PEMBAHASAN
A.
Alih
bahasa sebagian dari kitab An-Nikah
Bermula setengah dari pada segala
kufu itu tiada harus dimuqobalahkan dengan setengahnya, maka dari karena inilah
tiada sekufu laki-laki yang ber aib yang berbangsa dengan perempuan yang sejahtera
dari pada aib yang tiada berbangsa. Dan tiada sekufu laki-laki ajam yang tiada
fasik dengan perempuan arab yang fasik, dan tiada sekufu laki-laki yang fasik
yang merdeka asli dengan perempuan yang tiada fasik yang dimerdekakan orang.
Dan tiada sekufu laki-laki hamba orang yang tiada fasik lagi alim dengan
perempuan yang merdeka fasik yang fasik lagi jahil, hanyasanya memadailah sifat
kekurangan itu menegahkan dari pada sekufu karena bahwasanya sifat kelebihan
yang ada padanya itu tiada menjabar ia akan dia.
Bermula segala perkara kufu itu hak
bagi perempuan dan walinya melainkan selamat daripada aib gunnah yakni
terpotong zakar dan lemah zakar, maka yaitu hak bagi perempuan jua tiada bagi
segala walinya. Maka dari karna inilah jika rido seorang perempuan bersuami
dengan laki-laki yang tiada sekufu dengannya maka dinikahkan akan dia oleh
bapanya atau saudaranya dengan dia niscaya sah lah nikahnya. Dan demikian lagi
jika ada bagi perempuan itu beberapa wali yang bersamaan mereka itu pada
pangkat maka menikahkan akan dia seorang dari pada mereka itu dengan laki-laki
yang tiada sekufu dengan dia dengan rido perempuan itu serta rido segala
walinya yang lainnya niscaya sah lah nikahnya dengan dia tetapi jika tiada rido
walinya menikahkan dia dengan laki-laki yang tiada sekufu dengan dia atau tiada
bagi perempuan itu wali yang lain dari pada hakim dan menuntut perempuan itu
bahwa dinikahkan akan dia dengan laki-laki yang tiada sekufu maka dinikahkan
akan dia oleh hakim niscaya tiadalah sah nikahnya melainkan jika ada suaminya
itu tiada sekufu dengan dia sebab lemah zakar atau sebab terpotong zakar jua
tiada sebab dengan yang lainnya maka sah lah dinikahkan oleh hakim. Dan
demikian lagi jika rido setengah dari pada segala walinya yang bersamaan pada
hampirnya dan tiada rido sekalian yang lainnya maka dinikahkan oleh seorang
dari pada mereka itu akan dia dengan rido perempuan itu dinikahkan akan dia
oleh hakim niscaya tiadalah sah nikahnya. Dan demikian lagi jika dinikahkan
akan perempuan yang bikr oleh bapanya atau nininya dengan laki-laki yang tiada
sekufu dengan dia dengan tiada rido perempuan itu bersuami akan dia niscaya
tiadalah sah nikahnya.
Bermula jika ikrar seorang perempuan
yang aqil baligh lagi merdeka dengan katanya itu “bahwa laki-laki itu lakiku,
bapaku yang menikahkan dia denganku serta serta dengan ridoku dihadapan dua
orang saksi yang adil” maka dibenarkan kata perempuan itu kepada laki-laki itu
karena ia lakinya.
Bermula jika diperdayakan orang akan
seorang laki-laki dengan menyuruhkan beristri dengan perempuan hamba orang
padahal dikatakannya akan dia dengan katanya bahwa perempuan itu merdeka,
kemudian maka dinikahinya akan perempuan itu. Kemudian maka nyata bahwa
perempuan itu hamba orang niscaya binasalah nikahnya, tetapi anaknya itu jadi merdeka,
maka wajib atas membayar kimah anaknya itu pada tuannya, tetapi harus bagi
bapanya minta bayarkan kimahnya pada memerdekakan dia itu dan wajib atas tuan
ibunya menerima kimahnya.
