Perkawinan memang merupakan sesuatu hal yang sangat vital. Dia tidak hanya berbicara tentang kasih sayang antara seorang laki-laki dan wanita untuk menempuh hubungan yang halal (diridhoi-Nya) tetapi juga mengenai pemahaman terkait agama. Banyak kasus yang terjadi di masyarakat, diantaranya disebutkan bahwa perceraian sering terjadi akibat dari perkara ekonomi. Mulai dari suami yang tidak bekerja (pengangguran), tidak memberikan nafkah, dan hal-hal yang menyangkut tentang ekonomi keluarga. Pada dasarnya hal ini terjadi atas ketidak tahuan seperti apa agama Islam ini memberikan konsep tentang perkawinan mulai dari perkara Khitbah (pra nikah), Pernikahan dan Pasca Pernikahan. Maka dari itu tulisan ini akan berkutat seputar ketiga hal tersebut sehingga diberi Judul:
Konsep Perkawinan dalam Islam
A. Akidah dan Syariat Islam
Akidah (Kepercayaan) adalah bidang
teori yang perlu dipercayai terlebih dahulu sebelum yang lain-lain. Kepercayaan
itu hendaklah bulat dan penuh, tiada bercampur dengan syak, ragu dan
kesamaran. Akidah itu hendaklah menurut ketetapan keterangan-keterangan yang
jelas dan tegas dari ayat-ayat al-Qur’an serta telah menjadi kesepakatan kaum
muslim sejak penyiaran ajaran agama Islam dimulai, biarpun dalam hal yang
lain-lain telah timbul kemudiannya berbagai pendapat yang berbeda-beda.[1]
Akidah adalah apa yang diyakini
oleh seseorang. Jika dikatakan, dia mempunyai akidah yang benar, berarti
akidahnya bebas dari keraguan. Akidah merupakan perbuatan hati, yaitu
kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu. Makna akidah secara syar’i
adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya,
hari akhir, dan qadar yang baik ataupun yang buruk. Hal ini disebut juga
sebagai rukun iman.
Syariat terbagi menjadi dua, yaitu
i’tiqadiyah dan amaliyah. I’tiqadiyah adalah hal-hal yang
tidak berhubungan dengan tata cara amal. Misalnya, i’tiqad (kepercayaan)
terhadap rububiyah Allah dan kewajiban beribadah kepada-Nya, juga ber-i’tiqad
terhadap rukun-rukun iman yang lain. Hal ini disebut as{liyah (pokok agama).
Amaliyah adalah segala apa yang berhubungan dengan tata cara amal. Misalnya,
shalat, zakat, puasa, dan seluruh hukum-hukum amaliyah. Bagian ini disebut far’iyah
(cabang agama), karena ia dibangun di atas i’tiqadiyah. Benar dan
rusaknya amaliyah tergantung dari benar dan rusaknya i’tiqadiyah. Maka,
akidah yang benar adalah pondasi bagi bangunan agama serta merupakan syarat sah
amal, sebagaimana firman Allah Q.S. az-Zumar/39: 110.
Barangsiapa yang mengharap Pertemuan dengan Allah, Maka Sesungguhnya
waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. dan Dialah yang Maha mendengar
lagi Maha mengetahui. [2]
Q.S. az-Zumar/39: 110.
(yaitu) orang-orang yang memperdebatkan
ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan
(bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah
Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.
Akidah tidak bisa ditetapkan kecuali dengan
dalil syar’i serta tidak ada medan ijtihad dan berpendapat di dalamnya. Karena
itulah sumber-sumbernya terbatas pada apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah. Sebab tidak seorang pun yang lebih mengetahui tentang Allah, tentang
apa yang wajib bagi-Nya dan apa yang harus disucikan dari-Nya melainkan Allah
sendiri. Dan tidak seorang pun sesudah Allah yang lebih mengetahui tentang
Allah selain Rasulullah. Oleh karena itu, manhaj salafus shalih dan para
pengikutnya dalam mengambil akidah terbatas pada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Penyimpangan dari akidah yang benar adalah
kehancuran dan kesesatan karena akidah yang benar merupakan pendorong utama
bagi amal yang bermanfaat. Tanpa akidah yang benar, seseorang akan menjadi
mangsa bagi persangkaan dan keragu-raguan yang lama-lama mungkin menumpuk dan
menghalangi dari pandangan yang benar terhadap jalan kehidupan yang bahagia.[3]
At-Tanjim (perbintangan) merupakan ilmu
yang mempelajari tentang perbintangan, atau meyakini adanya pengaruh dalam
bintang tersebut. Dan ilmu perbintangan ini terbagi menjadi dua:
1.
Ilmu yang memiliki pengaruh
Hal
ini di bagi menjadi tiga:
a.
Ia berkeyakinan bahwa
bintang-bintang ini memiliki pengaruh dan yang berbuat, dengan artian
bahwasanya bintang-bintang itu sendiri yang menciptakan berbagai kejadian dan
keburukan, maka yang demikian syirik besar, karena barangsiapa yang mengaku
bahwa bersama Allah pencipta lain, maka ia telah musyrik dengan syirik besar
dan telah menjadikan makhluk yang Dia tundukkan menjadi pencipta yang
menundukkan sesuatu.
b.
Dia menjadikannya sebab untuk
mengaku mengetahui yang ghaib, maka ia memperoleh petunjuk dari pergerakannya,
perpindahan, dan perubahannya dengan meramal akan terjadi begini dan begini,
karena bintang anu menjadi demikian dan demikian. Hal ini berkaitan dengan
firman Allah Q.S. an-Naml/27: 65.
Katakanlah: "tidak ada seorangpun di
langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan
mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.
c.
Dipercayai sebagai sebab munculnya
kebaikan dan kejahatan. Dengan kata lain, setiap terjadi sesuatu selalu
dikaitkan dengan bintang-bintang. Tidak mengaitkan dengan bintang-bintang,
melainkan setelah terjadinya sesuatu. Perbuatan demikian ini adalah syirik
kecil.
