjadi
dasar pemikiran Asy-Syafi’i adalah hadis tentang sengketa antara Sa’ad bin Abu
Waqqash dan Abd bin Zam’ah tentang seorang anak. Hadis tersebut ternyata
kemudian diriwayatkan oleh Imam Muslim, sebagai berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ
حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ
ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ اخْتَصَمَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ
فِي غُلَامٍ فَقَالَ سَعْدٌ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ أَخِي عُتْبَةَ بْنِ أَبِي
وَقَّاصٍ عَهِدَ إِلَيَّ أَنَّهُ ابْنُهُ انْظُرْ إِلَى شَبَهِهِ وَقَالَ عَبْدُ بْنُ
زَمْعَةَ هَذَا أَخِي يَا رَسُولَ اللَّهِ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِي مِنْ وَلِيدَتِهِ
فَنَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى شَبَهِهِ فَرَأَى
شَبَهًا بَيِّنًا بِعُتْبَةَ فَقَالَ هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ
الْحَجَرُ وَاحْتَجِبِي مِنْهُ يَا سَوْدَةُ بِنْتَ زَمْعَةَ قَالَتْ فَلَمْ يَرَ سَوْدَةَ قَطُّ وَلَمْ يَذْكُرْ مُحَمَّدُ
بْنُ رُمْحٍ قَوْلَهُ يَا عَبْدُ.[84] رواه مسلم.
“Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Al
Laits. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Rumh telah mengabarkan kepada kami Al Laits dari Ibnu Syihab dari
Urwah dari Aisyah bahwa dia berkata; Sa'ad bin Abu Waqqash bersengketa dengan
Abd bin Zam'ah mengenai seorang anak laki-laki, Sa'ad berkata; Wahai
Rasulullah, ini adalah anak dari saudaraku, Utbah bin Abi Waqash, dia telah
berpesan kepadaku bahwa ini memang anaknya, lihatlah kemiripannya (dengan
saudaraku). 'Abd bin Zam'ah berkata; Wahai Rasulullah, anak ini adalah
saudaraku, karena dia dilahirkan di ranjang ayahku dari budak perempuan ayahku.
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memperhatikan kemiripannya,
ternyata dia persis seperti 'Utbah, lalu beliau bersabda: "Ini adalah
milikmu, wahai Abd, yaitu untuk orang yang punya ranjang, di mana anak tersebut
di lahirkan. Sedangkan laki-laki yang menzinahi ibunya tidak memiliki hak
apa-apa terhadapnya. Karena itu, tetaplah kamu menutupkan tabirmu terhadapnya wahai
Saudah binti Zam'ah." Dan Saudah pun tidak pernah melihatnya lagi. Dan
Muhmmad bin Rumh tidak menyebutkan perkataan beliau: "Wahai Abd". H.R
Muslim
Hadis
ini menjadi hujah atas pemikiran Asy-Syafi’i dan ulama yang sepakat dengannya
bahwa hubungan intim dengan perzinaan tidak mempunyai pengaruh apapun, dan bagi
laki-laki yang berzina itu boleh jika ia ingin menikahi ibu wanita yang ia
zinai atau anak perempuannya. Bahkan, Asy-Syafi’i membolehkan bagi si laki-laki
itu menikahi anak perempuan yang lahir akibat sperma zina yang ia lakukan.[85]
Kemudian
ada hadis yang menjadi dasar Asy-Syafi’i dalam pemikirannya yang menyatakan
suatu yang haram tidak mengharamkan yang halal, sebagai berikut:
حدثنا
القاضي الحسين بن إسماعيل, حدثنا عبد الله بن شبيب, حدثني إبراهيم بن المنذر,
حدثنا عبد الله بن نافع, حدثنا المغيرة بن عبد الرحمن المخزومي, عن عثمان بن عبد
الرحمن الزهري, عن ابن شهاب, عن عروة عن عائشة, قالت: سئل رسول الله صلي االله
عليه وسلم عن رجل زني بامرأة, فأراد أن يتزوجها ابنتها, قال: لا يحرم الحرام
الحلال, إنما يحرم ما كان بنكاح. رواه الدارقطني.[86]
“Telah
menceritakan kepada kami Al Qadhi Al Husain bin Isma’il, telah menceriitakan
kepada kami ‘Abdullah bin Syabib, telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Al
Mundzir, telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Nafi’, menceritakan
kepada kami Al Mughirah bin ‘Abdurrahman Al Makhzumiy, dari ‘Ustman bin
‘Abdurrahman Az Zuhri, dari ibnu Syihab, dari ‘Urwah dari ‘Aisyah, ia berkata:
Rasulullah pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang
perempuan, ternyata si laki-laki itu ingin menikahi perempuan itu atau anak
perempuannnya, Rasulullah bersabda: suatu yang haram tidaklah mengharamkan
suatu yang halal, sesuatu yang bisa mengharamkan adalah apa yang dilakukan
dengan nikah yang halal.”
Hadis
ini adalah hadis dari ‘Aisyah yang diriwayatkan secara marfu>’,
yang kemudian diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni
dalam kitab sunannya dari jalan periwayatan Al-mughirah bin ‘Abdurrahman
Al-Makhzumi dari ‘Utsman bin ‘Abdurrahman Az-Zuhri dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah
dari ‘Aisyah. Isnad hadis ini rusak oleh ‘Ustman bin ‘Abdurrahman, ia
disebut matruk, yakni seorang perawi yang sudah umum kelemahannya dalam
periwayatan.[87]
Selain
Ad-Daruquthni hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari jalan
periwayatan ‘Abdullah bin ‘Umar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ مُعَلَّى بْنِ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مُحَمَّدٍ
الْفَرْوِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ
عُمَرَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلَالَ. رواه ابن
ماجه.[88]
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Mu'alla bin
Manshur, telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Muhammad Al Farwi, telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Umar dari Nafi' dari Ibnu Umar bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesuatu yang haram tidak bisa
mengharamkan yang halal."
Sebagaimana yang dinyatakan bahwa isnad hadis
ini d}a’if, karena kehadiran ‘Abdullah bin ‘Umar yang
dianggap d}a’if.[89]
Dengan dasar ini Asy-Syafi’i menolak pendapat
yang mengatakan bahwa seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan maka
haram bagi si laki-laki menikahi ibu dan anak perempuan tersebut. Asy-Syafi’i
menyatakan zina tidak dapat mengharamkan yang halal.
Kata nikah dalam bahasa Arab secara bahasa
berarti Ad}-d}amm dan Al-jam’
yang keduanya berarti berkumpul.[90]
Kata nikah dalam masalah ini yaitu kata nikah dalam ayat 22 An-Nisa yang
merupakan kata yang musytarak, sehingga menyebabkan perbedaan pemahaman.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat dalam
masalah perkawinan akibat zina. Salah satu yang menyebabkan perbedaan pendapat
tersebut adalah dari segi pemahaman kebahasaan,[91]
sebagai berikut:
a. Kata nikah dipahami sebagai hubungan intim.
Ulama
yang memahami seperti ini menyatakan bahwa zina mempunyai pengaruh keharaman
terhadap wanita. Menurut mereka hal ini karena adanya petunjuk ayat lain yang
mengarahkan makna kata nikah pada ayat 22 surah An-Nisa itu bermakna hubungan
intim, yaitu:
فَإِن
طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ
مِن بَعدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوجًا غَيرَهُ...
“Kemudian
jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak
lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain...”[92]
ٱلزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا
زَانِيَةً أَو مُشرِكَة..
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini
melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik..”