Bermula jika menyerupakan suami akan
istrinya dengan ibunya seperti katanya bagi istrinya bahwa anggotamu seperti
anggota ibuku, atau katanya mukamu seperti muka ibuku, atau dikatanya
belakangmu seperti belakang ibuku, maka perkataan seperti demikian itu dinamai
zuhur maka haramlah atasnya watho dan bersuka-sukaan dengan istrinya tetapi
talaknya tiada jatuh ia sebab menyerupakan istrinya dengan ibunya hanya
wajiblah atasnya kifarat jika tiada ditalaknya akan dia mengiringi lafaznya
me“rupa”kan dia dengan ibunnya itu. Tetapi segera ditalaknya akan dia
mengiringi lafaznya tersebut itu maka luputlah dari padanya kifarat zihar. Maka
yaitu memerdekakan seorang sahaya yang selamat dari pada aib dan jika tiada
kuasa ia menghasilkan menghasilkan sahaya maka puasa ia dua bulan
berturut-turut dan jika tiada kuasa ia puasa maka memberi makan enam puluh
miskin tiap-tiap seorang dari pada mereka itu seperapatan masak ampat didalam
segentang fitrah.
Bermula haram atas bapa mewatho
sahaya anaknya, tetapi jika diwathonya akan dia tiadalah had atasnya dan
jikalau beranak ia dengan dia maka anaknya itu merdeka lagi membangsakan bagi
bapanya dan jadilah sahaya itu gundiknya, maka wajib berbayar kimahnya bagi
anaknya dan jika mati ia jadi merdekalah gundiknya itu.
Bermula haram atas anak mewatho
sahaya bapanya atau sahaya ibunya, maka jika diwathonya akan dia wajiblah
atasnya had, dan jika beranak ia dengan dia niscaya tiadalah membangsai ia bagi
bapanya dan tiada jadi merdeka ia melainkan apabila dimerdekakan akan dia oleh
tuan ibunya.
B.
Penjelasan
Kafaah ditinjau dari sisi kebahasan
mengandung arti persamaan dan keserupaan. Maksud kafaah dalam pernikahan adalah
bahwa suami hendaknya sekufu dengan istrinya. Artinya dia memiliki kedudukan
yang sama dan sepadan dengan istrinya dalam hal tingkatan sosial, moral, dan
ekonomi.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafaah
tidak diperhitungkan. Dia berkata “laki-laki muslim manapun selama dia bukan
seorang pezina, memiliki hak untuk menikah dengan perempuan muslim mana saja,
selama dia juga bukan pezina. Dia juga berkata “semua umat Islam adalah
bersaudara. Tidaklah haram bagi seorang laki-laki Negro yang tidak diketahui
nasabnya untuk menikahi putri seorang khalifah dari bani Hasyim. Dan laki-laki
muslim yang fasik, betapapun tingkat kefasikannya selama dia bukan pezina
adalah kufu bagi perempuan muslim yang fasik selama dia bukan pezina sebagai
dasarnya adalah firman Allah swt
orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara.
Dan juga firman Allah yang ditujukan
kepada seluruh kaum muslimin,
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi
Rasulullah
saw menikahkan Zainab, ummul mu’minin dengan Zaid yang merupakan budak beliau.
Rasulullah saw juga menikahkan Miqdad dengan Dhuba’ah bin Zubair bin Adul
Muthalib. [1]
Kafaah dalam perkawinan merupakan
faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri, dan lebih
menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau goncangan rumah tangga.
Seorang laki-laki yang sholeh walaupun dari keturunan yang rendah berhak
menikah dengan perempuan yang berderajat tinggi. Laki-laki yang memiliki kebesaran
apapun berhak menikah dengan perempuan yang memiliki derajat dan kemasyhuran
yang tinggi. Begitu pula laki-laki yang fakir sekalipun, ia berhak dan boleh
menikah dengan perempuan yang kaya raya, asalkan laki-laki itu muslim dan dapat
menjauhkan diri dari meminta-minta serta tidak seorang pun dari pihak walinya
menghalangi atau menuntut pembatalan.[2]
Para fuqaha sepakat bahwa kafaah
merupakan hak perempuan dan para walinya. Jika seorang perempuan kawin dengan
orang yang tidak setara, maka para walinya memiliki hak untuk menuntut
pembatalan. Jika walinya mengawinkannya dengan orang yang tidak setara, maka dia
juga memiliki hak untuk membatalkan karena ini adalah suatu pilihan akibat
kekurangan yang dimilki orang yang dilakukan akad kepadanya. Sesungguhnya
perempuan jika meninggalkan kafaah, maka hak wali tetap ada dalam kafaah.
Begitu juga sebaliknya. Urutan hak para wali dan waktu jatuhnya hak untuk
menolak.
