Penerapan Wadi’ah Yad Dhamanah pada Perbankan Syariah
Oleh:
Muhammad Zakaria, SH
Salah satu mahasiswa pascasarjana di UIN Antasari Banjarmasin
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tugas
manusia sebagai khalifah secara umum yakni mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran dalam kehidupan. Hal tersebut telah termaktub dalam firman-Nya surah
Al-An’am: 165 juga tugas berupa pengabdian atau dalam arti luasnya yaitu ibadah
sebagaimana disebutkan oleh Allah SWT dalam firmannya surah Adz-Dzariyat: 56.
Allah SWT memberi manusia dua anugerah agar dapat menjalankan tugas tersebut
berupa ni’mat yakni wasilah al-hayah atau sarana kehidupan dan manhaj al-hayah atau sistem kehidupan.
Allah SWT berfirman:
“Tidakkah
kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa
yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir
dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah
tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”
(Luqman: 20)
Manhaj
Al-Hayah yaitu segala aturan dalam kehidupan manusia yang bersumber dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Aturan tersebut bisa berbentuk perintah untuk
melaksanakan atau larangan untuk meninggalkan sesuatu yang dikenal dengan hukum
taklifi yakni wajib, sunnah, mubah makruh atau haram.
Aturan
yang dimaksud diatas memiliki maksud tertentu yakni untuk menjamin keselamatan
manusia selama hidupnya, baik yang berkaitan dengan keselamatan dalam agama,
jiwa, akal, harta maupun nasab (keturunan). Hal tersebut merupakan kebutuhan
primer atau pokok.
Aturan
itu juga diperlukan agar terpenuhinya wasilah
al-hayah atau segala sarana dan prasarana yang diciptakan oleh Allah dalam
kehidupan untuk kepentingan kehidupan manusia secara menyeluruh. Wasilah al-hayah berbentuk air, udara,
tumbuh-tumbuhan, hewan ternak, dan harta benda serta segala hal yang bermanfaat
dalam kehidupan.[1]
Allah SWT berfirman:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk
kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit.
dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 29)
Suatu masyarakat dengan masyarakat
yang lain dalam hal tertentu melakukan aktifitas agar dapat terpenuhi kebutuhan
kehidupan, akan memiliki kesamaan bila Al-Qur’an dan Hadis dijadikan sebagai
rambu-rambu ketika memenuhi kebutuhan hidupnya saat beraktifitas. Rambu-rambu
aturan dalam beraktifitas yang dimaksud adakalanya dalam bentuk hukum
perbankan, asuransi, jual-beli, utang-piutang, gadai maupun dalam bentuk yang
lainnya dalam bidang ekonomi yang juga disebut sebagai ekonomi syariah dalam
bahasa undang-undangnya.[2]
Salah satu bahasan dalam hukum
ekonomi syariah adalah wadi’ah (barang titipan). Wadi’ah
merupakan salah satu produk bank syariah dalam bentuk pendanaan. Pendanaan
dalam prinsip wadi’ah memilki dua bentuk yakni: 1) Giro wadi’ah
dan 2) tabungan wadi’ah. Secara teori, konsep wadi’ah merupakan
titipan semata-mata yang diamanahkan kepada orang/lembaga yang kita percayai
tanpa adanya mengambil keuntungan terhadap barang yang dititipi tersebut oleh
orang yang diamanahi. Namun dalam praktiknya, pihak bank syariah boleh/bisa
saja memanfaatkan barang titipan tersebut untuk selanjutnya dikelola pihak bank
dan keuntungan yang didapat diberi juga kepada sang penitip.