2.
Ilmu pengendalian
Ini dibagi menjadi dua bagian:
Pertama, menetapkan dalil pada dasar
pergerakannya dalam suatu kemashlahatan keagamaan. Yang demikian inilah yang
diharapkan. Jika membantu suatu kemashlahatan keagamaan wajib hukumnya, maka
mempelajarinya wajib pula. Sebagaimana jika hendak menetapkan arah kiblat
dengan dasar posisi bintang tertentu, maka sepertiga malam sebagai kiblat.
Dalam hal ini terdapat faedah yang sangat besar.
Kedua, menetapkan dalil pada dasar
pergerakannya dalam rangka kemashlahatan dunia. Misalnya mengetahui titik utara
dan mempelajari posisi bulan.[4]
B. Pengertian Khitbah
Khitbah adalah permintaan seorang
laki-laki untuk menguasai seorang wanita tertentu dari keluarganya dan
bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup. Atau dapat pula diartikan, seorang
laki-laki menampakkan kecintaannya untuk menikahi seorang wanita yang halal
dinikahi secara syara’. Adapun pelaksanaannya beragam, adakalanya peminang itu
sendiri yang meminta langsung kepada yang bersangkutan, atau melalui keluarga,
dan atau melalui utusan seseorang yang dapat dipercaya untuk meminta orang yang
dikehendaki.[5]
Lebih lanjut, Wahbah az-Zuh{aili> mendefinisikan khitbah sebagai
berikut:
إِظْهَارُ الرَّغْبَةِ
فِي الزَّوَاجِ بِامْرَأَةٍ مُعَيَّنَةٍ وَإِعْلَامُ المَرْأَةِ وَلِيَّهَا بِذَالِكَ.[6]
Khitbah adalah
mengungkapkan keinginan untuk menikah dengan seorang perempuan tertentu dan
memberitahukan keinginan tesebut kepada perempuan tersebut dan walinya.[7]
Menurut Kompilasi Hukum Islam, peminangan
(khitbah) adalah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara
seorang pria dengan seorang wanita, dengan cara yang baik (makruf).
Dengan demikian, khitbah secra singkat adalah
thalab an-nika>h (seruan/ajakan untuk menikah). Jadi khitbah atau pinangan
adalah seruan atau ajakan menikah dari seorang laki-laki kepada seorang wanita.
Khitbah merupakan pendahuluan ke arah nikah. Khitbah disyariatkan oleh Allah
sebagai proses sebelum mengikatkan diri dalam suatu ikatan perkawinan, agar
kedua belah pihak yang akan menjalin ikatan dapat saling mengenal satu sama
lain secara ma’ruf. Sehingga, keputusan mengikat diri dalam ikatan perkawinan
dilakukan dengan penuh kesadaran, dilandasi oleh petunjuk dan pertimbangan yang
matang.[8]
Maka dapat disimpulkan, khitbah mempunyai kriteria sebagai berikut:
1. Khitbah dimulai dengan suatu permintaan
(penyampaian kehendak).
2. Khitbah bisa dilakukan oleh seorang laki-laki
kepada seorang perempuan secara langsung atau diwakilkan.
3. Khitbah bisa juga dilakukan oleh pihak wanita
kepada seorang laki-laki melalui seorang perantara.
4. Khitbah dilakukan dengan cara yang baik.[9]
Khitbah sebagaimana pendahuluan pernikahan
lainnya adalah sebuah cara bagi masing-masing pihak (suami-istri) untuk saling
mengenal di antara keduanya. Karena khitbah tersebut merupakan jalan untuk
mempelajari akhlak, tabiat, dan kecenderungan masing-masing dari keduanya.[10]
Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah
perempuan yang memenuhi syarat berikut:
a) Tidak dalam pinangan orang lain.
b) Pada waktu dipinang, perempuan tidak ada
penghalang syarak yang melarang dilangsungkannya pernikahan.
c) Perempuan itu tidak dalam masa idah karena
talak raj’i.
d) Apabila perempuan dalam masa idah karena
talak ba>’in, hendaklah meminang dengan cara siri (tidak terang-terangan).[11]
C. Hukum dan Syarat Sah Khitbah
Mayoritas ulama menyatakan bahwa peminangan
tidak wajib. Namun praktik kebiasaan dalam masyarakat menunjukkan bahwa
peminangan merupakan pendahuluan yang pasti dilakukan. Karena di dalamnya ada
pesan moral dan tata karma untuk mengawali rencana membangun rumah tangga yang
ingin mewujudkan kebahagiaan sakina, mawaddah wa rahmah. Ini sejalan dengan
pendapat Daud al-Zhahiri yang menyatakan meminang hukumnya wajib. Betapa pun
juga, meminang merupakan tindak awal menuju terwujudnya perkawinan yang baik.[12]
Khitbah bukanlah syarat sah nikah. Andaipun
nikah dilangsungkan tanpa khitbah, pernikahan tersebut sah hukumnya. Akan
tetapi, biasanyakhitbah merupakan salah satu sarana untuk menikah. Khitbah ini
menurut jumhur ulama muba>h{ hukumnya, berdasarkan firman Allah:
dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu
dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu
ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Pendapat yang dipegang mazhab Syafi’i adalah khitbah ini hukumnya mustah}abb
(dianjurkan) karena Rasulullah juga pernah melakukannya, yaitu saat beliau
meminang Aisyah binti Abi Bakar dan Hafshah binti Umar r.a.[13]
Pinangan (khitbah) tidak sah kecuali dua
syarat, yaitu:
1. Seorang wanita yang baik
diakadnikahi
2. Wanita yang belum terpinang
Pertama, seorang wanita yang baik
diakadnikahkan pada saat pinangan sehingga dapat menyempurnakan akad nikah.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa khitbah berfungsi sebagai sarana (wasilah)
untuk mencapai suatu tujuan, yakni nikah. Hukum sarana sama dengan hukum
tujuan. Jika tujuan itu tidak disyariatkan maka sarana pun terlarang.