Ayat di
atas menjadi indikator yang menunjuk makna hubungan intim dalam kata nikah,
sebab menurut mereka tidak relevan jika kata nikah pada ayat di atas bermakna
akad. Kemudian mereka menambahkan dengan sebuah redaksi hadis, yaitu:
ناكح اليد
ملعون
“orang yang menikahi tangan adalah terlaknat”
b. kata nikah dipahami sebagai akad
Ulama
yang memahami seperti ini menyatakan bahwa zina tidak mempunyai pengaruh
keharaman terhadap wanita. Menurut mereka hal ini karena ada ayat lain yang
menjadi petunjuk bahwa makna kata nikah dalam ayat 22 surah An-Nisa bermakna
akad, yaitu:
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ إِذَا نَكَحتُمُ ٱلمُؤمِنَٰتِ
ثُمَّ طَلَّقتُمُوهُنَّ مِن قَبلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ..
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya..”
وَأَنكِحُواْ ٱلأَيَٰمَىٰ مِنكُم ..
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu..”
فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَاءِ مَثنَىٰ وَثُلَٰثَ
وَرُبَٰعَ
“maka
kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat...”
Dan
selain ayat-ayat di atas ada juga redaksi hadis yang menurut mereka menjadi
indikator bahwa kata nikah pada masalah ini bermakna akad, sabda Rasulullah:
النكاح من سنتي
“pernikahan
itu termasuk sunnahku”
أنا من نكاح و لست من سفاح
“aku
dilahirkan dari suatu pernikahan dan bukan dari perzinaan”[93]
Dengan
demikian, pemahaman kata nikah dalam ayat 22 surah An-Nisa adalah salah satu
sebab perbedaan pendapat dalam masalah ini. Adapun Asy-Syafi'i memahami kata
nikah dalam masalah ini dengan makna akad sebagaimana pendapat kedua yang
penulis uraikan di atas.
Penulis
ternyata menemukan pandangan Asy-Syafi’i, bahwa kata nikah itu walaupun secara
majaz bermakna akad, akan tetapi makna akad pada kata nikah itu sudah sangat
dikenal, sehingga makna akad yang sebelumnya dipahami secara majaz menjadi
makna hakikat pada kata nikah dalam masalah ini. Seperti kata ‘Aqi>qah,
yang pada awalnya sebuah sebutan untuk rambut
bayi yang baru lahir. Kemudian, kata itu digunakan secara majaz untuk sebutan
kambing yang disembelih ketika upacara penggundulan rambut bayi. Lalu, kata ‘Aqi>qah
tadi menjadi sangat dikenal dengan makna
majaznya sehingga makna itu menjadi makna hakikat bagi kata tersebut.[94]
Kemudian
Asy-Syafi’i melanjutkan, Allah memberikan ibarat pada keharaman wanita dengan
apa yang mengarah pada ikatan suci suami-isteri. Seperti firmannya:
وَأُمَّهَٰتُ نِسَائِكُم
“(dan diharamkan bagimu) ibu-ibu isterimu
(mertua)”
وَحَلَٰئِلُ
أَبنَائِكُمُ
“Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu)”
Dengan
demikian, bagaimana suatu perzinaan mempunyai kehormatan sedangkan zina adalah
suatu perbuatan keji dan hina?. Kemudian suatu nasab itu tidak terjalin akibat
zina, maka seperti itulah keharaman wanita tidak ditimbulkan oleh perbuatan
zina. Berangkat dari pandangan ini maka lahir sebuah kaidah[95]:
النقمة لا
تكون طريقا إلي النعمة.[96]
“sebuah keburukan tidak akan bisa menjadi
jalan menuju kenikmatan”
ANALISIS
BAHAN HUKUM
A.
Analisis
Pemikiran Asy-Syafi’i Tentang Perkawinan Akibat Zina
Dalam
kitab Al-Umm, menurut pemikiran Asy-Syafi’i bahwa zina itu tidak
mengharamkan suatu yang halal. Dengan kata lain bahwa jika seseorang berzina
dengan isteri ayahnya, maka perzinaannya dengan isteri ayahnya itu tidak
mengharamkan isteri ayahnya atas ayahnya. Sebaliknya, jika ayahnya berzina
dengan isterinya, maka tidak diharamkan pula isterinya itu atas dirinya. Dan
bahkan menurut pemikiran Asy-Syafi’i seseorang yang berzina dengan seorang
perempuan, dan perempuan itu hamil kemudian melahirkan anak perempuan hasil
zinanya, maka boleh hukumnya jika ia menikahi anak perempuan hasil zina
tersebut.
Kemudian lanjut Asy-Syafi’i, Allah
memerintahkan pernikahan dan menjadikannya sebab terjalinnya hubungan nasab,
hubungan semenda, rasa kasih sayang, dan ketenangan. Dengan pernikahan Allah
juga menetapkan sesuatu larangan, dan segala hak-hak yang terkait dengan
kewarisan, nafkah, mahar, hak suami untuk ditaati, dan kebolehan suatu yang
tidak boleh sebelumnya. Sedangkan Allah juga mengharamkan zina dengan menyebut
bahwa zina itu merupakan perbuatan yang paling keji. Maka dari itu, Asy-Syafi’i
mengatakan ada 2 macam jima’ yang aku temui, yaitu jima’ yang
halal dan jima’ yang haram, apakah layak jika aku qiyaskan satu dengan
yang lainnya.
Asy-Syafi’i
sama sekali tidak membenarkan jika suatu perzinaan itu sama dengan pernikahan.
Seperti itu juga tidaklah pantas jika seseorang yang menikah, dikatakan bahwa
ia berzina, sedangkan seperti yang diketahui bahwa pernikahan merupakan
legalitas bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya ilegal untuk
dilakukan.
Penulis
senada dengan pernyataan Asy-Syafi’i di atas bahwa pernikahan tidak akan sama
dengan perzinaan. Sebab, dalam Alquran sendiri, pensyariatan pernikahan
dirincikan dengan sistematis, serta dengan ungkapan bahasa yang indah. Seperti
ayat yang menyebut pernikahan itu sebagai ikatan yang kuat, surah An-Nisa ayat
21:
وَكَيفَ تَأخُذُونَهُۥ وَقَد أَفضَىٰ بَعضُكُم إِلَىٰ بَعض
وَأَخَذنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظاً
"Bagaimana
kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat"
Dalam
ayat di atas terdapat sebuah ungkapan mi>s|a>qan
ghali>z}an yang
berarti perjanjian yang kuat, sebagai ungkapan untuk akad pernikahan.
Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan Sa’id bin Jubair, bahwa
yang dimaksud itu adalah sebuah Akad.[97]
Kemudian, ditambah lagi oleh ungkapan dari sebuah hadis:
...فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ
أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ
اللَّهِ...رواه ابن
ماجه[98]
“Maka bertakwalah kepada Allah dari para
wanita, karena kalian telah menjadikan mereka isteri dengan amanat Allah dan
kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah.”
Dalam hadis
di atas pernikahan diungkapkan dengan gaya bahasa yang menggugah, bahwa dengan
amanat Allah seorang laki-laki menjadikan seorang perempuan sebagai isteri,
serta menghalalkannya dengan kalimat Allah.