Dalam hal ini, tidak sedikit dari masyarakat yang
fanatik terhadap fiqh klasik menyatakan bahwa konsep wadi’ah yang ada di
bank syariah mengandung unsur riba karena adanya pemanfaatan barang dan
pemberian keuntungan yang mana dalam fiqh-fiqh klasik tidak terdapat adanya hal
tersebut, sehingga cendrung membuat masyarakat kurang meminati atau bahkan enggan
untuk menitipkan barang berharganya ke bank-bank yang bahkan berbasiskan
kesyariahan. Dengan adanya permasalahan tersebut, penulis mencoba menjawab
anggapan itu dalam sebuah makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana
status hukum konsep wadi’ah di bank-bank syariah sekarang?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian wadi’ah
Wadi’ah
yaitu penitipan suatu benda yang didahului dengan adanya akad kepada orang lain
untuk dijaganya secara pantas/layak.[3]
Orang yang dititipi disebut muwadda dan
orang yang menitip disebut muwaddi. Misal
secara dilalah yakni seseorang yang membawa pakaian mendatangi orang lain
seraya berkata ketika dihadapannya “ini adalah barang yang dititipkan padamu”
dan orang yang diserahi benda tersebut diam saja. Maka secara dilalah dia
menjadi orang yang dititipi.
Ulama
mazhab Maliki dan Syafi’I mendefinisikan akad wadi’ah sebagai perwakilan
untuk menjaga benda terhormat atau sesuatu yang dimiliki penitip secara khusus
dengan cara yang tertentu. Sehingga sah penitipan kotoran binatang, dan anjing
yang dididik untuk berburu. Sedangkan sesuatu yang tidak dimiliki secara tertentu
seperti anjing liar, pakaian yang diterbangkan angin dan sebagainya yang
semuanya tidak dimiliki secara khusus maka tidak bisa diberlakukan hukum
titipan padanya.[4]
B. Dasar hukum wadi’ah
Hukum
wadi’ah boleh dan disyariatkan juga didalam islam. Mengenai landasan
hukumnya juga tersebut dalam Al-Qur’an, Hadis dan yaitu:
Firman
Allah SWT:
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat. (An-Nisa:
58)
Kata
“amanat” ditafsirkan oleh Ibnu Mas’ud sebagai salah satu cakupan dalam
perintah Allah seperti berwudhu, mengerjakan sholat, menunaikan zakat,
berpuasa, mandi menghilangkan hadas besar serta menjaga titipan. Maka dalam hal
ini, Wajiblah ditunaikan segala bentuk ibadah kepada Allah SWT dan segala
perbuatan amanat yang berhubungan dengan orang lain. Ibnu Mas’ud juga
berpendapat bahwa semua dosa-dosa yang dimiliki oleh pejuang yang gugur mati
syahid, dihapuskan semuanya kecuali kalau ia masih memiliki tanggungan amanat.[5]
Allah SWT berfirman:
Maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya. (Al-Baqarah:
283)
Ayat ini menjelaskan bahwa yang menitipkan barang
dan yang menerima titipan agar menunaikan amanah yang telah diterimanya.[6]
Juga sabda Rasulullah SAW:
أد الأمانة الى من ائتمنك و لا تخن
من خانك
Tunaikanlah
amanah kepada orang yang mempercayakan kepadamu dan janganlah kamu mengkhianati
orang yang berkhianat kepadamu. (HR. Abu Daud)
Mengingat wadi’ah itu termasuk jenis amanah,
maka hukumnya sesuai dengan kondisinya yang mana terkadang hukumnya wajib
menerimanya bagi seorang muslim.[7]
C. Rukun dan syarat wadi’ah
Menurut ulama hanafiyah rukun wadi’ah hanya ijab
qabul saja. Seperti berkata seseorang “harta ini saya titipkan padamu” atau
melalui ungkapan yang mempunyai makna serupa dengan titipan, maka terjadilah
akad itu. Sedangkan rukun wadi’ah menurut jumhur ulama ada empat (4): 1)
penitip. 2) penerima titipan. 3) harta yang dititipkan. 4) shigat ijab qabul.
Adapun syarat wadi’ah menurut ulama hanafiyah adalah dua orang yang
melakukan transaksi akad wadi’ah harus berakal sehat. Adapun kedewasaan
(baligh) tidak menjadi syarat menurut mazhab hanafiyah.
