Bab Kafa'ah dalam Kitab Nikah karya Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari



BAB I
PEMBAHASAN

A.  Alih bahasa sebagian dari kitab An-Nikah
            Bermula setengah dari pada segala kufu itu tiada harus dimuqobalahkan dengan setengahnya, maka dari karena inilah tiada sekufu laki-laki yang ber aib yang berbangsa dengan perempuan yang sejahtera dari pada aib yang tiada berbangsa. Dan tiada sekufu laki-laki ajam yang tiada fasik dengan perempuan arab yang fasik, dan tiada sekufu laki-laki yang fasik yang merdeka asli dengan perempuan yang tiada fasik yang dimerdekakan orang. Dan tiada sekufu laki-laki hamba orang yang tiada fasik lagi alim dengan perempuan yang merdeka fasik yang fasik lagi jahil, hanyasanya memadailah sifat kekurangan itu menegahkan dari pada sekufu karena bahwasanya sifat kelebihan yang ada padanya itu tiada menjabar ia akan dia.
            Bermula segala perkara kufu itu hak bagi perempuan dan walinya melainkan selamat daripada aib gunnah yakni terpotong zakar dan lemah zakar, maka yaitu hak bagi perempuan jua tiada bagi segala walinya. Maka dari karna inilah jika rido seorang perempuan bersuami dengan laki-laki yang tiada sekufu dengannya maka dinikahkan akan dia oleh bapanya atau saudaranya dengan dia niscaya sah lah nikahnya. Dan demikian lagi jika ada bagi perempuan itu beberapa wali yang bersamaan mereka itu pada pangkat maka menikahkan akan dia seorang dari pada mereka itu dengan laki-laki yang tiada sekufu dengan dia dengan rido perempuan itu serta rido segala walinya yang lainnya niscaya sah lah nikahnya dengan dia tetapi jika tiada rido walinya menikahkan dia dengan laki-laki yang tiada sekufu dengan dia atau tiada bagi perempuan itu wali yang lain dari pada hakim dan menuntut perempuan itu bahwa dinikahkan akan dia dengan laki-laki yang tiada sekufu maka dinikahkan akan dia oleh hakim niscaya tiadalah sah nikahnya melainkan jika ada suaminya itu tiada sekufu dengan dia sebab lemah zakar atau sebab terpotong zakar jua tiada sebab dengan yang lainnya maka sah lah dinikahkan oleh hakim. Dan demikian lagi jika rido setengah dari pada segala walinya yang bersamaan pada hampirnya dan tiada rido sekalian yang lainnya maka dinikahkan oleh seorang dari pada mereka itu akan dia dengan rido perempuan itu dinikahkan akan dia oleh hakim niscaya tiadalah sah nikahnya. Dan demikian lagi jika dinikahkan akan perempuan yang bikr oleh bapanya atau nininya dengan laki-laki yang tiada sekufu dengan dia dengan tiada rido perempuan itu bersuami akan dia niscaya tiadalah sah nikahnya.
            Bermula jika ikrar seorang perempuan yang aqil baligh lagi merdeka dengan katanya itu “bahwa laki-laki itu lakiku, bapaku yang menikahkan dia denganku serta serta dengan ridoku dihadapan dua orang saksi yang adil” maka dibenarkan kata perempuan itu kepada laki-laki itu karena ia lakinya.
            Bermula jika diperdayakan orang akan seorang laki-laki dengan menyuruhkan beristri dengan perempuan hamba orang padahal dikatakannya akan dia dengan katanya bahwa perempuan itu merdeka, kemudian maka dinikahinya akan perempuan itu. Kemudian maka nyata bahwa perempuan itu hamba orang niscaya binasalah nikahnya, tetapi anaknya itu jadi merdeka, maka wajib atas membayar kimah anaknya itu pada tuannya, tetapi harus bagi bapanya minta bayarkan kimahnya pada memerdekakan dia itu dan wajib atas tuan ibunya menerima kimahnya.
            Bermula jika menyerupakan suami akan istrinya dengan ibunya seperti katanya bagi istrinya bahwa anggotamu seperti anggota ibuku, atau katanya mukamu seperti muka ibuku, atau dikatanya belakangmu seperti belakang ibuku, maka perkataan seperti demikian itu dinamai zuhur maka haramlah atasnya watho dan bersuka-sukaan dengan istrinya tetapi talaknya tiada jatuh ia sebab menyerupakan istrinya dengan ibunya hanya wajiblah atasnya kifarat jika tiada ditalaknya akan dia mengiringi lafaznya me“rupa”kan dia dengan ibunnya itu. Tetapi segera ditalaknya akan dia mengiringi lafaznya tersebut itu maka luputlah dari padanya kifarat zihar. Maka yaitu memerdekakan seorang sahaya yang selamat dari pada aib dan jika tiada kuasa ia menghasilkan menghasilkan sahaya maka puasa ia dua bulan berturut-turut dan jika tiada kuasa ia puasa maka memberi makan enam puluh miskin tiap-tiap seorang dari pada mereka itu seperapatan masak ampat didalam segentang fitrah.
            Bermula haram atas bapa mewatho sahaya anaknya, tetapi jika diwathonya akan dia tiadalah had atasnya dan jikalau beranak ia dengan dia maka anaknya itu merdeka lagi membangsakan bagi bapanya dan jadilah sahaya itu gundiknya, maka wajib berbayar kimahnya bagi anaknya dan jika mati ia jadi merdekalah gundiknya itu.
            Bermula haram atas anak mewatho sahaya bapanya atau sahaya ibunya, maka jika diwathonya akan dia wajiblah atasnya had, dan jika beranak ia dengan dia niscaya tiadalah membangsai ia bagi bapanya dan tiada jadi merdeka ia melainkan apabila dimerdekakan akan dia oleh tuan ibunya.