Wanita menjadi objek akad jika ia terlepas
dari berbagai larangan nikah secara syara’ dan tidak haram karena suatu sebab
dari berbagai sebab keharaman. Sebab keharaman itu adakalanya kekal abadi
seperti ibu, saudara perempuan, dan saudara perempuan dari pihak bapak maupun
ibu dan adakalanya bersifat temporal seperti wanita murtad, wanita musyrik,
istri orang, saudara perempuan dari istri saudara atau saudara perempuan bapak
dan ibu istrinya.[14]
Untuk memperjelas permasalahan khitbah
terhadap wanita tertalak dalam masa iddah, berikut ini akan dipaparkan secara
terperinci:
1. Wanita ber-idah talak Raj’i>.[15]
Tidak boleh meminang secara terang-terangan maupun dengan sindiran selama
wanita itu masih berada dalam masa iddahnya. Dalam masa iddah talak Raj’i,
ia masih berstatus istri, sebab terbuka lebar kemungkinan ia kembali ke
pangkuan mantan suaminya. Allah menyebut wanita yang berada dalam masa iddah
talak Raj’i ini sebagai seorang istri yaitu dalam firman-Nya:
Apabila kamu
menalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi
mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan
diantara mereka dengan cara yang ma’ruf.
Jadi, pernikahan yang pertama masih berlaku, dan meminang
dengan sindiran saat itu dianggap sebagai pendorong baginya untuk membalas
dendam kepada suaminya karena telah ditalak. Akibatnya, terkadang wanita
tersebut berdusta tentang akhir masa iddahnya. Atas dasar ini, para ulama
sepakat bahwa khitbah dengan sindiran terhadap wanita yang masih dalam masa
iddah dari talak raj’i dilarang.[16]
2. Wanita ber-iddah talak Ba’in. Tidak
ada perselisihan di kalangan fuqaha’, bahwa tidak boleh meminang wanita masa
iddah talak ba’in kubra (talak ba’in besar yakni tiga kali cerai) dengan
kalimat yang jelas. Kecuali dengan menggunakan sindiran, jumhur ulama
memperbolehkan sekalipun ulama Hanafiyah tidak memperbolehkan. Jumhur ulama itu
adalah ulama al-Malikiyah, asy-Syafi’iyah, dan Hanabilah dengan dalil nash
alquran, sunnah, dan rasio.[17]
3. Wanita ber-iddah talak Ba’in S{ugra.
Dalam hal ini ahli fikih berbeda pendapat, menurul ulama Malikiyah dan sebagian
Syafi’iyah boleh meminang sindiran
terhadap wanita dalam masa iddah talak ba’in shughra dianalogikan
dengan talak ba’in qubra. Ada beberapa dalil yang dijadikan dasar, yakni
sebagaimana dalil yang telah disebutkan pada bab hukum khitbah di atas.
Disamping itu talak ba’in memutus hubungan suami istri, pinnangan sindiran
tidak mengandung makna pinangan secara jelas. Wanita tidak akan berpegangan
pada kalimat sindiran itu dan tidak membuat pengakuan bohong tentang habisnya
masa iddah.[18]
Boleh hukumnya meminang dengan sindiran wanita yang telah ditalak tiga kali.
Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dengan sanad yang
sampai kepada Rasulullah, bahwa beliau bersabda kepada Fatimah binti Qais yang
ketika itu telah ditalak tiga kali, Habiskanlah masa ‘iddahmu di tempat Ibnu
Ummi Maktum, sebab ia adalah seorang lelaki buta sehingga engkau bebas melepas
pakaianmu. Jika masa idahmu telah habis, beritahukan kepadaku.[19]
Imam an-Nawawi
berkata, “Di dalam hadis ini ada indikasi diperbolehkannya meminang wanita yang
telah ditalak tiga dengan sindiran, dan inilah yang benar menurut kami, wallahu
a’lam.[20]
4. Wanita ber-iddah karena Khulu’ atau Fasakh
Wanita
beriddah karena khulu’ (talak karena permohonan istri dengan hadiah) atau
karena fasakh nikah (ada sesuatu yang merusak keabsahan nikah) karena suami
miskin atau menghilang, tidak pernah pulang. Hukum meminang sindiran terhadap
kedua wanita tersebut terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama sebagaimana
meminang sindiran terhadap wanita pada masa iddah talak ba’in shugra di atas.
Ahli fikih sepakat bahwa masing-masing wanita tersebut tidak boleh dipinang
secara jelas dari selain suami pencerai. Bagi suami pencerai boleh saja
memperjelas atau menyindir pinangan selain wanita beriddah talak ba’in kubra,
baginya haram hingga wanita itu dinikahi laki-laki lain yang telah berhubungan
intim kemudian dipisah dengan cerai atau dengan yang lain dan telah habis masa
iddahnya.[21]
Kedua, di antara syarat sah khitbah,
hendaknya wanita belum dipinang oleh laki-laki lain.[22]
Seseorang laki-laki diharamkan untuk meminang wanita yang sudah dipinang oleh
saudaranya sesama muslim. Ketentuan ini berlaku jika tidak ada pembatalan
khitbah yang dilakukan oleh peminang pertama. Akan tetapi, jika peminang
pertama membatalkan khitbahnya, maka peminang kedua boleh meminang wanita
tersebut. Adapun jika wanita itu menolak atau tidak menerima pinangan orang
yang meminangnya, maka akan lebih baik jika sang peminang baru (peminang kedua)
tidak maju untuk meminang wanita tersebut.