Kemudian,
setelah Alquran mengungkapkan pernikahan dengan gaya bahasanya, Alquran
menyebutkan suatu anugrah yang diberikan kepada manusia, yang hanya bisa
dirasakan dengan adanya pernikahan, berupa cinta dan kasih sayang di antara
pasangan suami-isteri. Allah berfirman surah Ar-Rum ayat 21:
وَمِن ءَايَٰتِهِۦ
أَن خَلَقَ لَكُم مِّن أَنفُسِكُم أَزوَٰجا لِّتَسكُنُواْ إِلَيهَا وَجَعَلَ
بَينَكُم مَّوَدَّةً وَرَحمَةً إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأيَٰت لِّقَوم يَتَفَكَّرُونَ
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Dikarenakan
di dalam pernikahan terdapat anugrah yang luar biasa, maka sangat wajar jika
ayat lain dalam Alquran menganjurkan pernikahan, seperti ayat 31 surah An-Nur:
وَأَنكِحُواْ ٱلأَيَٰمَىٰ مِنكُم وَٱلصَّٰلِحِينَ مِن
عِبَادِكُم وَإِمَائِكُم إِن يَكُونُواْ فُقَرَاءَ يُغنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضلِهِۦ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
"Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui"
Kemudian
didukung oleh sebuah hadis yang menganjurkan pernikahan, sebab pernikahan itu
sebagai sarana untuk menjaga diri dari perbuatan yang mencemari kesucian diri
seperti halnya zina, sedangkan kesucian merupakan sesuatu yang sangat
diprioritaskan oleh Islam. Sebagaimana dalam hadis:
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وأبو
كريب: قالا: حدثنا أبو معاوية, عن الأعمش, عن عمارة بن عمير, عن عبد الرحمن بن يزيد, عن عبد الله قال: قال
لنا رسول الله : يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج, فإنه أغض للبصر,
وأحصن للفرج, ومن لم يستطع فعليه بالصوم, فإنه له وجاء. رواه مسلم[99]
“Hai sekalian pemuda barangsiapa yang telah sanggup
diantara kamu melaksanakan kehidupan suami-isteri, hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya
kawin itu menghalangi pandangan mata (kepada yang terlarang memandangnya) dan
memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak sanggup maka hendaklah ia
berpuasa. Maka sesungguhnya puasa adalah perisai baginya.”
Dengan demikian, pernikahan tidaklah sama dengan perzinaan. Maka dari
itu, akibat hukum yang diakibatkan oleh pernikahan tidak akan muncul oleh
perzinaan.
B. Analisis Dasar Hukum Asy-Syafi’i
Pemikiran
Asy-Syafi’i tidaklah tanpa dasar, bagaimana bisa seorang Asy-Syafi’i tidak
memiliki dasar atas pemikirannya. Berikut dasar hukum pemikiran Asy-Syafi’i
terkait dengan masalah ini:
a. Alquran
وَلَا تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَاؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَاءِ
إِلَّا مَا قَد سَلَفَ إِنَّهُۥ
كَانَ فَٰحِشَة وَمَقتا وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan
janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu,
kecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan
dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”
وَأُمَّهَٰتُ نِسَائِكُم وَرَبَٰئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي
حُجُورِكُم مِّن نِّسَائِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلتُم بِهِنَّ
“Dan ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak
isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri”
وَحَلَٰئِلُ أَبنَائِكُمُ ٱلَّذِينَ مِن أَصلَٰبِكُم
“(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu)”
Menurut
Asy-Syafi’i, Allah mengharamkan orang yang disebut dalam ayat di atas dengan
suatu pernikahan atau dengan pernikahan dan senggama, maka dari itu pantaskah
jika Allah mengharamkan sesuatu dengan yang halal, kemudian ia haramkan dengan
yang haram, sedangkan haram itu adalah berseberangan dengan halal. Suatu
pernikahan itu disunnahkan dan diperintahkan Allah, sedangkan zina itu
diharamkan. Allah berfirman:
وَلَا تَقرَبُواْ ٱلزِّنَىٰ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلاً
“Dan janganlah
kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
Dan suatu jalan yang buruk.”[100]
Asy-Syafi’i meyakini bahwa perempuan-perempuan
yang Allah haramkan untuk dinikahi dalam ayat yang suci tersebut, yaitu dengan
akad pernikahan atau dengan hubungan yang diikat dalam sebuah akad pula.
Seperti akad nikah dengan perempuan maka akad itu sudah mengharamkan ibu si
perempuan itu. Berbeda jika akad nikah dengan si ibu maka akadnya tidak
mengharamkan anak perempuan si ibu, sampai si ibu di-dukhul, maka yang
mengharamkan anak perempuan tersebut adalah hubungan intim dengan si ibu dalam
sebuah akad perkawinan. Seperti sebuah kaidah yang lahir dari ayat muharramat,
yaitu:
العقد علي
البنات يحرم الأمهات, و الدخول بالأمهات يحرم البنات.[101]
“Suatu
akad nikah atas anak perempuan mengharamkan ibunya, sedangkan dukhul dengan
ibu mengharamkan anak perempuannya.
Dan tentunya dalam hal ini, hubungan intim yang
mengharamkan adalah hubungan intim dalam sebuah akad nikah yang suci, sebab
jika hubungan intim yang terjadi di luar akad pernikahan maka akan disebut
zina. Bukankah Allah halalkan perempuan-perempuan pada umumnya, selain para
perempuan yang Allah haramkan sebelumnya dengan firmannya:
وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاءَ
ذَٰلِكُم..
“Dan
dihalalkan bagi kamu selain perempuan-perempuan yang demikian itu..”
Dengan demikian perempuan yang dizinai berbeda
dengan perempuan yang dinikahi, maka perempuan-perempuan yang dizinai masuk
kepada apa yang dimaksud ayat di atas. Dengan kata lain, mereka tidak termasuk
perempuan-perempuan yang haram dinikahi.
b. Hadis
Selain
nash Alquran sebagaimana yang telah dijelaskan, Asy-Syafi’i juga mendasarkan
pemikirannya dengan hadis. Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa hadis
merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Alquran. Hadis yang menjadi
dasar pemikiran Asy-Syafi’i adalah hadis tentang sengketa antara Sa’ad bin Abu
Waqqash dan Abd bin Zam’ah tentang seorang anak. Hadis tersebut ternyata
kemudian diriwayatkan oleh Imam Muslim, sebagai berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ اخْتَصَمَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَعَبْدُ بْنُ
زَمْعَةَ فِي غُلَامٍ فَقَالَ سَعْدٌ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ أَخِي
عُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَهِدَ إِلَيَّ أَنَّهُ ابْنُهُ انْظُرْ إِلَى
شَبَهِهِ وَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ هَذَا أَخِي يَا رَسُولَ اللَّهِ وُلِدَ
عَلَى فِرَاشِ أَبِي مِنْ وَلِيدَتِهِ فَنَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى شَبَهِهِ فَرَأَى شَبَهًا بَيِّنًا بِعُتْبَةَ فَقَالَ
هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ وَاحْتَجِبِي
مِنْهُ يَا سَوْدَةُ بِنْتَ زَمْعَةَ
قَالَتْ
فَلَمْ يَرَ سَوْدَةَ قَطُّ وَلَمْ يَذْكُرْ مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ قَوْلَهُ يَا
عَبْدُ.[102] رواه مسلم.
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah
bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Al Laits. Dan diriwayatkan dari jalur
lain, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh telah mengabarkan kepada
kami Al Laits dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah bahwa dia berkata; Sa'ad
bin Abu Waqqash bersengketa dengan Abd bin Zam'ah mengenai seorang anak
laki-laki, Sa'ad berkata; Wahai Rasulullah, ini adalah anak dari saudaraku, Utbah
bin Abi Waqash, dia telah berpesan kepadaku bahwa ini memang anaknya, lihatlah
kemiripannya (dengan saudaraku). 'Abd bin Zam'ah berkata; Wahai Rasulullah,
anak ini adalah saudaraku, karena dia dilahirkan di ranjang ayahku dari budak
perempuan ayahku. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memperhatikan kemiripannya, ternyata dia persis seperti 'Utbah, lalu beliau
bersabda: "Ini adalah milikmu, wahai Abd, yaitu untuk orang yang punya
ranjang, di mana anak tersebut di lahirkan. Sedangkan laki-laki yang menzinahi
ibunya tidak memiliki hak apa-apa terhadapnya. Karena itu, tetaplah kamu
menutupkan tabirmu terhadapnya wahai Saudah binti Zam'ah." Dan Saudah pun
tidak pernah melihatnya lagi. Dan Muhammad bin Rumh tidak menyebutkan perkataan
beliau: "Wahai Abd". H.R Muslim
Hadis ini menjadi hujah atas pemikiran
Asy-Syafi’i dan ulama yang sepakat dengannya bahwa hubungan intim dengan
perzinaan tidak mempunyai pengaruh apapun, dan bagi laki-laki yang berzina itu
boleh jika ia ingin menikahi ibu wanita yang ia zinai atau anak perempuannya.