Adapun menurut jumhur ulama, bagi pelaku akad wadi’ah
diharuskan baligh, berakal sehat dan sanggup melakukan transaksi tersebut.
Adapun harta yang dititipkan harus benda yang bisa dititipkan dan dijaga.
Seperti burung yang terbang dilangit atau benda yang jatuh di lautan, maka hal
tersebut tidak bisa dikatakan barang titipan.[8]
D. Jenis-jenis wadi’ah
Para fuqaha sepakat bahwa wadi’ah mengikat
dua belah pihak. Apabila seseorang yang dititipi barang oleh orang lain telah
terpenuhi rukun dan syaratnya, maka pihak yang dititipi memiliki tanggung jawab
agar memelihara barang titipan tersebut. Adapun sifatnya, wadi’ah dapat
dibedakan menjadi dua macam, yakni:
1. Wadiah yad amanah,
yakni bentuk akad wadi’ah yang mana tidak diperkenankan memanfaatkan
barang titipan bagi si penerima titipan. Sehingga ia tidak menanggung segala
kerusakan, melainkan akibat kelalaian ketika menjalankan amanah. Para fuqaha
juga sepakat bahwa orang yang dititipi dengan akad wadi’ah bersifat
amanah bukan dhaman. Dasar hukumnya yakni sabda nabi SAW yang artinya:
Pihak yang dititipi
barang (al-Mustawda’) selama tidak melakukan pengkhianatan maka tidak
diperkenankan mengganti rugi. (HR. Baihaqi)
Dan
juga sabda Nabi yang artinya:
Siapapun yang dipercaya
menerima amanah, tidak berkewajiban baginya memberikan jaminan
(HR. Ibnu Majah).
Wadi’ah
yang bersifat amanah memberikan akibat hukum kepada yang menerima titipan
berupa bolehnya meminta upah atas titipan tersebut. Untuk mengoptimalkan jasa
penitipan, maka para ulama telah mengkaji tentang perkembangan akad wadi’ah
dari amanah menjadi dhamanah. Tujuan pemberlakuannya akad wadi’ah yang
bersifat dhaman ini adalah untuk terjaminnya benda titipan yang telah
digunakan oleh jasa penitipan sebagai pihak yang diberi amanah dengan tujuan
tertentu yang bersifat kemashlahatan. Maka dengan demikian jenis akad wadi’ah
yad amanah berubah menjadi wadi’ah yad dhamanah.
2. Wadi’ah yad dhamanah
Yakni
akad wadi’ah yang mana pihak penerima titipan mendapat izin dari pemilik
untuk memanfaatkan barang titipan, sehingga ia harus menanggung semua kerusakan
yang terjadi. Dalam lembaga keuangan modern, penerima titipan (al-mustawda’)
tidak akan membiarkan barang titipan tersebut menjadi sesuatu yang tidak
memberikan manfaat. Oleh karena itu pengguna barang titipan dalam usaha
ekonomi, menciptakan kemanfaatan dengan
meminta izin dahulu kepada pemilik barang dengan memberikan jaminan (dhamman)
terhadap pengembalian barang tersebut secara utuh.[9]
E. Keadaan orang yang menerima titipan
Jika
orang yang menerima titipan lalai dan khianat dalam menjaga barang titipan,
maka dia wajib bertanggung jawab atas kerusakan barang titipan tersebut. Jika
orang yang menerima titipan berkata bahwa telah terjadi kerusakan pada barang titipan
tanpa adanya unsur kesengajaan darinya, maka perkataannya akan diterima apabila
disertai dengan sumpah.
Apabila barang titipan dicuri sedangkan
dia telah menyimpannya bersama hartanya sedangkan hartanya sendiri tidak
hilang, maka dia bertanggung jawab atas dicurinya harta titipan tersebut.