Bagi seseorang laki-laki, wanita yang sudah
dipinangnya masih berstatus sebagai wanita asing (bukan mahramnya dan bukan
istrinya). Oleh karena itu, laki-laki yang telah meminangnya pun tidak boleh
berdua-duaan dengannya, menciumnya, memeluknya, berdansa dengannya, berjabat
tangan dengannya, menyentuh salah satu dari anggota-anggota tubuhnya, dan
sebagainya.[23]
D. Memilih Pasangan yang Baik
Islam menghendaki kelanggengan pernikahan. Maksud ini
jelas kita dalam serangkaian hukum-hukum yang dihadirkan oleh Islam dalam
masalah pernikahan dan keluarga. Allah berfirman:
dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Allah menjadikan pasangan untuk
manusia dari jenis mereka sendiri agar di antara pasangan tersebut terjalin
suasana tentram. Dan Allah menjadikan di antara mereka ada cinta, kasih dan
sayang.[24]
Seorang calon suami seharusnya
memilih untuk dirinya sendiri seorang wanita sekufu’ (sepadan) dengannya, baik
dalam hal agama, harta, status sosial, nasab (garis keturunan), maupun
kecantikkannya. Demikian pula dengan seorang calon istri, dia seyogyanya
memilih untuk dirinya sendiri seorang laki-laki sekufu’ dengannya, baik dalam
hal agama, harta, status sosial, nasab, amupun kegantengannya.
Prinsip
ini telah diajarkan oleh Rasulullah.[25]
Beliau bersabda:
عن أبي هريرة – رضى الله عنه - عن النبي صلي اللّه عليه وسلم قال :(تنكح المرأة لأربع لمالها, ولحسبها, ولجمالها, ولدينها, فاظفر بذات الدين, تربت يداك)[26]
Dari Abi Hurairah ra. Dari Nabi saw. bersabda: “perempuan
dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, status sosialnya,
kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah perempuan karena agamanya, maka engkau akan selamat`”(HR.
Muslim)[27]
Adapun
yang dimaksud dengan keberagamaan di sini adalah komitmen keagamaannya atau
kesungguhannya dalam menjalankan ajaran agamanya. Ini dijadikan pilihan utama
karena itulah yang akan langgeng. Kekayaan suatu ketika akan lenyap dan
kecantikan suatu ketika dapat pudar demikian pula kedudukan, suatu ketika akan
hilang. Menurut Said Sabiq, yang dimaksud dengan karena agamanya, yaitu
perempuan yang salehah.[28]
Calon
suami hendaknya memilih wanita yang ahli agama dan berakhlak mulia. Jangan
sampai calon suami bermaksud memilih wanita hanya dari segi kecantikan, kecuali
disertai berakhlak dan beragama. Tentunya kriteria ini lebih utama, karena
kecantikan yang tidak disertai dengan akhlak buruk menyenangkan, menambah
terpeliharanya suami dari perbuatan haram, dan tidak mengalihkan pandangan
matanya melihat wanita lain. Demikian juga hendaknya calon suami tidak menikahi
wanita dengan tujuan harta dan status jabatan sosial semata. Boleh saja
menikahinya dengan mengutamakan harta dan jabatannya, tetapi juga disertai
dengan agama dan akhlak.[29]
Itu sebabnya Rasulullah bersabda, “Dunia itu kenikmatan, dan sebaik-baik
kenikmatan dunia adalah istri salehah”.[30]
Sifat-sifat
yang harus dimiliki oleh seorang istri dan juga harus diperhatikan oleh lelaki
yang ingin menikah adalah sifat-sifat yang diungkapkan dalam firman Allah swt.
Yang berbunyi:
Jika Nabi menceraikan kamu, boleh
Jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik
daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang
mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan. (Q.S. At-Tahrim/66: 5) [31]
Dalam
ayat itu, Allah memberitahukan tentang sifat utama dan terbesar dari seorang
istri mukminah, yaitu bahwa dasar pertama dalam memilih istri salehah adalah
agama. Sungguh agung sifat itu jika Allah yang menentukan langsung.[32]
Islam menetapkan suami adalah pemimpin bagi
keluarganya. Sebagai pemimpin, suami bertanggung jawab memelihara kepentingan
dan kemaslahatan anggota keluarganya. Jika suami mampu dan bisa melakukan
kewajibannya untuk mengatur dan memelihara berbagai urusan, kepentingan dan
kemaslahatan anggota keluarganya, maka keluarga itu akan dapat menjadi keluarga
yang bahagia. Calon suami harus memiliki bekal yang baik dan cukup untuk melakukan
kewajibannya itu.[33]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah saw. Bersabda:
حَدَّثَنَا قُتَيۡبَةُ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ
الۡحَمِيدِ بۡنُ سُلَيۡمَانَ، عَنِ ابۡنِ عَجۡلَانَ، عَنِ ابۡنِ وَثِيمَةَ
النَّصۡرِيِّ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (إِذَا
خَطَبَ إِلَيۡكُمۡ مَنۡ تَرۡضَوۡنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ، فَزَوِّجُوهُ، إِلَّا
تَفۡعَلُوا تَكُنۡ فِتۡنَةٌ فِي الۡأَرۡضِ، وَفَسَادٌ عَرِيضٌ) .وَفِي الۡبَابِ عَنۡ أَبِي حَاتِمٍ
الۡمُزَنِيِّ، وَعَائِشَةَ. حَدِيثُ أَبِي هُرَيۡرَةَ، قَدۡ خُولِفَ عَبۡدُ
الۡحَمِيدِ بۡنُ سُلَيۡمَانَ فِي هَٰذَا الۡحَدِيثِ، وَرَوَاهُ اللَّيۡثُ بۡنُ
سَعۡدٍ عَنِ ابۡنِ عَجۡلَانَ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ
مُرۡسَلًا. قَالَ مُحَمَّدٌ: وَحَدِيثُ اللَّيۡثِ أَشۡبَهُ، وَلَمۡ يَعُدَّ
حَدِيثَ عَبۡدِ الۡحَمِيدِ مَحۡفُوظًا. (رواه الترميذي)[34]
Qutaibah
telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: ‘Abdul Hamid bin Sulaiman
menceritakan kepada kami, dari Ibnu ‘Ajlah, dari Ibnu Watsimah An-Nashri, dari
Abu Hurairah, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Apabila ada orang yang kalian ridai agama dan akhlaknya
datang kepada kalian untuk melamar, maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak
lakukan, akan terjadi cobaan di bumi dan kerusakan yang besar.