Mazhab Syafi’i berpendapat, jika
wali yang paling dekat mengawinkannya dengan keridoannya, maka bagi wali yang
lebih jauh tidak memiliki hak untuk menolak; karena tidak ada hak baginya
sekarang untuk mengawinkannya. Sedangkan jika para wali memiliki derajat yang
sama, salah seorang dari mereka mengawinkannya dengan keridoaan si perempuan
tanpa keridoan mereka, maka perkawinan ini tidak menjadi sah. Karena mereka
memilki hak dalam dalam kafaah, maka keridoan mereka seperti keridoan si
perempuan. Jika seorang wali mengawinkannya dengan orang yang tidak setara,
dengan keridoannya atau sebagian wali yang memiliki derajat yang lebih rendah
mengawinkannya dengan dengan keridoannya dan keridoan wali yang lain, maka sah
perkawinan ini.
Menurut Mazhab Syafii ada enam sifat
kafaah: yaitu agama, kesucian, kemerdekaan, nasab, terbebas dari aib yang dapat
menimbulkan pilihan dan profesi. Mazhab Maliki dan Syafii sepakat mengenai
sifat bebas dari aib yang dapat menyebabkan timbulnya hak untuk memilih.[3]
Dalam penjelasannya sebagaimana
tertulis diatas, syekh Muhammad Arsyad Al-Banjariy menyatakan bahwa apabila
laki-laki memilki aib ghunnah yakni lemahnya zakar lelaki
tersebut atau bahkan terpotong, maka hak kafaah hanya dibebankan kepada
perempuan dan tidak kepada pihak para walinya.
Jika ada seorang perempuan yang
baligh dan berakal serta merdeka membuat pengakuan bahwa lelaki tersebut adalah
suaminya dan dia juga bersaksi bahwa ayahnyalah yang menikahkannya dengan lelaki
tersebut dengan ridonya si perempuan serta dihadapan dua orang saksi yang adil,
maka pengakuan si perempuan tersebut diterima dan hakim harus menetapkan isbat
nikah tersebut kepada si perempuan.
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari
juga berkata bahwa jika ada seorang lelaki yang dipinta orang untuk menikahi
seorang perempuan yang merdeka, kemudian setelah menikah ternyata jelaslah
bahwa perempuan tersebut adalah budak orang lain, maka nikahnya batal, tetapi
anak dari hasil pernikahan tersebut jadi merdeka, maka wajib membayar harga
anaknya itu kepada tuannya.[4]
Menurut bahasa Arab, kata Zhihar
terambil dari kata zhahrun yang bermakna punggung. Dalam kaitannya
dengan hubungan suami istri, zhihar adalah ucapan suami kepada istrinya yang
berisi menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami, seperti ucapan
suami kepada istrinya “engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku.”
Ucapan zhihar dimasa jahiliyah
dipergunakan oleh suami yang bermaksud mengharamkan menyetubuhi istri dan
berakibat menjadi haramnya istri itu bagi suami dan laki-laki selainnya, untuk
selama-lamanya.
Syariat Islam datang untuk
memperbaiki masyarakat, mendidiknya dan mensterilkannya menuju kemaslahatan
hidup. Hukum Islam menjadikan uucapan Zhihar itu berakibat hukum yang bersifat
duniawi ialah menjadi haramnya suami menggauli istrinya yang di zhihar sampai
suami melaksanakan kaffarah zhihar sebagai pendidikan baginya agar tidak
mengulang perkataan dan sikapnya yang buruk itu. Sedangkan yang bersifat
ukhrawi ialah bahwa zhihar itu perbuatan dosa; orang yang mengucapkannya
berarti berbuat dosa, dan untuk membersihkannya wajib bertaubat dan memohon ampunan
Allah.
Sebagai dasar hukum adanya
pengaturan zhihar ialah firman Allah surah Al-Mujadilah ayat 2-4:
2. orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap
isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka.
ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan
Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan
dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
3. orang-orang yang menzhihar isteri
mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka
(wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
4. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang
tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.
Sebab turun ayat zhihar ini ialah
kasus persoalan wanita yang bernama Khaulah binti Tsa’labah yang dizhihar oleh
suaminya Aus bin Shomit yaitu dengan mengatakan kepada istrinya: kamu bagiku
sudah seperti punggung ibuku” dengan maksud ia tidak boleh menggauli istrinya sebagaimana
tidak boleh menggauli ibunya.