Apabila seseoranng meninggal sedangkan dia memiliki/menyimpan barang titipan
orang lain, namun barang tersebut ternyata tidak ditemukan, maka barang
tersebut menjadi hutang yang harus dibayar dari harta peninggalannya.[10]
F. Prinsip wadi’ah pada produk bank
syariah
Prinsip
wadi’ah dalam pendanaan ada dua: 1) Giro wadi’ah; dan 2) Tabungan
wadi’ah.
1. Giro wadi’ah
Produk giro
dengan menggunakan prinsip wadi’ah, tidak diperkenankan adanya
penambahan yang telah dijanjikan oleh nasabah atas dana yang disimpannya. Bank
hanya diperkenankan memberikan imbalan/bonus yang tidak boleh diperjanjikan di
awal dan besarnya imbalan/bonus tersebut berdasarkan kebijakan bank secara
sepihak. Hal ini berdasarkan fatwa dewan syariah nasional No.
01/DSN-MUI/IV/2000 yang menyatakan bahwa secara syariah, giro yang dibenarkan
yakni yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’ah. Adapun
bagian untuk giro wadi’ah berbunyi:
“ketentuan umum
giro yang berdasarkan prinsip wadi’ah adalah:
a. Bersifat titipan
b. Titipan bisa diambil kapan saja (on
call)
c. Tidak ada imbalan yang disyaratkan,
kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat suka rela dari
pihak bank.”[11]
Produk Giro
Syariah memiliki tujuan dan manfaat bagi bank. Diantaranya yaitu 1) menjadi
sumber pendanaan, baik dalam bentuk rupiah maupun Valuta asing. 2) menjadi
salah satu sumber pendapatan dalam bentuk jasa dari aktifitas lanjutan pada
pemanfaatan rekening giro oleh nasabah. Adapun tujuan dan manfaatnya bagi
nasabah yaitu: 1) lancarnya aktifitas penerimaan dan/atau pembayaran dana. 2)
mendapatkan perolehan bonus.[12]
2. Tabungan wadi’ah
Tabungan wadi’ah
adalah produk pendanaan bank syariah dalam bentuk simpanan dari nasabah berupa
rekening tabungan untuk kemudahan pemakaian dan keamanannya, seperti giro wadi’ah,
namun tidak semudah dan secepat giro wadi’ah, karena dana nasabah tidak
dapat ditarik dengan cek. Sebagaimana pada giro wadi’ah, bank juga
mencari keuntungan pada kegiatan yang berjangka pendek untuk pemenuhan
kebutuhan likuiditas bank dengan cara menggunakan dana nasabah yang terhimpun
selama tidak ditariknya dana tersebut.
Bank biasanya
lebih leluasa menggunakan dana ini dibandingkan dengan dana dari giro wadi’ah,
karena penarikannya tidak sefleksibel giro wadi’ah, bank punya
kesempatan lebih besar untuk dapat keuntungan, oleh karena itu biasanya nasabah
tabungan wadi’ah mendapatkan bonus yang diberikan oleh bank lebih besar
daripada bonus yang diberikan pada nasabah giro wadi’ah. Tentu, besarnya
bonus juga tidak dipersyaratkan diawal dan tidak ditetapkan.[13]
Adapun tujuan dan manfaat tabungan wadi’ah bagi bank antara lain: 1)
menjadi sumber pendanaan, baik berupa rupiah maupun valuta asing, 2) menjadi
salah satu sumber pendapatan dalam bentuk jasa dari aktifitas lanjutan pada
pemanfaatan rekening giro oleh nasabah. Adapun tujuan dan manfaatnya bagi nasabah
yaitu: 1) memperoleh kemudahan dalam pengelolaan likuiditas baik dalam
penyetoran, transfer,penarikan dan pembayaran transaksi yang fleksibel. 2)
mendapatkan perolehan bonus.[14]
BAB
III
ANALISIS
Dalam
pelaksanaan perbankan syariah penerapan prinsip wadiah lebih dominan memakai
konsep wadi’ah yad dhamanah. Padahal dalam fikih-fikih klasik akad wadi’ah
yad dhamanah ini tidak ditemukan. Dan apabila prinsip ini dibedah maka akan
ditemukan dua akad yang sifatnya bertentangan namun seakan dipaksakan. Adanya
dua unsur akad tersebut, dalam praktiknya baik produk Giro wadi’ah maupun
tabungan wadi’ah, bank meminta kepada pihak penitip barang (nasabah)
agar memberikan kewenangan/keluasan kepada pihak bank untuk dikelola titipannya/asetnya
tersebut. Bank memilki hak penuh atas perolehan hasil dari pemanfaatan titipan
nasabah, yang mana dengan kata lain bank tidak dikenai kewajiban untuk membagi
hasilnya.