Bahkan, Asy-Syafi’i membolehkan bagi si laki-laki itu menikahi anak perempuan
yang lahir akibat sperma zina yang ia lakukan.[103]
Kemudian ada hadis yang menjadi dasar
Asy-Syafi’i dalam pemikirannya yang menyatakan suatu yang haram tidak
mengharamkan yang halal, sebagai berikut:
حدثنا
القاضي الحسين بن إسماعيل, حدثنا عبد الله بن شبيب, حدثني إبراهيم بن المنذر,
حدثنا عبد الله بن نافع, حدثنا المغيرة بن عبد الرحمن المخزومي, عن عثمان بن عبد
الرحمن الزهري, عن ابن شهاب, عن عروة عن عائشة, قالت: سئل رسول الله صلي االله
عليه وسلم عن رجل زني بامرأة, فأراد أن يتزوجها ابنتها, قال: لا يحرم الحرام
الحلال, إنما يحرم ما كان بنكاح. رواه الدارقطني.[104]
“Telah
menceritakan kepada kami Al Qadhi Al Husain bin Isma’il, telah menceriitakan kepada
kami ‘Abdullah bin Syabib, telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Al Mundzir,
telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Nafi’, menceritakan kepada kami Al
Mughirah bin ‘Abdurrahman Al Makhzumiy, dari ‘Ustman bin ‘Abdurrahman Az Zuhri,
dari ibnu Syihab, dari ‘Urwah dari ‘Aisyah, ia berkata: Rasulullah pernah
ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan,
ternyata si laki-laki itu ingin menikahi perempuan itu atau anak perempuannnya,
Rasulullah bersabda: suatu yang haram tidaklah mengharamkan suatu yang halal,
sesuatu yang bisa mengharamkan adalah apa yang dilakukan dengan nikah yang
halal.”
Hadis ini adalah hadis dari ‘Aisyah yang
diriwayatkan secara marfu>’, yang
kemudian diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam kitab sunannya dari jalan
periwayatan Al-mughirah bin ‘Abdurrahman Al-Makhzumi dari ‘Utsman bin
‘Abdurrahman Az-Zuhri dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah dari ‘Aisyah. Isnad hadis
ini rusak oleh ‘Ustman bin ‘Abdurrahman, ia disebut matruk, yakni
seorang perawi yang sudah umum kelemahannya dalam periwayatan.[105]
Selain Ad-Daruquthni hadis ini juga
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari jalan periwayatan ‘Abdullah bin ‘Umar dari
Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Sebagai berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُعَلَّى
بْنِ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْفَرْوِيُّ حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ
الْحَلَالَ. رواه ابن
ماجه.[106]
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Mu'alla bin Manshur, telah
menceritakan kepada kami Ishaq bin Muhammad Al Farwi, telah menceritakan kepada
kami Abdullah bin Umar dari Nafi' dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal."
Sebagaimana yang dinyatakan bahwa isnad hadis
ini dha’if, karena kehadiran ‘Abdullah bin ‘Umar yang dianggap dha’if.[107]
Dengan
dasar ini Asy-Syafi’i menolak pendapat yang mengatakan bahwa seorang laki-laki berzina
dengan seorang perempuan maka haram bagi si laki-laki menikahi ibu dan anak
perempuan tersebut. Asy-Syafi’i menyatakan zina tidak dapat mengharamkan yang
halal.
Dalam
penelusuran penulis, dengan segala keterbatasannya penulis hanya menemukan
jalur periwayatan seperti di atas dan kemudian secara sepintas memberi kesan
bahwa As-syafi’i mendasari pemikirannya dengan hadis yang d}a’i>f atau lemah. Akan tetapi, mengingat bahwa
disamping As-syafi’i adalah seorang yang berkedudukan mujtahid dalam bidang fiqih, ia juga merupakan seorang
perawi yang terpercaya. Sehingga, menurut penulis ada beberapa hal yang menjadi
asumsi tentang hal ini. Sebab, secara umum studi sebuah hadis yang dilakukan
oleh para ulama hadis ada dua sisi, yaitu sisi para perawinya dan juga isi
materinya atau yang disebut matan hadisnya. Jadi, yang dinilai bukan hanya
salah satunya saja, melainkan keduanya. Sebagai berikut:
a. Dalam hal ini, As-Syafi’i meriwayatkan hadis
ini dalam kitabnya Al-Umm.
Sebagaimana yang penulis temukan, memang tidak disebutkan jalur periwayatannya.
Ke-s}ah}i>h}-an suatu hadis akan dinilai pertama kali dari
masalah siapa yang meriwayatkannya, dari perawi yang pertama hingga kepada
perawi paling akhir. Mengenai hal ini, semua ulama ahli hadis memiliki kriteria
masing-masing dalam menilai perawi untuk diterima periwayatannya. Seperti
contoh kasus ‘Abdullah bin ‘Umar yang dianggap lemah dalam periwayatannya,
ternyata tidak semua ulama hadis beranggapan seperti demikian, sehingga bagi
sebagian ulama hadis tidak masalah menerima periwayatannya. Sebagaimana yang
penulis ketahui, melalui i-software Kitab 9 Imam Hadis, terdapat
delapan ulama hadis beserta komentarnya terhadap ‘Abdullah bin ‘Umar. Mereka
yang berkomentar negatif yaitu; Ibn Al-madini, An-Nasa’i, dan Ibnu Hajar Al-Asqollani.
Sedangkan mereka yang berkomentar positif yaitu; Ahmad bin Hanbal, Yahya bin
Ma’in, Ya’qub bin Syaibah, Ibnu ‘Adi, dan Al-‘Uqaili. Dengan demikian, tidak
menutup kemungkinan bahwa Asy-Syafi’i menilai ‘Abdullah bin ‘Umar ini bukanlah
seorang yang lemah dalam periwayatan.
b. Dalam hal ini, hadis yang terkesan lemah dalam
masalah ini tidak bertentangan dengan hadis yang Asy-Syafi’i bawa di awal,
yaitu hadis tentang sengketa antara Sa’ad bin Abu Waqqash dan Abd bin Zam’ah.
Bahkan makna hadisnya bersesuaian satu sama lain.
Kemudian
mengenai hukum makruh yang Asy-Syafi’i berikan pada pernikahan seorang
laki-laki yang menikahi anak perempuan hasil zinanya sendiri, ternyata
ditemukan bahwa ada dua alasan mengenai hal ini menurut beberapa ulama
Syafi’iyah[108]:
a. Dimakruhkan karena khawatir jika anak itu memang anak
biologisnya, atas dasar inilah jika diketahui secara pasti bahwa anak itu
adalah anak biologisnya dengan bahwa Rasulullah mengkhabarkan di zamannya maka
tidaklah halal anak itu baginya.
b. Dimakruhkan karena untuk keluar dari perbedaan pendapat,
sebab sebagian ulama mengharamkannya seperti Imam Abu Hanifah, atas dasar ini
jika benar anak itu adalah anak biologisnya maka tidak diharamkan, sebab ada
kelahiran yang tidak mengakibatkan terjalinnya hubungan nasab dan tidak pula
timbul keharaman, seperti kelahiran di bawah 6 bulan dari terjadinya zina.