Hadis ini merupakan seruan bagi para wali
segera mengawinkan puteri-puterinya apabila dipinang oleh laki-laki setara,
apalagi jika mereka juga ridha. Dan tidak boleh menghalangi mereka menikah
karena ingin menikah dengan lelaki lain dari anak pamannya atau lainnya yanng
tidak mereka suka, ataupun karena ingin mendapat harta kekayaan yang lebih
banyak, ataupun karena untuk tujuan-tujuan lainnya yang tidak dibenarkan oleh
syariat Allah dan Rasul-Nya. Kewajiban waliul amr (ulama dan umara)
adalah menindak tegas orang yang dikenal sebagai penghalang perempuan untuk
menikah dan memperbolehkan para wali lainnya yang lebih dekat kepada seorang
anak puteri untuk menikahkannya sebagai penegak keadilan dan demi melindungi
pemuda dan pemudi agar tidak terjerumus ke dalam apa yang dilarang oleh Allah
yaitu zina yang timbul karena kezaliman dan tindakan para wali
menghalang-halangi mereka untuk menikah.[35]
Jika seorang wanita atau seorang gadis ingin
memilih calon suaminya sendiri, maka janganlah mengikuti keinginan nafsu saja.
Perhatikan segi keimanan dan ketakwaan yang dimiliki oleh calon suami. Jangan
terlalu menutamakan kedudukan dan harta , karena kedudukan dan harta bisa
lenyap kapan saja. Allah swt. akan menjamin kebahagiaan hidup suatu keluarga
jika mereka orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt.
Cita-cita untuk memilih suami yang saleh
tentunya merupakan harapan bagi setiap wanita. Karena ketenangan dan
kebahagiaan rumah tangga hanya bisa didapat dirasakan bagi mereka yang
mempunyai pemimpin rumah tangganya atas dasar takwa. Banyak wanita yang
mengakui bahwa mendapatkan suami yang sempurna dalam segala segi amatlah susah.
Walaupun demikian, harapan mempunyai suami yang saleh tetap harus menjadi
tujuan yang utama bagi kaum wanita.[36]
E. Kafa’ah
الكَفَاءَةُ: هِىَ المُسَاوَاةُ،
وَالمُمَاثَلَةُ. وَالكُفْءُ وَالكَفَاءُ، وَالكُفُوءُ: المَثِيْلُ وَالنَظِيْرُ.
وَالمَقْصُوْدُ بِهَا فِي بَابِ الزَّوَاجِ أَنْ يَكُوْنَ الزَّوْجُ كُفُؤَالزَّوْجَتِهِ.
أَىْ مُسَاوِيًا لَهَا فِي المَنْزِلَةِ، وَنَظِيْرًا لَهَا فِي المَرْكَزِ الإِجْتِمَاعِى،
وَالمُسْتَوِى الخُلُقِى وَالمَالِى. وَمَا مِنْ شَكَّ فِي أَنَّهُ كُلَّمَا كَانَتْ
مَنْزِلَةُ الرَّجُلِ مُسَاوِيَةً لِمَنْزِلَةِ المَرْأَةِ، كَانَ ذَلِكَ أَدْعَى
لِنَجَاحِ الحَيَاةِ الزَّوْجِيَّةِ، وَأحْفًظُ لَهَا مِنَ الفَشْلِ وَالإِخْفَاقِ.[37]
Kafa’ah artinya persamaan dan keserupaan.
Sedangkan kufu adalah orang yang serupa dan sepadan. Yang dimaksud dengan
kafa’ah dalam pernikahan adalah bahwa suami harus sekufu bagi istrinya, artinya
dia memiliki kedudukan yang sama dan sepadan dengan istrinya dalam hal
tingkatan sosial, moral, dan ekonomi. Semakin sama kedudukan laki-laki dengan
kedudukan perempuan, maka keberhasilan hidup suami-istri semakin terjamin dan
semakin terpelihara dari kegagalan.
Menurut ulama Malikiyah, yang dimaksud dengan
kesetaraan di sini adalah kesetaraan dalam hal agama, nasab, kebebasan, dan
pekerjaan. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah menambah kesetaraan dalam hal kekayaan
(harta).[38]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, Kesetaraan
dalam hal agama sudah menjadi kesepakatan para ulama. Oleh karena itu, tidak
dihalalkan seorang wanita muslimah menikahi orang kafir.
F.
Pengertian Pernikahan
Nikah berasal dari bahasa Arab, nika>h{. Secara
etimologi ia berarti menggauli (al-wat{h’).
Ia pun sering disebut untuk kontrak bukan untuk menggauli. Sedangkan secara
terminologi ia berarti, kontrak (akad) yang bisa menghalalkan laki-laki
bemesraan dengan wanita yang dibolehkan oleh syariat. Dengan demikian, nikah
adalah kontrak yang membolehkan laki-laki bermesraan dengan perempuan dengan
halal, juga sebaliknya.[39]
Dalam memahami makna nikah itu
sendiri, para ulama berbeda pendapat. Seperti yang dikemukakan oleh Zain
al-di>n ibn Abd al-Azi>z dalam kitabnya Fath
al-mu’i>n:
النِكَاحُ
لُغَةً الضَّمُّ وَ الجَمْعُ وَ شَرْعًا عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ إِبَاحَةَ وَطْءٍ بِلَفْظِ
نِكَاحٍ أَوْتَزْوِيْجٍ[40]
Nikah secara bahasa yaitu berhimpun
dan berkumpul, secara syara’ yaitu suatu akad yang mengandung kebolehan jimak
dengan sebab nikah atau mengawini
Muhammad Amin menjelaskan tentang nikah di dalam kitabnya
“Nikah yaitu
suatu akad yang mengandung kebolehan senggama dengan sebab lafaz} menikahi
atau mengawini atau seumpamanya.”