Padahal
prinsip asal dalam wadi’ah adalah larangan untuk pemanfaatan suatu
barang titipan dalam bentuk apapun. Karena apabila terjadi unsur penggunaan
atas suatu barang oleh pihak yang dititipi, maka akadnya pun bukan lagi wadi’ah
tetapi didalam fikih akad ini disebut sebagai prinsip pinjam-meminjam (qard).
Wadi’ah
dalam prinsipnya adalah membantu pihak penitip, dan posisi pihak yang dititipi
sebagai pihak penolong. Ketika menjalankan praktek wadi’ah, dana nasabah
yang dititipkan pada bank syariah mendapat jaminan keamanan dan perbankan syariah
wajib menanggung segala macam resiko yang terjadi pada dana nasabah.
Selanjutnya bukan hanya jaminan, lebih jauh lagi, perbankan syariah memberikan
keuntungan yang disebut sebagai “bagi hasil”. Jika dibandingkan antara menabung
di bank konvesional dan menitipkan di perbankan syariah, maka menabung
diperbankan konvensional sedikitnya kita mendapat dua keuntungan. Pertama;
amannya dana. kedua; setiap bulannya mendapat bunga tabungan. Sedangkan
besarnya bunga yang ada didapatkan setiap bulan sesuai dengan suku bunga yang
telah ditetapkan oleh bank. Dengan adanya dua konsep transaksi ini, secara
sederhana kita bisa menangkap konsep wadiah bank syariah dengan tabungan
konvensional memiliki kemiripan jika mengacu pada penitipan uang yang
diharuskan mendapat kelebihan.[15]
Adapun
yang membedakan antara bank syariah dan bank konvesional adalah adanya Dewan
Pengurus Syariah (DPS) yang memilki tugas dan kewajiban sebagai berikut:
1. Mengawasi operasional bank dan
produk-produknya agar sesuai dengan ketentuan syariah Islam.
2. Melakukan sosialisasi tentang BPRS
secara khusus dan ekonomi Islam secara umum kepada masyarakat.
3. Menumbuh kembangkan serta mengajarkan
nilai-nilai Islam BPRS atau lembaga keuangan syariah yang lainnya.[16]
Disisi lain, M.Nur Yasin dalam bukunya menyatakan
bahwa konsep wadiah secara normatif tidak mempersyaratkan adanya bonus, bagi
orang yang menitipkan barang (nasabah) seharusnya berterima kasih kepada pihak
BMI (Bank Muamalah Indonesia), karena BMI telah menjaga titipan/aset yang
dipercayakan kepadanya. Namun pada kenyataannya sebagai pihak yang dititipi,
BMI melegitimasi tindakannya kedalam bentuk pemberian bonus yang diberikan
kepada nasabah atas dasar bukan permintaan nasabah dan atas dasar kebijakan
internal BMI. Dengan menempelkan konsep Mudharabah Muqayyadah kedalam
deposito.