C.
Analisis
Pemahaman Kata Nikah Dalam Ayat 22 Surah An-Nisa Menurut Asy-syafi’i
Sebagaimana
yang sudah penulis jelaskan sebelumnya bahwa Asy-Syafi’i memahami kata nikah
dalam ayat 22 surah An-Nisa sebagai akad, maka di bawah ini akan dipaparkan
analisis bagaimana Asy-Syafi’i memahami kata tersebut sehingga menimbulkan
keputusan hukum dalam masalah perkawinan akibat zina.
Menurut
para ahli ushul dan bahasa, kata nikah secara hakikat digunakan untuk hubungan
intim, dan secara majaz untuk arti akad. Dengan pernyataan ini, kata nikah yang
tertera di dalam Alquran dan sunah tanpa adanya indikasi lain maka yang
dimaksud adalah hubungan intim. Maka wajar jika sebagian ulama berpendapat
bahwa kata nikah dalam firman Allah Q.S An-nisa ayat 22 bermakna hubungan
intim, sebab menurut mereka, memaknai suatu kata dengan makna yang sesungguhnya
adalah lebih utama. Oleh karena itu, perempuan yang dizinai oleh seorang ayah
diharamkan kepada anaknya menikahi perempuan tersebut, maksudnya semua
keturunannya. Pengharaman wanita yang dizinai ayah ini atas semua keturunannya
adalah ketetapan dengan teks Alquran. Adapun keharaman wanita yang dinikahi
ayah dengan akad yang s}ahih atas
keturunannya maka tidaklah ada perbedaan di sana.[109]
Akan tetapi, berbeda dengan Asy-Syafi’i yang memahami kata nikah dengan makna
majaznya yaitu akad.
Penulis
ternyata menemukan pandangan Asy-Syafi’i, bahwa kata nikah itu walaupun secara
majaz bermakna akad, akan tetapi makna akad pada kata nikah itu sudah sangat
dikenal, sehingga makna akad yang sebelumnya dipahami secara majaz menjadi
makna hakikat pada kata nikah dalam masalah ini. Seperti kata ‘Aqi>qah,
yang pada awalnya sebuah sebutan untuk rambut
bayi yang baru lahir. Kemudian, kata itu digunakan secara majaz untuk sebutan
kambing yang disembelih ketika upacara penggundulan rambut bayi. Lalu, kata ‘Aqi>qah
tadi menjadi sangat dikenal dengan makna
majaznya sehingga makna itu menjadi makna hakikat bagi kata tersebut.[110]
Kemudian
Asy-Syafi’i melanjutkan, Allah memberikan ibarat pada keharaman wanita dengan
apa yang mengarah pada ikatan suci suami-isteri. Seperti firmannya:
وَأُمَّهَٰتُ نِسَائِكُم
“(dan diharamkan bagimu) ibu-ibu isterimu
(mertua)”
وَحَلَٰئِلُ
أَبنَائِكُمُ
“Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu)”
Dengan
demikian, bagaimana suatu perzinaan mempunyai kehormatan sedangkan zina adalah suatu
perbuatan keji dan hina?. Kemudian suatu nasab itu tidak terjalin akibat zina,
maka seperti itulah keharaman wanita tidak ditimbulkan oleh perbuatan zina.
Berangkat dari pandangan ini maka lahir sebuah kaidah:
النقمة لا
تكون طريقا إلي النعمة.[111]
“sebuah
keburukan tidak akan bisa menjadi jalan menuju kenikmatan”
Pemahaman Asy-Syafi’i seperti ini menurut
penulis, memberikan informasi bahwa makna majaz dari sebuah kata bisa menjadi makna
hakikatnya sesuai ketentuannya. Seperti kata shalat, makna hakikatnya adalah
do’a sedangkan makna majaznya adalah ibadah yang khusus. Dengan kata lain,
dengan ketentuan syariat kata shalat tidak dipahami dengan makna do’a, tetapi
dipahami dengan makna yang dikehendaki oleh syariat yaitu ibadah yang khusus,
sehingga kata shalat dengan makna ibadah khusus menjadi makna hakiki bagi kata
tersebut. Seperti itulah, kata nikah yang bermakna hubungan intim secara hakiki
dan bermakna akad secara majaz, akan tetapi oleh ketentuan syariat makna majaz
dari kata nikah yaitu akad, menjadi makna hakiki dari kata nikah itu sendiri.
Oleh sebab itu, kata nikah disebut kata yang musytarak di pembahasan
terdahulu, karena apabila suatu kata
mempunyai arti yang sebenarnya hanya satu dan yang lain arti majaz, maka
tidaklah dikatakan musytarak.
Sebatas pengetahuan penulis,
Asy-Syafi’i memang sosok tokoh yang pemikirannya selalu bercorak dengan
pembelaanya terhadap otoritas teks Alquran maupun haids yang suci, perdebatan
dan perlawanan Asy-Syafi’i terhadap ahli ar-ra’y, di satu sisi begitu
dahsyat sehingga ia dianggap pembela tradisi, dengan sebutan na>s}ir As-sunnah. Sementara di sisi lain, pembelaan Asy-Syafi’i terhadap
kebahasaan Alquran tentunya mempunyai maksud dan tujuan yang ingin disampaikan
kepada pembaca. Dengan demikian, wajar jika ketika Asy-Syafi’i
menjumpai suatu kata dalam Alquran dan ditemukan pemaknaan yang berbeda dari
referensi satu dengan referensi yang lain, maka kata tersebut termasuk kata
musytarak. Sehingga untuk memilih makna yang lebih sesuai dengan kata tersebut,
maka jalan yang lebih utama baginya adalah mengambil pemaknaan secara syar’i
bukan lugowi.
Dengan
demikian, kata nikah yang ada dalam nash akan dimaknai secara syariat bukan
secara bahasa, sesuai kaidah:
إذا ورد في النص الشرعي لفظ مشترك, فإن كان مشتركا بين معني لغوي و معني
اصطلاحي شرعي, وجب حمله علي المعني الشرعي, وإن كان مشتركا بين معنيين أو أكثر من
المعاني اللغوية وجب حمله علي معني واحد منها بدليل يعينه, ولا يصح ان يراد
بالمشترك معنياه أو معانيه معا.[112]
“Apabila terdapat suatu
kata musytarak pada nash syariat, maka jika musytarak antara
makna secara bahasa dan makna secara istilah syariat, maka wajib memaknainya
dengan makna syariat, dan jika musytarak antara dua makna atau lebih
dari makna secara bahasa, maka wajib memaknainya dengan salah satunya saja
dengan dalil yang menentukannya. Sebab, dua kata yang maknanya musytarak tidak
akan bisa dipahami sekaligus.”