Lebih lanjut, Wahbah az-Zuh}aili>
mendefinisikan nikah sebagai berikut:
عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ إِبَاحَةَ الإِسْتِمْتَاعِ بِالمَرْأَةِ,
بِالوَطْءِ وَ المُبَاشَرَةِ وَ التَقْبِيْلِ وَ الضَّمِّ وَغَيْرِذَالِكَ, إِذَا
كَانَتِ المَرْأَةُ غَيْرَ مُحَرَّمٍ بِنَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ أَوْ صَهْرٍ.[42]
Yaitu akad yang
mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, dengan berhubungan
intim, menyentuh, mencium, memeluk, dan sebagainya jika perempuan tersebut
bukan termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga.[43]
Dari perspektif sosiologis,
pernikahan adalah penyatuan dua keluarga besar da terbentuknya pranata sosial
yang mempertemukan beberapa individu dari dua keluarga yang berbedaa dalam satu
jalinan hubungan. Selain itu, pernikahan dalam arti luas adalah suatu ikatan
lahir-batin di antara dua orang (laki-laki dan perempuan) untuk hidup bersama
dalam suatu rumah tangga dan mendapat keturunan yang dilangsungkan menurut
aturan dan ketentuan syariat Islam.[44]
Islam menganjurkan pernikahan dan
menyatakan bahwa nikah termasuk sunnah dan jejak para rasul, termasuk penutup
para nabi, Muhammad saw. Allah berfirman:
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa
Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan
keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat
(mukjizat) melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang
tertentu).[45]
Islam dengan syariatnya yang agung
dan sistemnya yang komprehensif tetap menetapkan kaidah-kaidah dan hukum-hukum
bagi para calon suami istri. Bila kaidah dan hukum itu dipegang teguh oleh
manusia, niscaya pernikahannya akan diwarnai rasa saling memahami, saling
toleransi, dan saling mencintai. Keluarga akan berada di puncak keimanan yang
kokoh, akhlak yang lurus, tubuh yang sehat, akal yang matang, dan jiwa yang
tenang dan suci.[46]
Sebab itu, Allah menjadikan
hubungan laki-laki dan perempuan tercakup dalam sebuah ikatan sakral pernikahan
yang terjalin berdasarkan ridha keduanya, terucapnya ijab kabul sebagai bentuk
keridhaan masing-masing pihak, dan kesaksian khalayak bahwa mereka telah sah
untuk mejadi bagian satu sama lain.
Melalui pernikahan, manusia dapat menjalankan
fitrahnya dengan cara yang baik, terhindar dari terputusnya garis keturunan.
Dan kaum perempuan terjaga dari peran sebagai pemuas nafsu bagi setiap
laki-laki yang menginginkannya. Dengan demikian pula, akan terbentuk rumah
tangga yang dibangun dengan kelembutan hati seorang ibu dan rengkuhan kasih
seorang ayah, sehingga dapat menghasilkan keturunan yang baik dan berbobot.[47]
G. Hukum, Rukun dan Syarat Pernikahan
Ulama berbeda pendapat tentang hukum asal
perkawinan. Menurut sebagian ulama, hukum asal melakukan perkawinan adalah
sunah.[48]
Pendapat ini didasarkan kepada hadis Rasulullah saw: Nikah itu sunnahku,
barangsiapa membencinya, dia bukan termasuk golonganku. (HR. Ibnu Majah dari
Aisyah r.a.)
Sebagai ibadah yang disyariatkan, nikah
memiliki beberapa hukum yang berbeda dlam Islam. Hukum-hukum pernikahan antara
lain:
1. Mubah (boleh), yaitu hukum dasar
menikah, tetapi selanjutnya hukum tersebut bergantung pada kondisi setiap
individu sehingga dapat berubah-ubah.
2. Wajib, yaitu hukum nikah untuk
orang yang sudah mampu dan memenuhi syarat, baik harta maupun ilmu, sedangkan
dia tidak mampu mengendalikan hawa nafsu. Jika tidak segera menikah,
dikhawatirkan dia terjerumus pada zina.
3. Sunnah, yaitu hukum nikah untuk
orang yang memenuhi syarat, baik ilmu maupun harta, dan dia pun mampu
mengendalikan hawa nafsunya dengan baik sehingga tidak khawatir terjerumus pada
zina.
4. Makruh, yaitu hukum nikah untuk
orang yang belum mampu atau memenuhi syarat, sedangkan keinginan menikah sudah
tinggi. Jika dia menikah, dikhawatirkan akan menyengsarakan diri dan
pasangannya. Orang demikian harus memperbanyak berpuasa untuk menurunkan
syahwatnya.
5. Haram, yaitu hukum nikah untuk
orang yang ingin menikah dengan tujuan menyakiti hati orang lain dan tidak sesuai
dengan tuntunan syariat.
Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan itu ada lima, dan
masing-masing rukun itu mempunyai syarat tertentu. Syarat dari rukun tersebut
adalah:
1.
Calon
suami, Syarat-syaratnya:
a.
Bergama
Islam.
b.
Laki-Laki.
c.
Jelas
orangnya.
d.
Dapat
memberikan persetujuan.
e.
Tidak
terdapat halangan perkawinan.
2.
Calon
istri, syarat-syaratnya:
a.
Beragama
Islam.
b.
Perempuan.
c.
Jelas
orangnya.
d.
Dapat
dimintai persetujuan.
e.
Tidak
terdapat halangan perkawinan.
3.