B.  Penjelasan
            Kafaah ditinjau dari sisi kebahasan mengandung arti persamaan dan keserupaan. Maksud kafaah dalam pernikahan adalah bahwa suami hendaknya sekufu dengan istrinya. Artinya dia memiliki kedudukan yang sama dan sepadan dengan istrinya dalam hal tingkatan sosial, moral, dan ekonomi.
            Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafaah tidak diperhitungkan. Dia berkata “laki-laki muslim manapun selama dia bukan seorang pezina, memiliki hak untuk menikah dengan perempuan muslim mana saja, selama dia juga bukan pezina. Dia juga berkata “semua umat Islam adalah bersaudara. Tidaklah haram bagi seorang laki-laki Negro yang tidak diketahui nasabnya untuk menikahi putri seorang khalifah dari bani Hasyim. Dan laki-laki muslim yang fasik, betapapun tingkat kefasikannya selama dia bukan pezina adalah kufu bagi perempuan muslim yang fasik selama dia bukan pezina sebagai dasarnya adalah firman Allah swt
     
orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara.

            Dan juga firman Allah yang ditujukan kepada seluruh kaum muslimin,

Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi
            Rasulullah saw menikahkan Zainab, ummul mu’minin dengan Zaid yang merupakan budak beliau. Rasulullah saw juga menikahkan Miqdad dengan Dhuba’ah bin Zubair bin Adul Muthalib. [1]   
            Kafaah dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri, dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau goncangan rumah tangga. Seorang laki-laki yang sholeh walaupun dari keturunan yang rendah berhak menikah dengan perempuan yang berderajat tinggi. Laki-laki yang memiliki kebesaran apapun berhak menikah dengan perempuan yang memiliki derajat dan kemasyhuran yang tinggi. Begitu pula laki-laki yang fakir sekalipun, ia berhak dan boleh menikah dengan perempuan yang kaya raya, asalkan laki-laki itu muslim dan dapat menjauhkan diri dari meminta-minta serta tidak seorang pun dari pihak walinya menghalangi atau menuntut pembatalan.[2]
            Para fuqaha sepakat bahwa kafaah merupakan hak perempuan dan para walinya. Jika seorang perempuan kawin dengan orang yang tidak setara, maka para walinya memiliki hak untuk menuntut pembatalan. Jika walinya mengawinkannya dengan orang yang tidak setara, maka dia juga memiliki hak untuk membatalkan karena ini adalah suatu pilihan akibat kekurangan yang dimilki orang yang dilakukan akad kepadanya. Sesungguhnya perempuan jika meninggalkan kafaah, maka hak wali tetap ada dalam kafaah. Begitu juga sebaliknya. Urutan hak para wali dan waktu jatuhnya hak untuk menolak.
            Mazhab Syafi’i berpendapat, jika wali yang paling dekat mengawinkannya dengan keridoannya, maka bagi wali yang lebih jauh tidak memiliki hak untuk menolak; karena tidak ada hak baginya sekarang untuk mengawinkannya. Sedangkan jika para wali memiliki derajat yang sama, salah seorang dari mereka mengawinkannya dengan keridoaan si perempuan tanpa keridoan mereka, maka perkawinan ini tidak menjadi sah. Karena mereka memilki hak dalam dalam kafaah, maka keridoan mereka seperti keridoan si perempuan. Jika seorang wali mengawinkannya dengan orang yang tidak setara, dengan keridoannya atau sebagian wali yang memiliki derajat yang lebih rendah mengawinkannya dengan dengan keridoannya dan keridoan wali yang lain, maka sah perkawinan ini.