Sebatas
pengetahuan penulis, di dalam Alquran terdapat ayat yang membawa redaksi kata
nikah beserta kata pecahannya sebanyak 19 ayat, yaitu:
1. Dalam surah Al-Baqarah ada 5 ayat, yaitu:
a. Ayat 221
وَلَا
تَنكِحُواْ ٱلمُشرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤمِنَّ وَلَأَمَة مُّؤمِنَةٌ خَير مِّن
مُّشرِكَة وَلَو أَعجَبَتكُم وَلَا تُنكِحُواْ ٱلمُشرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤمِنُواْ
وَلَعَبد مُّؤمِنٌ خَير مِّن مُّشرِك وَلَو أَعجَبَكُم أُوْلَٰئِكَ يَدعُونَ إِلَى
ٱلنَّارِ وَٱللَّهُ يَدعُواْ إِلَى ٱلجَنَّةِ وَٱلمَغفِرَةِ بِإِذنِهِۦ
وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُم
يَتَذَكَّرُونَ
“Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.”[113]
b. Ayat 230
فَإِن
طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ
مِن بَعدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوجًا غَيرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ
عَلَيهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ وَتِلكَ
حُدُودُ ٱللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوم يَعلَمُونَ
“Kemudian
jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak
lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami
yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada
kaum yang (mau) mengetahui.”[114]
c. Ayat 232
وَإِذَا
طَلَّقتُمُ ٱلنِّسَاءَ فَبَلَغنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحنَ
أَزوَٰجَهُنَّ إِذَا تَرَٰضَواْ بَينَهُم بِٱلمَعرُوفِ ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ مِنكُم يُؤمِنُ بِٱللَّهِ
وَٱليَومِ ٱلأخِرِ ذَٰلِكُم أَزكَىٰ لَكُم وَأَطهَرُ وَٱللَّهُ يَعلَمُ وَأَنتُم
لَا تَعلَمُونَ
“Apabila
kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah
terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma´ruf. Itulah yang
dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan
hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui”[115]
d. Ayat 235
وَلَا
جُنَاحَ عَلَيكُم فِيمَا عَرَّضتُم بِهِۦ
مِن خِطبَةِ ٱلنِّسَاءِ أَو أَكنَنْتُمْ فِي أَنفُسِكُم عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُم
سَتَذكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَن تَقُولُواْ
قَولًا مَّعرُوفًا وَلَا تَعزِمُواْ عُقدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبلُغَ ٱلكِتَٰبُ
أَجَلَهُ وَٱعلَمُواْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعلَمُ مَا فِي أَنفُسِكُم فَٱحذَرُوهُ
وَٱعلَمُواْ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma´ruf. Dan janganlah kamu berazam
(bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ´iddahnya. Dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”[116]
e. Ayat 237
وَإِن
طَلَّقتُمُوهُنَّ مِن قَبلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَد فَرَضتُم لَهُنَّ فَرِيضَة
فَنِصفُ مَا فَرَضتُم إِلَّا أَن يَعفُونَ أَو يَعفُوَاْ ٱلَّذِي بِيَدِهِۦ عُقدَةُ ٱلنِّكَاحِ وَأَن تَعفُواْ
أَقرَبُ لِلتَّقوَىٰ وَلَا تَنسَوُاْ ٱلفَضلَ بَينَكُم إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا
تَعمَلُونَ بَصِيرٌ
“Jika
kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal
sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar
yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau
dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih
dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.”[117]
2. Dalam surah An-Nisa ada 5 ayat, yaitu:
a. Ayat 3
وَإِن
خِفتُم أَلَّا تُقسِطُواْ فِي ٱليَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ
ٱلنِّسَاءِ مَثنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ فَإِن خِفتُم أَلَّا تَعدِلُواْ
فَوَٰحِدَةً أَو مَا مَلَكَت أَيمَٰنُكُم ذَٰلِكَ أَدنَىٰ أَلَّا تَعُولُواْ
“Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”[118]
b. Ayat 6
وَٱبتَلُواْ
ٱليَتَٰمَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ فَإِن ءَانَستُم مِّنهُم رُشدًا
فَٱدفَعُواْ إِلَيهِم أَموَٰلَهُم وَلَا تَأكُلُوهَا إِسرَافًا وَبِدَارًا أَن
يَكبَرُواْ وَمَن كَانَ غَنِيّا فَليَستَعفِف وَمَن كَانَ فَقِيرا فَليَأكُل
بِٱلمَعرُوفِ فَإِذَا دَفَعتُم إِلَيهِم أَموَٰلَهُم فَأَشهِدُواْ عَلَيهِم
وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبًا
"Dan
ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak
yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara
itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu)
dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang
patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah
kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah
Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).”[119]
c. Ayat 22
وَلَا
تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَاؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ
إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَمَقتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
"Dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”[120]
d. Ayat 25
وَمَن
لَّم يَستَطِع مِنكُم طَولًا أَن يَنكِحَ ٱلمُحصَنَٰتِ ٱلمُؤمِنَٰتِ فَمِن مَّا
مَلَكَت أَيمَٰنُكُم مِّن فَتَيَٰتِكُمُ ٱلمُؤمِنَٰتِ وَٱللَّهُ أَعلَمُ
بِإِيمَٰنِكُم بَعضُكُم مِّن بَعض فَٱنكِحُوهُنَّ بِإِذنِ أَهلِهِنَّ
وَءَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِٱلمَعرُوفِ مُحصَنَٰتٍ غَيرَ مُسَٰفِحَٰت وَلَا
مُتَّخِذَٰتِ أَخدَان فَإِذَا أُحصِنَّ فَإِن أَتَينَ بِفَٰحِشَة فَعَلَيهِنَّ
نِصفُ مَا عَلَى ٱلمُحصَنَٰتِ مِنَ ٱلعَذَابِ ذَٰلِكَ لِمَن خَشِيَ ٱلعَنَتَ
مِنكُم وَأَن تَصبِرُواْ خَيرٌ لَّكُم وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan barangsiapa
diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini
wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari
budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu
adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin
tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun
wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang
mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga
diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka
atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.
(Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada
kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran
itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[121]
e. Ayat 127
وَيَستَفتُونَكَ
فِي ٱلنِّسَاءِ قُلِ ٱللَّهُ يُفتِيكُم فِيهِنَّ وَمَا يُتلَىٰ عَلَيكُم فِي
ٱلكِتَٰبِ فِي يَتَٰمَى ٱلنِّسَاءِ ٱلَّٰتِي لَا تُؤتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ
وَتَرغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ وَٱلمُستَضعَفِينَ مِنَ ٱلوِلدَٰنِ وَأَن
تَقُومُواْ لِليَتَٰمَىٰ بِٱلقِسطِ وَمَا تَفعَلُواْ مِن خَيرٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ
كَانَ بِهِۦ عَلِيمًا
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang
para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan
apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita
yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk
mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih
dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim
secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahuinya.”[122]
3. Dalam surah An-Nur ada 4 ayat, yaitu:
a. Ayat 3
ٱلزَّانِي
لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَو مُشرِكَة وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا
زَانٍ أَو مُشرِكٌ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱلمُؤمِنِينَ
"Laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas oran-orang yang mukmin.”[123]
b. Ayat 32
وَأَنكِحُواْ
ٱلأَيَٰمَىٰ مِنكُم وَٱلصَّٰلِحِينَ مِن عِبَادِكُم وَإِمَائِكُم إِن يَكُونُواْ
فُقَرَاءَ يُغنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضلِهِۦ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”[124]
c. Ayat 33
وَلْيَستَعفِفِ
ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضلِهِۦ وَٱلَّذِينَ يَبتَغُونَ ٱلكِتَٰبَ
مِمَّا مَلَكَت أَيمَٰنُكُم فَكَاتِبُوهُم إِن عَلِمتُم فِيهِم خَيرًا وَءَاتُوهُم
مِّن مَّالِ ٱللَّهِ ٱلَّذِي ءَاتَىٰكُم وَلَا تُكرِهُواْ فَتَيَٰتِكُم عَلَى
ٱلبِغَاءِ إِن أَرَدنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُواْ عَرَضَ ٱلحَيَوٰةِ ٱلدُّنيَا