Wali
nikah.[49]
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan
menikahkannya[50],
berdasarkan sabda Nabi saw:
حَدَّثَنَا
أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوْسَى عَنْ الزُهْرِي
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وِ سِلَمَ قَالَ:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا
بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنِ اشْتَجَرُوا قَالَ أَبُو عَاصِمٍ وَ قَالَ مَرَّةً
فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطًانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ فَإِنْ أَصَابَهَا
فَلَهَا المَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا (رواه الدارمي)[51]
Abu Asim menceritakan kepada
kami dari Ibnu Juraij, dari Sulaiman Bin Musa, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari
Aisyah, dari Nabi saw, beliau bersabda: Wanita manapun yang dinikahi tanpa
mendapat izin dari walinya, maka nikahnya tidak sah, maka nikahnya tidak sah,
maka nikahnya tidak sah. Jika mereka berselisih-Abu Ashim lanjut berkata:
beliau saw bersabda: jika mereka berselisih satu kali, maka pemerintah adalah
wali orang yang tidak memilki wali. Jika seorang laki-laki menggaulinya maka
dia berhak mendapatkan mahar lantaran kemaluan wanita itu telah dihalalkan
kepada pria tersebut.[52]
Dalam
hadist lain Nabi saw bersabda:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: لَا تُزَوِّجُ
المَرْأَةُ المَرْأَةَ، وَلَا تُزَوِّجُ المَرْأَةُ نَفْسَهَا. وَ كُنَّا نَقُوْلُ:
إِنَّ الَّتِى تُزَوِّجُ نَفْسَهَا هِيَ الفَاجِرَةُ (رواه الدار قطنى)[53]
Dari Abu Hurairah, dari Nabi
saw, berliau bersabda: Janganlah wanita menikahkan wanita dan jangan pula
wanita menikahkan dirinya sendiri. Kami biasa mengatakan bahwa wanita yang
menikahkan dirinya sendiri adalah wanita pezina.[54]
syarat-syaratnya:
a.
Laki-laki.
b.
Dewasa.
c.
Mempunyai
hak perwalian.
d.
Tidak
terdapat halangan perwaliannya.
4.
Saksi
nikah,[55]
pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad
nikah tersebut,[56]
berdasarkan sabda Nabi saw:
أخبرنا عمر بن محمد الهمداني من أصل كتابه،
حدثنا سعيد بن يحي بن سعيد الأموي، حدثنا حفص بن غياث حدثنا عبد الواحد الحداد.
قال: حدثنا يونس، عن أبي بردة، عن أبي موسى، أن النبي صلى الله عليه و سلم قال: لا
نكاح الا بولي و شاهدي عدل (رواه ابن حبان)[57]
Mengabarkan
kepada kami Umar al-Hamdani dari asal kitabnya, menceritakan kepada kami Sa’id
bin Yahya bin Sa’id al-Umawi, menceritakan kepada kami Hafs bin Ghiyast
menceritakan kepada kami Abdul Wahid al-Haddad ia berkata: menceritakan kepada
kami Yunus dari Abi Burdah dari Abi Musa bahwa Nabi saw bersabda: Tidak sah
nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi.
syarat-syaratnya:
a.
Minimal
dua orang laki-laki.
b.
Hadir
dalam Ijab qabul.
c.
Dapat
mengerti maksud akad.
d.
Islam.
e.
Dewasa.
5.
Ijab
Qabul,[58]
ikatan perkawinan (akad nikah) dilakukan dengan menyatakan persetujuan oleh
kedua belah pihak, pihak calon suami dan pihak calon istri dihadapan
saksi-saksi. Peristiwa inilah yang paling penting. Pernyataan persetujuan itu
menurut istilah fikih (Hukum Islam) disebut I>ja>b (pernyataan)
dan Qabu>l (penerimaan dan
persetujuan). Dengan pernyataan ijab qabul dihadapan saksi-saksi, perkawinan
itu menjadi sah dan sempurna. Tetapi biasanya sebelum dilakukan ijab qabul Nabi
saw menyampaikan khotbah nikah sehingga perkawinan itu tampak suci dan agung.[59]syarat-syaratnya:
a.
Adanya
pernyataan mengawinkan dari wali.
b.
Adanya
pernyataan menerima dari calon mempelai.
c.
Memakai
kata-kata nikah, tazwij, atau terjemahan dari dua kata tersebut.
d.
Antara
ijab dan qabul bersambung.
e.
Orang
yang terkait ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah.
f.
Majelis
ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal empat orang yaitu calon mempelai atau
wakilnya, wali dari mempelai wanita, dan dua orang saksi.
Sedangkan mahar (maskawin)
kedudukannya sebagai kewajiban perkawinan dan sebagai syarat sahnya perkawinan.
Bila tidak ada mahar, maka pernikahannya menjadi tidak sah. [60]
Dasarnya adalah Q. S. An-Nisa/4:4 :
Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.[61]
dan
Q.S. an-Nisa/4:24
Dan (diharamkan
juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki
(Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan
Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan
hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu
nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[62]
H.
Hak
dan Kewajiban
Jika suami istri sama-sama menjalankan tanggung jawabnya
masing-masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati, sehingga
sempurnalah kebahagiaan hidup berumah tangga. Dengan demikian tujuan hidup
berkeluarga akan terwujud sesuai dengan tuntunan agama yaitu Saki>nah,
Mawaddah wa Rah}mah.
Suami istri mempunyai hak bersama
untuk dilaksanakan, yaitu:
1. Haram
melakukan perkawinan; yaitu istri haram dinikahi oleh ayah suaminya, datuknya
(kakeknya), anaknya dan cucunya. Begitu juga ibu istrinya, anak perempuannya
dan seluruh cucunya haram dinikahi oleh suaminya.
2. Hak
saling mendapat waris akibat dari iakatan perkawinan yang sah, bilamana salah
seorang meninggal dunia sesudah sempurnanya ikatan perkawinan; yang lain dapat
mewarisi hartanya, sekalipun belum pernah berhubungan seksual.
3.
Anak
mempunyai nasab yang jelas.
4. Kedua
pihak wajib bertingkah laku dengan baik sehingga dapat melahirkan kemesraan
dalam kedamaian hidup.[67]
Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Q.S an-Nisa>’/4:19.