Mudharabah muqayyadah
yakni kerjasama yang dibentuk antara shahibul mal dan mudharib
yang cakupannya dibatasi dengan jenis usaha, waktu dan tempat usaha (pemilik
dana dalam hal ini menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti bank). Mudharabah
muqayyadah juga merupakan polarisasi integral dari konsep mudharabah
yang ditawarkan Hanafi dan Ahmad bin Hambal. BMI ingin menunjukkan dirinya
sebagai Lembaga Keuangan Syariah yang bisa dipercaya dan bonafide. Sedangkan
bonafiditas tidak saja dalam hal menjaga amanah terhadap keutuhan titipan
nasabah dan keselamatan, tetapi juga BMI ingin menjadikan titipan tersebut
sebagai titipan produktif bukan titipan pasif, konsumtif, dan statis.[17]
Prinsip wadi’ah yad dhamanah pada bank
syariah diterapkan pada produk tabungan wadi’ah dan giro wadi’ah
yang didalamnya terdapat dua unsur akad, yakni wadi’ah dan qard.
Hanya saja pihak bank dalam penggunaan namanya memakai wadi’ah yad dhamanah tanpa
memasukkan nama qard dalam transaksinya. Hal ini malahan menimbulkan
tumpang tindih, bagaimana tidak, jenis akad wadi’ah dan qard
mempunyai maksud yang bertolak belakang dalam satu akad. Lantas bagaimana hukum
penggabungan dua akad ini?
Dikatakan dalam kaidah fikih, bahwa akad-akad
muamalah itu dipandang dari hakikat dan tujuannya, bukan hanya sebatas
kata-kata/lafadz yang dipakai dalam akad-akadnya. Bukan sebaliknya, meskipun
nama akadnya sama dengan suatu istilah yang ada dalam fikih, namun pada
praktiknya ternyata berbeda maka akibat hukumnya pun berubah (tidak sama).
Adanya perihal ketidakmungkinan percampuran unsur qard
dengan wadi’ah, dikarenakan wadi’ah/titipan itu akadnya tabarru’
(perbuatan baik) sekali-kali tidak akan berubah menjadi tijari
(keuntungan/komersial). Dengan demikian, dalam transaksi perbankan syariah, wadi’ah
yad dhamanah tidaklah menggunakan akad wadi’ah sebagaimana yang
tersebut dalam fikih karena mengandung unsur pengambilan keuntungan dari
titipan oleh pihak bank. Maka dengan demikian jika ditinjau dari fikih, wadi’ah
yad dhamanah bisa dikategorikan qard.
Ditinjau dari illat atau sebab terjadinya transaksi, maka permasalahan
yang berkaitan dengan praktik perbankan syariah yang tidak sesuai dengan fikih
islam dikarenakan antara bank syariah dan fikih itu sendiri memilki motif yang
berbeda. Motif fikih islam murni bersifat sosial sedangkan motif bank syariah
adalah ekonomi. Dasar hukum yang digunakan oleh bank syariah adalah hadis Nabi
yang diriwayatkan oleh Abu Rafie bahwa Rasulullah SAW pernah meminta seseorang
untuk meminjamkannya satu ekor unta. Kemudian diberinya Unta Kurban (berusia
sekitar 2 tahun). Setelah berselang beberapa waktu, Rasulullah SAW
memerintahkan Abu Rafie agar mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya,
namun Abu Rafie malah kembali menghadap Rasulullah SAW seraya berkata: “wahai
Rasulullah, unta yang sepadan tidaklah bisa kami temukan. Yang ada hanya unta
yang lebih besar yang berumur 4 tahun.” Mendengar apa yang disampaikan oleh Abu
Rafie, Rasulullah kemudian menjawab, “berikanlah itu, karena sesungguhnya
sebaik-baik diantara kamu adalah yang
terbaik pada saat membayarnya.” (HR.Muslim)
Apabila kita perhatikan, hadis nabi tersebut
sebenarnya kurang tepat dijadikan sebagai dasar hukum wadi’ah, karena
apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW itu ditujukan untuk pinjam-meminjam (qard),
bukan wadi’ah. Wadi’ah juga sulit apabila dikombinasikan dengan mudharabah.