وَمَن يُكرِههُّنَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ مِن بَعدِ إِكرَٰهِهِنَّ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang
yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah
memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang
memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika
kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka
sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu
paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri
mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan
barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.”[125]
d. Ayat 60
وَٱلقَوَٰعِدُ
مِنَ ٱلنِّسَاءِ ٱلَّٰتِي لَا يَرجُونَ نِكَاحًا فَلَيسَ عَلَيهِنَّ جُنَاحٌ أَن
يَضَعنَ ثِيَابَهُنَّ غَيرَ مُتَبَرِّجَٰتِ بِزِينَةٍ وَأَن يَستَعفِفنَ خَيرٌ
لَّهُنَّ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan
perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang
tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka
dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih
baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana.”[126]
4. Dalam surah Al-Ahzab ada 3 ayat, yaitu:
a. Ayat 49
يَٰأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ إِذَا نَكَحتُمُ ٱلمُؤمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقتُمُوهُنَّ مِن
قَبلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُم عَلَيهِنَّ مِن عِدَّةٍ تَعتَدُّونَهَا
فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka ´iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut´ah dan lepaskanlah mereka itu dengan
cara yang sebaik-baiknya.”[127]
b. Ayat 50
يَٰأَيُّهَا
ٱلنَّبِيُّ إِنَّا أَحلَلنَا لَكَ أَزوَٰجَكَ ٱلَّٰتِي ءَاتَيتَ أُجُورَهُنَّ
وَمَا مَلَكَت يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ ٱللَّهُ عَلَيكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ
وَبَنَاتِ عَمَّٰتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَٰلَٰتِكَ ٱلَّٰتِي هَاجَرنَ
مَعَكَ وَٱمرَأَة مُّؤمِنَةً إِن وَهَبَت نَفسَهَا لِلنَّبِيِّ إِن أَرَادَ
ٱلنَّبِيُّ أَن يَستَنكِحَهَا خَالِصَة لَّكَ مِن دُونِ ٱلمُؤمِنِينَ قَد عَلِمنَا
مَا فَرَضنَا عَلَيهِم فِي أَزوَٰجِهِم وَمَا مَلَكَت أَيمَٰنُهُم لِكَيلَا
يَكُونَ عَلَيكَ حَرَجَ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Hai
Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah
kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa
yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian
pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan
dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki
ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah
bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau
Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang
mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka
tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak
menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”[128]
c. Ayat 53
يَٰأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَدخُلُواْ بُيُوتَ ٱلنَّبِيِّ إِلَّا أَن يُؤذَنَ لَكُم
إِلَىٰ طَعَامٍ غَيرَ نَٰظِرِينَ إِنَىٰهُ وَلَٰكِن إِذَا دُعِيتُم فَٱدخُلُواْ
فَإِذَا طَعِمتُم فَٱنتَشِرُواْ وَلَا مُستَئنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَٰلِكُم
كَانَ يُؤذِي ٱلنَّبِيَّ فَيَستَحيِۦ
مِنكُم وَٱللَّهُ لَا يَستَحيِۦ
مِنَ ٱلحَقِّ وَإِذَا سَأَلتُمُوهُنَّ مَتَٰعًا فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَاءِ
حِجَابٍ ذَٰلِكُم أَطهَرُ لِقُلُوبِكُم وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُم أَن
تُؤذُواْ رَسُولَ ٱللَّهِ وَلَا أَن تَنكِحُواْ أَزوَٰجَهُۥ مِن بَعدِهِۦ أَبَدًا إِنَّ ذَٰلِكُم كَانَ عِندَ
ٱللَّهِ عَظِيمًا
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila
kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak
(makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai
makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang
demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu
keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta
sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari
belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.
Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini
isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu
adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.”[129]
5. Dalam surah Al-Qashash ada 1 ayat, yaitu ayat
27:
قَالَ
إِنِّي أُرِيدُ أَن أُنكِحَكَ إِحدَى ٱبنَتَيَّ هَٰتَينِ عَلَىٰ أَن تَأجُرَنِي
ثَمَٰنِيَ حِجَجٍ فَإِن أَتمَمتَ عَشرًا
فَمِن عِندِكَ وَمَا أُرِيدُ أَن أَشُقَّ عَلَيكَ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ ٱللَّهُ
مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ
“Berkatalah
dia (Syu´aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah
seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan
tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan)
dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.”[130]
6. Dalam surah Al-Mumtahanah ada 1 ayat, yaitu
ayat 10:
يَٰأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ إِذَا جَاءَكُمُ ٱلمُؤمِنَٰتُ مُهَٰجِرَٰت فَٱمتَحِنُوهُنَّ
ٱللَّهُ أَعلَمُ بِإِيمَٰنِهِنَّ فَإِن عَلِمتُمُوهُنَّ مُؤمِنَٰت فَلَا
تَرجِعُوهُنَّ إِلَى ٱلكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلّ لَّهُم وَلَا هُم يَحِلُّونَ
لَهُنَّ وَءَاتُوهُم مَّا أَنفَقُواْ وَلَا جُنَاحَ عَلَيكُم أَن تَنكِحُوهُنَّ
إِذَا ءَاتَيتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمسِكُواْ بِعِصَمِ ٱلكَوَافِرِ
وَسئَلُوا أَنفَقتُم وَليَسئَلُوا مَا أَنفَقُواْ ذَٰلِكُم حُكمُ ٱللَّهِ يَحكُمُ
بَينَكُم وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada
(suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan
hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di
antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[131]
Ayat-ayat
yang sudah penulis paparkan di atas adalah ayat-ayat yang membawa redaksi kata
nikah di dalamnya. Dan semua kata nikah yang terdapat di dalam ayat-ayat
tersebut bermakna akad kecuali ayat 230 surah Al-Baqarah. Sebagaimana yang
ditegaskan oleh Az-Zamakhsyari bahwa:
ليس في القرآن لفظ النكاح بمعني
الوطء إلا قوله تعالي "حتي تنكح زوجا غيره".[132]
“Tidak
ada kata nikah yang bermakna Wat}’u atau
hubungan intim, kecuali firman Allah Q.S Al-Baqarah ayat 230.”
Yaitu:
فَإِن
طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ
مِن بَعدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوجًا غَيرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ
عَلَيهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ وَتِلكَ
حُدُودُ ٱللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوم يَعلَمُونَ
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah
talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin
dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”.[133]
Hal itu dibuktikan dengan adanya hadis yang
berbunyi:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّ امْرَأَةَ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنِّي كُنْتُ عِنْدَ رِفَاعَةَ
فَطَلَّقَنِي فَبَتَّ طَلَاقِي فَتَزَوَّجْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ
وَإِنَّ مَا مَعَهُ مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَتَبَسَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ
لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ.[134]
رواه ابن ماجه
“Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada
kami Sufyan bin Uyainah dari Az Zuhri berkata, telah mengabarkan kepadaku Urwah
dari 'Aisyah berkata; "Isteri Rifa'ah Al Qurazhi datang menemui Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Sesungguhnya aku pernah menjadi
isteri Rifa'ah, lalu ia menceraikan aku dan telah selesai perceraianku.
Kemudian aku menikah dengan 'Abdurrahman bin Az Zubair, namun ia tidak punya
apa-apa selain seperti sepotong kain! " maka tersenyumlah Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Apakah kamu ingin kembali lagi dengan
Rifa'ah? Tidak, hingga engkau merasakan madunya dan ia merasakan madumu.”