            Menurut Mazhab Syafii ada enam sifat kafaah: yaitu agama, kesucian, kemerdekaan, nasab, terbebas dari aib yang dapat menimbulkan pilihan dan profesi. Mazhab Maliki dan Syafii sepakat mengenai sifat bebas dari aib yang dapat menyebabkan timbulnya hak untuk memilih.[3]
            Dalam penjelasannya sebagaimana tertulis diatas, syekh Muhammad Arsyad Al-Banjariy menyatakan bahwa apabila laki-laki memilki aib ghunnah yakni lemahnya zakar lelaki tersebut atau bahkan terpotong, maka hak kafaah hanya dibebankan kepada perempuan dan tidak kepada pihak para walinya.
            Jika ada seorang perempuan yang baligh dan berakal serta merdeka membuat pengakuan bahwa lelaki tersebut adalah suaminya dan dia juga bersaksi bahwa ayahnyalah yang menikahkannya dengan lelaki tersebut dengan ridonya si perempuan serta dihadapan dua orang saksi yang adil, maka pengakuan si perempuan tersebut diterima dan hakim harus menetapkan isbat nikah tersebut kepada si perempuan.
            Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari juga berkata bahwa jika ada seorang lelaki yang dipinta orang untuk menikahi seorang perempuan yang merdeka, kemudian setelah menikah ternyata jelaslah bahwa perempuan tersebut adalah budak orang lain, maka nikahnya batal, tetapi anak dari hasil pernikahan tersebut jadi merdeka, maka wajib membayar harga anaknya itu kepada tuannya.[4]    
            Menurut bahasa Arab, kata Zhihar terambil dari kata zhahrun yang bermakna punggung. Dalam kaitannya dengan hubungan suami istri, zhihar adalah ucapan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami, seperti ucapan suami kepada istrinya “engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku.”
            Ucapan zhihar dimasa jahiliyah dipergunakan oleh suami yang bermaksud mengharamkan menyetubuhi istri dan berakibat menjadi haramnya istri itu bagi suami dan laki-laki selainnya, untuk selama-lamanya.
            Syariat Islam datang untuk memperbaiki masyarakat, mendidiknya dan mensterilkannya menuju kemaslahatan hidup. Hukum Islam menjadikan uucapan Zhihar itu berakibat hukum yang bersifat duniawi ialah menjadi haramnya suami menggauli istrinya yang di zhihar sampai suami melaksanakan kaffarah zhihar sebagai pendidikan baginya agar tidak mengulang perkataan dan sikapnya yang buruk itu. Sedangkan yang bersifat ukhrawi ialah bahwa zhihar itu perbuatan dosa; orang yang mengucapkannya berarti berbuat dosa, dan untuk membersihkannya wajib bertaubat dan memohon ampunan Allah.
            Sebagai dasar hukum adanya pengaturan zhihar ialah firman Allah surah Al-Mujadilah ayat 2-4:
                
2. orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
3. orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
4. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.
            Sebab turun ayat zhihar ini ialah kasus persoalan wanita yang bernama Khaulah binti Tsa’labah yang dizhihar oleh suaminya Aus bin Shomit yaitu dengan mengatakan kepada istrinya: kamu bagiku sudah seperti punggung ibuku” dengan maksud ia tidak boleh menggauli istrinya sebagaimana tidak boleh menggauli ibunya.
Menurut adat jahiliyah, kalimat zhihar seperti sudah sama dengan mentalak istri. Kemudian Khaulah mengadukan halnya kepada Rasulullah SAW dan beliau menjawab bahwa dalam hal ini belum ada keputusan Allah.
            Menurut istilah hukum Islam, zhihar dapat dirumaskan dengan “ucapan kasar yang dilontarkan oleh sumi kepada istrinya dengan menyerupakan istri itu dengan ibu atau mahram suami sehingga dengan ucapan itu dimaksudkan untuk mengharamkan istri bagi suaminya.”
            Apabila suami menyatakan zhihar terhadap istrinya maka berlakulah ketentuan sebagai berikut:
a.       Bila suami menyesali ucapannya dan berpendapat bahwa hidup kembali dengan istrinya itu akan mendatangkan manfaat serta akan terbina hubungan yang normal dan baik, maka hendaknya suami mencabut kembali zhiharnya itu seraya mengembalikan istrinya kepangkuannya, saling memaafkan atas apa yang telah terjadi, saling berjanji akan memperbaiki hubungan selanjutnya. Dalam pada itu sebelum suami menggauli kemabli istrinya maka diwajibkan membayar kaffarah zhihar berupa:
1. Memerdekakan seorang budak sahaya yang beriman. Kalau suami tidak kuasa mewujudkannnya atau tidak menemukannya, maka dilakukan dengan:
2.      Berpuasa 2 bulan berturut-turut, yaitu 60 hari, tanpa diselingi berbuka satu haripun dalam 60 hari itu. Kalau suami ternyata tidak mampu berpuasa berturut-turut, maka dapat diganti dengan:
3.      Memberi makan secukupnya kepada 60 orang miskin.
b.      Bila suami berpendapat bahwa memperbaiki hubungan suami istri tidak akan memungkinkan, dan menurut pertimbangannya bahwa bercerai itulah jalan yang paling baik, maka hendaklah suami menjatuhkan talak kepada istrinya agar dengan demikian tidak menyiksa istrinya lebih lama lagi. Kedudukan perceraian dalam kasus zhihar adalah termasuk ba’in, artinya bekas suami tidak berhak merujuk kembali bekas istrinya, dia hanya dapat kembali menjadi suami istri dengan akad perkawinan yang baru.
c.       Bila setelah suami menzhiharnya merasa tidak aman dari perbuatan suaminya, hendaklah istri mengadukan halnya kepada hakim, lalu hakim memisah tempat suami dengan istrinya sementara menunggu penyelesaian kasus zhihar ini, sedangkan jika istri merasa aman dari tindakan suami terhadapnya, dan terjamin suami mematuhi hukum-hukum Allah, maka tidak ada halangan istri tetap serumah dengan suaminya.
d.      Kalau ternyata suami tidak mencabut kembali zhiharnya dan tidak mau mencerikan isrtrinya, berarti ada unsur kesengajaan suami menelantarkan istrinya dan melanggar hukum Allah, mereka setelah berlalu masa empat bulan atau 120 hari sejak zhihar diucapkan, maka hakim menceraikan antara keduanya, dan menjadi ba’inlah perceraian mereka ini.[5]     