Bank terkadang memodifikasi beberapa akad atau memaksakan penggunaan istilah
yang sebenarnya memiliki karakter dan prinsip yang berbeda. Karena nasabah
ingin mendapat keuntungan yang jelas prosentasenya sedangkan bank hanya ingin
memberi keuntungan atas dasar suka rela (tidak ditentukan), maka dimunculkanlah
konsep wadi’ah mudharabah yang dimaksudkan agar titipan uang dari
penitip aman sekaligus dengan tujuan investasi. Karena untuk investasi, maka
nasabah bisa mendapatkan bagi hasil dari bagiannya ynag sudah ditentukan
diawal, maka dibikinlah akadnya akad wadi’ah mudharabah. Karena
akad wadi’ah dan mudharabah memiliki sifat yang berbeda yang
tidak bisa digabungkan, maka cukuplah akad mudharabah saja tanpa adanya
pengkombinasian dengan akad wadi’ah. Karena wadi’ah bersifat tabarru’
sedangkan mudharabah bersifat profit.
Istilah wadi’ah tetap digunakan oleh para
Dewan Syariah Nasional karena sifat tabungan dan giro adalah titipan dan dapat
diambil kapan saja. Meski demikian, penggunaan uang oleh manajemen perbankan
yang dititipkan dan ditanggung sepenuhnya (dhaman) keamanan uang
tersebut dengan mengatur dan menyiapkannya ketia penitip ingin mengambilnya.
Bahkan bank dapat memberikan bonus yang tidak diperjanjikan dimuka kepada pihak
penitip. Formulasi wadi’ah yad dhamanah inilah yang dirasa dapat membawa
kemaslahatan bagi perbankan syariah dan penggunanya. Oleh karena itu. Hukum dan
aturan bisa berubah sesuai dengan bentukan hukum baru.[18]
Kesimpulan
Apa yang perbankan syariah terapkan yang disebut
sebagai wadi’ah, sejatinya adalah akad pinjam-meminjam (qard) karena
pihak bank dalam berbagai proyeknya telah memanfaatkan uang nasabah. Adapun
konsep wadi’ah yad dhamanah merupakan hasil kodifikasi ulama kontemporer
agar keuntungan didapatkan oleh pemegang amanah (yaitu perbankan). Hal ini
sejalan dengan lembaga keuangan konvensional dengan prinsip yang didirikannya
yang berorientasi pada keuntungan.
Pemberian keuntungan atau yang disebut sebagai “bagi
hasil” dalam wadi’ah yad dhamanah, memiliki kemiripan dengan bunga dari
bank konvensional sehingga cendrung menimbulkan pro-kontra dikalangan
masyarakat karena dianggap mengandung unsur ribawi.
Dalam fikih wadi’ah tidak dikenal dengan
tujuan investasi. Jika nasabah bertujuan ingin investasi, maka dalam hal ini
akad yang paling tepat adalah mudharabah saja, bukan wadi’ah.
Karena dalam mudharabah nasabah bisa menentukan nisbah bagi hasil di awal
transaksi serta ada jaminan uangnya aman dan utuh. Sedangkan dalam wadi’ah
yad dhamanah besarnya bonus ditentukan oleh bank.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Bakar Jabir, Minhajul Muslim konsep hidup ideal dalam Islam,
2017, Jakarta: Darul Haq.
Ali. Zainuddin,
Hukum Ekonomi Syariah, 2008, Jakarta:
Sinar Grafika.
Antonio.
Muhammad Syafi’I, Bank Syariah Dari Teori
ke Praktik, 2001, Jakarta: Gema Insani.
Ascarya, akad dan produk bank
syariah, 2008, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Az-Zuhaili. Wahbah, Fiqih
Islam wa Adillatuhu, jilid 5 ,
2011, Jakarta: Gema Insani.