Kehadiran
hadis di atas memberikan penjelasan bahwa maksud kata nikah pada ayat 230 surah
Al-Baqarah tersebut adalah hubungan intim. Dengan demikian, pemahaman kata
nikah dalam hukum perkawinan Islam telah jelas, bahwa sebuah kata yang awalnya
mempunyai makna secara bahasa menunjuk suatu makna, kemudian kata tersebut
digunakan untuk makna lain oleh syariat, maka dalam hal ini tentu saja kata
tersebut akan dipahami menurut ketentuan syariat. Seperti itulah ketentuan yang
berlaku, sebab ketika sang pembuat syariat mengatakan sebuah kata dalam nash,
maka yang dimaksud adalah seperti yang dikehendaki oleh syariat seakan-akan
secara tidak langsung kata tersebut mengandung petunjuk yang menentukan bagi
makna yang dikehendaki syariat.
[1]Departemen Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya, (Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), hlm. 471.
[6]Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 103.
[7]Sayyid
Sabiq, Fiqih As-Sunnah, juz. 2, (cairo: maktabah dar at-turats, 2005),
hlm. 47.
[8]Muhammad Jawad Mugniyah, Al-fiqh ‘Ala
Al-Mazdahib Al-Khamsah, terjemah, Masykur A.B, Afif Muhammad, Idrus Kaff,
cet. 25, (Jakarta: Lentera, 2010), hlm. 331.
[9]Ibnu Qudamah, Al-Mugni<, terjemah, Mamduh Tirmizdi, Dodi Rosadi,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2012), hlm. 509.
[12]Muhammad
bin Idris Asy-syafi’i, Al-Umm, terjemah, Misbah, juz. 9, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2014), 182
[13]Wahbah Zuhaili, Tafsir
Al-Munir, juz 2, cet. 10
(Damaskus: Dar Al-Fikr, 2003), hlm. 652.
[15]Ibid., hlm. 222.
[17]Mahmud yunus, op.cit.,
hlm. 196.
[19]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu
juz. 9, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2006), hlm. 6641.
[21]Muhammad
Al-Khudhari bik, ta>ri>kh At-Tasyri>’
Al-Isla>mi, (jakarta:
Dar Al-kutub Al-islamiyah, 2007), hlm. 9.
[22]Ibid., hlm. 28.
[23]Holilurrahman, dkk, Op.Cit.,
hlm. 16.
[24]Ibid., hlm. 32.
[25]Abdul Wahab
Khalaf, Al-Ijtihad fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, terjemah, Rohidin
Wahid, (jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), hlm. 31.
[26]Muhammad
Asrari, muh}a>d}arah ma>ddah dira>sah al-h}adis|
asy-syari>f, (malang:
UIN-Maliki Press, 2011), hlm. 186.
[27]Daniel
juned, Ilmu Hadis; Paradigma Baru Dan Rekonstruksi Ilmu Hadis, (tt: PT
Gelora Aksara Pratama, 2010), hlm. 29.
[28]Ibid.,
[31]Ibid., hlm. 286.
[33]Ibid.,
hlm. 166.
[35]Ibid.,
[36]Muhammad
bin ‘Alwi al-maliki, Al-Qawa>’id
Al-Asa>siyyah fi> ushul Al-Fiqh, (jeddah: Al-Haramain, Tth), hlm. 17.
[37]Ibid,.
[39]Ahmad
Nahrawi, Ensiklopedia Asy-Syafi’i, terjemah, Usman Sya’roni, (Jakarta:
PT Mizan Publika, 2008), hlm. 4.
[40]Ahmad
Amin, Dhuha> Al-Isla>m, cet.
Ke-8, jilid 2, (Kairo:
Maktabah An-Nahdhah Al-Mishriyah, 1974), hlm. 218.
[42]Ahmad
bin Husain Al-Baihaqiy, Mana>qib Asy-Sya>fi’i>, cet. Ke-2, (Majelis Albanjariy Littafaqquh Fid
Din, 2006), hlm. 35.
[43]Ahmad nahrawi, op.cit., hlm. 6.
[44]Abu Zakaria Muhyiddin bin Syarafuddin
An-Nawawi, Tahdzi>b Al-Asma> wa Al-Lugha>t, (Beirut: Dar Al-kutub Al-‘ilmiyah, Tth), hlm.
45.
[45]K.H.
Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, cet. Ke-4,
(Jakarta: PT bulan bintang, 1983), hlm. 149.
[46]Ahmad
nahrawi, op.cit., hlm. 9.
[47]Ahmad Nahrawi Abd As-Salam, Al-Ima>m
Asy-Sya>fi’i> fi> madzhabaih Al-Qadi>m wa Al-Jadi>d, (Dar Al-kutub, 1988), hlm.
29.
[49]Muhammad
bin Umar Fakhruddin ar-razi, Mana>qib Al-Ima>m Asy-sya>fi’iy, (Cairo,
Maktabah Al-kulliyah Al-Azhariyah, 1986), hlm. 37.
[51]K.H.
munawar khalil, op.cit., hlm. 153.
[52]Ahmad nahrawi, op.cit., hlm. 18.
[55]Ahmad nahrawi, op.cit., hlm. 23.
[56]Hafiz Hasan Al-Mas’udi, Minh}ah
Al-Mughits fi> ‘Ilm Mus}thalah Al-Hadist, (tt: Al-haramain, tth), hlm.
16.
[57]K.H. munawar khalil, op.cit., hlm. 153.
[62]Ahmad
nahrawi, op.cit., hlm. 622.
[66]Ahmad
nahrawi, op.cit., hlm. 626.
[69]Ahmad
nahrawi, op.cit., hlm. 627.
[75]Ahmad
nahrawi, op.cit., hlm. 164.
[76]Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, jilid
ke-3, juz 5, (Beirut: Darul Ma’rifah, Th), hlm. 153.
[77]Ibid,.
[81]Ibid.
[83]Departemen
Agama RI, op.cit., hlm. 471.
[84]Yahya
bin Syaraf An-Nawawi Ad-Damisyqi, Syarah Shahih Muslim, juz 10 (Kairo:
Al-Maktabah At-Taufiqiyah, 2008), hlm. 38.
[86]‘Ali bin ‘Umar Ad-Daruquthniy, Sunan
Ad-Da>ruquthni>, juz 4,
(beirut: Mu’assisah Ar-Risalah, 2004), hlm. 401.
[87]Abu
Ishaq Ibrahim bin ‘Ali Asy-Syirazi, Takmilah
Al-majmu>’ Syarh} Al-Muhadzdzab, juz 16, (Kairo: Dar Al-Hadis, 2010), hlm. 485.
[90]Ali bin Muhammad Al-Jurjani, Kita<b
At-ta’ri<fa<t, (Jakarta:
Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, tth), hlm. 266.
[91]Wahbah
Zuhaili, Tafsir Al-Munir, loc.cit,.
[92]Departemen
Agama RI, op.cit. hlm. 336
[93]Wahbah
Zuhaili, Tafsir Al-Munir, op.cit., hlm. 652.
[95]Ibid.
[97]Abdullah bin Muhammad, luba>b at-tafsi>r min ibni
kas}i>r, terjemah,
M. Abdul Ghafur, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, (Jakarta: PUSTAKA IMAM SYAFI’I,
2008), hlm. 334.
[100]Departemen Agama RI, loc.cit,.
[101]Wahbah Zuhaili, Tafsir
Al-Munir, juz 2, cet. 10, op.cit.,
hlm. 649
[102]Yahya
bin Syaraf An-Nawawi Ad-Damisyqi, loc.cit,.
[106]Muhammad
bin Yazid Al-Qazwiniy, loc.cit,.
[108]Ibid., hlm.
485.
[109]Wahbah Az-Zuhaili,
Fiqih Islam Wa Adillatuhu, juz. 9, op.cit., hlm. 6514
[112]Abdul Wahhab Khallaf, loc.cit,.
[113]Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 326
[132]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa
Adillatuhu, juz. 9, op.cit., hlm. 6515.
[133]Departemen Agama RI, op.cit.,
hlm. 336.
0 Komentar