            Mazhab Hanafi, al-Auza’i, ats-Tsauri, Syafi’i dalam salah satu pendapatnya dan Zaid bin Ali berpendapat bahwa zhihar kepada ibu mesti dikiaskan kepada semua perempuan yang menjadi muhrimnya (belum nikah). Dalam pandangan mereka, zhihar adalah seorang suami yang menyamakan istrinya dengan salah seorang perempuan yang diharamkan dinikahi untuk selama-lamanya. Muhrim bisa jadi sebab nasab, pernikahan atau saudara satu susuan. Jadi, penyebab zhihar disini adalah perempuan yang diharamkan untuk dinikahi selama-lamanya.  
            jika suami suami berkata kepada istrinya “kamu seperti saudara perempuanku atau seperti ibuku” dengan tujuan untuk menghormati dan memuliakannya, maka perkataan tersebut tidak termasuk zhihar. Zhihar hanya boleh dilakukan oleh suami yang berakal sehat, dewasa dan beragama Islam yang ditujukan kepada istrinya yang telah melakukan akad nikah secara sah. Al-Khatthabi berkata “Imam Syafi’i memiliki pendapat berkaitan dengan zhihar yang bersifat sementara. Salah satu dari pendapatnya adalah bahwa perkataan yang demikian tidak termasuk zhihar.”
            Jika suami yang mengatakan zhhar kepada istrinya, dia diharamkan menyetubuhinya sebelum membayar kafarat, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Ash-Shalah bin Dinar berkata: saya pernah bertanya kepada sepuluh orang ulama fiqih mengenai seseorang yang mengucapkan zhihar kepada istrinya lantas dia menyetubuhinya sebelum membayar kafarat. Mereka menjawab, dia hanya wajib membayar kafarat satu kali saja.[6]
            Dalam kitabnya, syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari mengatakan bahwa menggauli budak perempuan milik anaknya adalah haram, tetapi tidak ada had bagi si bapak tersebut. Jika budak tersebut melahirkan anak, maka ia menjadi ibu dari anaknya tersebut dan anak tersebut merdeka serta memiliki marga ayahnya dan budak tersebut menjadi gundik ayahnya, jika ayahnya wafat, maka gundik tersebut menjadi merdeka.
            Jika seorang anak menggauli budak bapanya atau budak ibunya, maka hal tersebut adalah perkara yang haram dilakukan dan wajib bagi anak tersebut terkena had. Dan apabila budak tersebut melahirkan seorang anak, maka anak tersebut tidak memiliki marga bagi bapanya yang menggauli ibunya serta tidaklah merdeka anak tersebut kecuali dia dimerdekakan oleh tuannya. [7]   .        

BAB II
PENUTUP
Kesimpulan:
            Kafaah ditinjau dari sisi kebahasan mengandung arti persamaan dan keserupaan. Maksud kafaah dalam pernikahan adalah bahwa suami hendaknya sekufu dengan istrinya. Artinya dia memiliki kedudukan yang sama dan sepadan dengan istrinya dalam hal tingkatan sosial, moral, dan ekonomi. Kafaah dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri, dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau goncangan rumah tangga.
            Para fuqaha sepakat bahwa kafaah merupakan hak perempuan dan para walinya. Jika seorang perempuan kawin dengan orang yang tidak setara, maka para walinya memiliki hak untuk menuntut pembatalan. Jika walinya mengawinkannya dengan orang yang tidak setara, maka dia juga memiliki hak untuk membatalkan karena ini adalah suatu pilihan akibat kekurangan yang dimilki orang yang dilakukan akad kepadanya.
            Zhihar terambil dari kata zhahrun yang bermakna punggung. Dalam kaitannya dengan hubungan suami istri, zhihar adalah ucapan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami, seperti ucapan suami kepada istrinya “engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku.”
            Ucapan zhihar dimasa jahiliyah dipergunakan oleh suami yang bermaksud mengharamkan menyetubuhi istri dan berakibat menjadi haramnya istri itu bagi suami dan laki-laki selainnya, untuk selama-lamanya. Syariat Islam datang untuk memperbaiki masyarakat, mendidiknya dan mensterilkannya menuju kemaslahatan hidup.

Tulisan ini ditulis oleh mahasiswa pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin
Muhammad Zakaria, SH








DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, Sayyid, 2011,  fikih Sunnnah 3,Jakarta: Cakrawala Publishing.
--- 2009,  fikih Sunnnah 4, Jakarta: Cakrawala Publishing.
Ghozali, Abdul Rahman, 2012, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Az-Zuhaili, Wahbah, 2011,  Fiqih Islam wa adillatuhu, Jakarta: Gema Insani.
Arsyad, Muhammad, 2005,  Kitab An-Nikah, Banjarmasin:Comdes Kalimantan.



[1]Sayyid Sabiq, fikih Sunnnah 3 (Jakarta, Cakrawala Publishing, 2011) h. 392
[2]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat ( Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012) h. 98
[3]Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011) h. 223
[4]Muhammad Arsyad, Kitab An-Nikah, (Banjarmasin:Comdes Kalimantan, 2005) h. 37
[5]Abdul Rahman Ghozali, op.cit. hlm. 233
[6]Sayyid Sabiq, fikih Sunnnah 4 (Jakarta, Cakrawala Publishing, 2009) h. 102  
[7]Muhammad Arsyad, op.cit. h. 38  

Posting Komentar

0 Komentar