Menurut
adat jahiliyah, kalimat zhihar seperti sudah sama dengan mentalak istri.
Kemudian Khaulah mengadukan halnya kepada Rasulullah SAW dan beliau menjawab
bahwa dalam hal ini belum ada keputusan Allah.
Menurut istilah hukum Islam, zhihar
dapat dirumaskan dengan “ucapan kasar yang dilontarkan oleh sumi kepada
istrinya dengan menyerupakan istri itu dengan ibu atau mahram suami sehingga
dengan ucapan itu dimaksudkan untuk mengharamkan istri bagi suaminya.”
Apabila suami menyatakan zhihar
terhadap istrinya maka berlakulah ketentuan sebagai berikut:
a.
Bila
suami menyesali ucapannya dan berpendapat bahwa hidup kembali dengan istrinya
itu akan mendatangkan manfaat serta akan terbina hubungan yang normal dan baik,
maka hendaknya suami mencabut kembali zhiharnya itu seraya mengembalikan
istrinya kepangkuannya, saling memaafkan atas apa yang telah terjadi, saling
berjanji akan memperbaiki hubungan selanjutnya. Dalam pada itu sebelum suami
menggauli kemabli istrinya maka diwajibkan membayar kaffarah zhihar berupa:
1. Memerdekakan
seorang budak sahaya yang beriman. Kalau suami tidak kuasa mewujudkannnya atau
tidak menemukannya, maka dilakukan dengan:
2.
Berpuasa
2 bulan berturut-turut, yaitu 60 hari, tanpa diselingi berbuka satu haripun
dalam 60 hari itu. Kalau suami ternyata tidak mampu berpuasa berturut-turut,
maka dapat diganti dengan:
3.
Memberi
makan secukupnya kepada 60 orang miskin.
b.
Bila
suami berpendapat bahwa memperbaiki hubungan suami istri tidak akan
memungkinkan, dan menurut pertimbangannya bahwa bercerai itulah jalan yang
paling baik, maka hendaklah suami menjatuhkan talak kepada istrinya agar dengan
demikian tidak menyiksa istrinya lebih lama lagi. Kedudukan perceraian dalam
kasus zhihar adalah termasuk ba’in, artinya bekas suami tidak berhak merujuk
kembali bekas istrinya, dia hanya dapat kembali menjadi suami istri dengan akad
perkawinan yang baru.
c.
Bila
setelah suami menzhiharnya merasa tidak aman dari perbuatan suaminya, hendaklah
istri mengadukan halnya kepada hakim, lalu hakim memisah tempat suami dengan
istrinya sementara menunggu penyelesaian kasus zhihar ini, sedangkan jika istri
merasa aman dari tindakan suami terhadapnya, dan terjamin suami mematuhi
hukum-hukum Allah, maka tidak ada halangan istri tetap serumah dengan suaminya.
d.
Kalau
ternyata suami tidak mencabut kembali zhiharnya dan tidak mau mencerikan
isrtrinya, berarti ada unsur kesengajaan suami menelantarkan istrinya dan
melanggar hukum Allah, mereka setelah berlalu masa empat bulan atau 120 hari
sejak zhihar diucapkan, maka hakim menceraikan antara keduanya, dan menjadi
ba’inlah perceraian mereka ini.[5]
Mazhab Hanafi, al-Auza’i,
ats-Tsauri, Syafi’i dalam salah satu pendapatnya dan Zaid bin Ali berpendapat
bahwa zhihar kepada ibu mesti dikiaskan kepada semua perempuan yang menjadi
muhrimnya (belum nikah). Dalam pandangan mereka, zhihar adalah seorang suami
yang menyamakan istrinya dengan salah seorang perempuan yang diharamkan
dinikahi untuk selama-lamanya. Muhrim bisa jadi sebab nasab, pernikahan atau
saudara satu susuan. Jadi, penyebab zhihar disini adalah perempuan yang
diharamkan untuk dinikahi selama-lamanya.
jika suami suami berkata kepada
istrinya “kamu seperti saudara perempuanku atau seperti ibuku” dengan tujuan
untuk menghormati dan memuliakannya, maka perkataan tersebut tidak termasuk
zhihar. Zhihar hanya boleh dilakukan oleh suami yang berakal sehat, dewasa dan
beragama Islam yang ditujukan kepada istrinya yang telah melakukan akad nikah
secara sah. Al-Khatthabi berkata “Imam Syafi’i memiliki pendapat berkaitan
dengan zhihar yang bersifat sementara. Salah satu dari pendapatnya adalah bahwa
perkataan yang demikian tidak termasuk zhihar.”