Burhanuddin S, Hukum
Kontrak Syariah, 2009, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Hafidhuddin.
Didin, Manajemen Syariah dalam Praktik, 2003, Jakarta: Gema Insani.
Suhendi.
Hendi, Figh Muamalah, 2007, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Shihab. Quraish, Al-Lubab makna, tujuan dan pelajaran dari
surah-surah Al-Qur’an, 2012,
Tangerang: Lentera Hati.
Yasin. Nur, Hukum Ekonomi Islam geliat perbankan syariah di
Indonesia, 2009, Malang: UIN-Malang Prees.
Sabiq.
Sayyid, Fikih Sunnah, 2009, Jakarta: Cakrawala Publishing.
Umam. Khotibul, Perbankan
Syariah Dasar-Dasar Dan Dinamika Perkembangannya Di Indonesia, 2016, Jakarta:
Rajawali Press.
Afif. Mufti, tabungan:implementasi
akad wadi’ah atau qard (kajian praktik wadi’ah di perbankan indonesia), dalam
jurnal hukum Islam (JHI), 2014, No. 2, Vol. 12.
Afif. Mufti, “analisis kritis
implementasi akad wadi’ah (studi kasus pada perbankan syariah di indonesia)”
dalam jurnal ekonomi Islam, 2003, No. 1, Vol. 2.
Aisyah. Siti, penghimpunan dana masyarakat dengan akad wadi’ah
dan penerapannya pada perbankan syariah, 2016, dalam Jurnal Syariah, No. 1,
Vol. V.
Murdadi. Bambang, menguji kesyariahan akad wadi’ah pada produk
bank syariah, 2016, dalam jurnal Maksimum Vol. 5, No. 1.
Huda. Nur, Perubahan Akad Wadi’ah, 2015, dalam jurnal
pemikiran dan penelitian ekonomi Islam, Vol. VI, Edisi. 1.
[1]Muhammad Syafi’I
Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke
Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001) h. 8
[5]Mufti Afif “analisis kritis implementasi akad wadi’ah
(studi kasus pada perbankan syariah di indonesia)” dalam jurnal ekonomi
Islam No. 1, Vol. 2, 2003, h. 88.
[6]Quraish
Shihab, Al-Lubab makna, tujuan dan pelajaran dari surah-surah Al-Qur’an,
(Tangerang: Lentera Hati, 2012) h. 92
[7]Abu
Bakar Jabir, Minhajul Muslim konsep hidup ideal dalam Islam, (Jakarta:
Darul Haq, 2017) h. 711
[8]Mufti Afif, tabungan:implementasi akad wadi’ah atau qard
(kajian praktik wadi’ah di perbankan indonesia), dalam jurnal hukum Islam
(JHI) No. 2, Vol. 12, 2014, h. 254.
[10]Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), h. 313
[11]Khotibul Umam, Perbankan Syariah Dasar-Dasar Dan Dinamika
Perkembangannya Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2016) h. 84
[12]Bambang
Murdadi, (menguji kesyariahan akad wadi’ah pada produk bank syariah),
dalam jurnal Maksimum Vol. 5, No. 1, 2016, h. 65
[13]Ascarya, akad dan produk bank syariah, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2008) h. 116
[15]Siti
Aisyah, (penghimpunan dana masyarakat dengan
akad wadi’ah dan penerapannya pada perbankan syariah), dalam Jurnal Syariah, No. 1, Vol. V, 2016, h. 117
[16]Didin
Hafidhuddin, Manajemen Syariah dalam Praktik, (Jakarta: Gema Insani,
2003), h. 39
[17]Nur
Yasin, Hukum Ekonomi Islam geliat perbankan syariah di Indonesia,
(Malang: UIN-Malang Prees, 2009) h. 188
[18]Nur
Huda,(Perubahan Akad Wadi’ah), dalam jurnal pemikiran dan
penelitian ekonomi Islam, Vol. VI, Edisi. 1, 2015, h.142.
0 Komentar