Jika suami yang mengatakan zhhar
kepada istrinya, dia diharamkan menyetubuhinya sebelum membayar kafarat,
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Ash-Shalah bin Dinar berkata:
saya pernah bertanya kepada sepuluh orang ulama fiqih mengenai seseorang yang
mengucapkan zhihar kepada istrinya lantas dia menyetubuhinya sebelum membayar
kafarat. Mereka menjawab, dia hanya wajib membayar kafarat satu kali saja.[6]
Dalam kitabnya, syekh Muhammad
Arsyad Al-Banjari mengatakan bahwa menggauli budak perempuan milik anaknya
adalah haram, tetapi tidak ada had bagi si bapak tersebut. Jika budak tersebut
melahirkan anak, maka ia menjadi ibu dari anaknya tersebut dan anak tersebut
merdeka serta memiliki marga ayahnya dan budak tersebut menjadi gundik ayahnya,
jika ayahnya wafat, maka gundik tersebut menjadi merdeka.
Jika seorang anak menggauli budak
bapanya atau budak ibunya, maka hal tersebut adalah perkara yang haram
dilakukan dan wajib bagi anak tersebut terkena had. Dan apabila budak tersebut
melahirkan seorang anak, maka anak tersebut tidak memiliki marga bagi bapanya
yang menggauli ibunya serta tidaklah merdeka anak tersebut kecuali dia
dimerdekakan oleh tuannya. [7] .
BAB II
PENUTUP
Kesimpulan:
Kafaah ditinjau dari sisi kebahasan
mengandung arti persamaan dan keserupaan. Maksud kafaah dalam pernikahan adalah
bahwa suami hendaknya sekufu dengan istrinya. Artinya dia memiliki kedudukan
yang sama dan sepadan dengan istrinya dalam hal tingkatan sosial, moral, dan
ekonomi. Kafaah dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong
terciptanya kebahagiaan suami istri, dan lebih menjamin keselamatan perempuan
dari kegagalan atau goncangan rumah tangga.
Para fuqaha sepakat bahwa kafaah
merupakan hak perempuan dan para walinya. Jika seorang perempuan kawin dengan
orang yang tidak setara, maka para walinya memiliki hak untuk menuntut
pembatalan. Jika walinya mengawinkannya dengan orang yang tidak setara, maka
dia juga memiliki hak untuk membatalkan karena ini adalah suatu pilihan akibat
kekurangan yang dimilki orang yang dilakukan akad kepadanya.
Zhihar terambil dari kata zhahrun
yang bermakna punggung. Dalam kaitannya dengan hubungan suami istri, zhihar
adalah ucapan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan punggung istri
dengan punggung ibu suami, seperti ucapan suami kepada istrinya “engkau bagiku
adalah seperti punggung ibuku.”
Ucapan zhihar dimasa jahiliyah
dipergunakan oleh suami yang bermaksud mengharamkan menyetubuhi istri dan
berakibat menjadi haramnya istri itu bagi suami dan laki-laki selainnya, untuk
selama-lamanya. Syariat Islam datang untuk memperbaiki masyarakat, mendidiknya
dan mensterilkannya menuju kemaslahatan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, Sayyid, 2011, fikih
Sunnnah 3,Jakarta: Cakrawala Publishing.
--- 2009, fikih Sunnnah 4, Jakarta:
Cakrawala Publishing.
Ghozali, Abdul Rahman, 2012, Fiqh Munakahat, Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group.
Az-Zuhaili, Wahbah, 2011, Fiqih
Islam wa adillatuhu, Jakarta: Gema Insani.
Arsyad, Muhammad, 2005, Kitab
An-Nikah, Banjarmasin:Comdes Kalimantan.
[1]Sayyid Sabiq, fikih
Sunnnah 3 (Jakarta, Cakrawala Publishing, 2011) h. 392
[2]Abdul Rahman
Ghozali, Fiqh Munakahat ( Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012) h.
98
[3]Wahbah
az-Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011) h.
223
0 Komentar