“dan bergaullah
dengan mereka secara patut”[68]
Seorang istri
mempunyai sejumlah hak atas suaminya,[69]
sebagaimana ditegaskan oleh Allah swt didalam firmannya Q. S. Al-Baqarah/2:228
“dan Para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.”[70]
Dan juga Rasulullah saw bersabda:
حدثنا الحسن بن علي الخلال،
حدثناالحسين بن علي الجعفي عن زائدة، عن شبيب بن غرقدة، عن سليمان بن عمرو بن
الأحوص قال: حدثني أبي، أنه شهد حجة الوداع مع رسول الله صلى الله عليه و سلم.
فحمد الله و أثنى عليه. و ذكر ووعظ. فذكر فى الحديث قصة فقال: ألا و أستوصوا
بالنساء خيرا، فانما هن عوان عندكم ليس تملكون منهن شيئا غير ذلك، الا أن يأتين
بفاحشة مبينة فان فعلن فاهجروهن فى المضاجع و اضربوهن ضربا غير مبرح. فان أطعنكم
فلا تبغوا عليهن سبيلا. الا ان لكم على نسائكم حقا، و لنسائكم عليكم حقا. فأما
حقهم على نسائكم فلا يوطئن فرشكم من تكرهون ولا يأذن فى بيوتكم لمن تكرهون. ألا و
حقهن عليكم أن تحسنوا اليهن فى كسوتهن و طعامهن (رواه الترمذي)[71]
Al-Hasan bin
Ali Al-Khallal menceritakan kepada kami, Al-Husain bin Ali Al-Ju’fi
memberitahukan kepada kami dari Zaidah, dari Syabib bin Gharqadah, dari
Sulaiman bin Amr bin Al-Ahwash, ia berkata: ayahku menceritakan kepada kami: ia
hadir pada haji wada’ bersama Rasulullah saw. Beliau saw memuji dan menyanjung
Allah swt, lalu menyampaikan peringatan dan nasihat-perawi menyebutkan suatu
kisah didalam hadist ini-Rasulullah saw bersabda: perhatikanlah berwasiatlah
dengan kebaikan kepada kaum perempuan, karena kaum perempuan adalah tawanan
yang berada ditangan kalian. kalian tidak memilki suatu (hak untuk berbuat)
apapun darinya melainkan hanya itu, kecuali kalau mereka jelas-jelas melakukan
perbuatan keji. Jika mereka melakukan perbuatan tercela, maka jauhilah tempat
tidurnya dan pukullah dengan pukulan yang tidak melukai. Jika mereka taat
kepadamu, maka kalian jangan mencari jalan untuk menyusahkannya, sesungguhnya
kaum perempuan mempunyai hak kepada kalian dan
kalian mempunyai hak kepada mereka. Hak-hak kalian kepada mereka adalah:
mereka tidak boleh mempersilahkan orang lain yang kalian benci tidur ditempat
tidur kalian dan mereka tidak boleh memberi ijin kepada orang yang kalian benci
untuk masuk kedalam rumah kalian. Hak-hak mereka kepada kalian adalah: kalian
harus berbuat baik kepada mereka dalam masalah sandang dan pangan.[72]
Adapun diantara
hak-hak istri atas suaminya adalah sebagai berikut:
1. Menafkahi istrinya, diantaranya memberinya makan, minuman, dan
tempat tinggal menurut cara yang baik,[73]
berdasarkan sabda Rasulullah saw yang ditujukan kepada salah seorang sahabat
yang bertanya tentang hak istri atas suami:
حدثنا
أبو بكر بن ابي شيبة. ثنا يزيد بن هارون, عن شعبة، عن أبي قزعة، عن حكيم بن
معاوية، عن أبيه، أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه وسلم: ما حق المرأة على الزوج؟
قال: أن يطعمها اذا طعم، و أن يكسوها اذا اكتسى، ولا يضرب الوجه، ولا يقبح، ولا
يهجر الا فى البيت (رواه ابن ماجه)[74]
Menceritakan
kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah. Menceritaka kepada kami Yazid bin Harun,
dari Syu’bah, dari dari Abu Qaz’ah, dari hakim bin Muawiyah, dari ayahnya,
bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw: apakah hak seorang istri
terhadap suami? Beliau menjawab: hendaklah memberinya makan jika ia makan,
memberinya pakaian jika ia berpakaian, tidak memukul wajah, tidak mencela, dan
tidak mendiamkannya kecuali dirumah.[75]
2. Memberinya kenikmatan. Jadi suami wajib menggauli istrinya meski
Cuma sekali dalam setiap empat bulan, jika tidak mampu memberikan layanan yang
memadai baginya,[76]
berdasarkan firman Allah swt dalam Q. S. Al-Baqarah/2:226
Kepada
orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya).
kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.[77]
3. Menginap
dirumahnya semalam dalam setiap empat malam (bagi suami yang berhalangan
menginap setiap malam), karena itulah yang diputuskan pada zaman pemerintahan
Umar Bin Khattab.
4. Istri
berhak mendapatkan bagian jatah yang adil dari suaminya, jika suaminya itu
beristri lebih dari satu,[78]
berdasarkan sabda Nabi saw:
حدثنا محمد بن بشار، حدثنا عبد
الرحمن بن مهدي، حدثنا همام بن قتادة، عن النضر بن أنس، عن بشير بن نهيك، عن أبي
هريرة، عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: اذا كانت عند الرجل امرأتان، فلم يعدل
بينهما، جاء يوم القيامة و شقه ساقط (رواه الترمذي)[79]
Muhammad
bin Basyar menceritakan kepada kami, Abdurrahman bin Mahdi memberitahukan
kepada kami, Hammad memberitahukan kepada kami dari Qatadah, dari An-Nadzr bin
Anas, dari Basyir bin Nahik, dari Abi Hurairah, dari Nabi saw bersabda: Bila
Seorang lelaki mempunyai dua istri, lalu dia tidak adil sesama
(istri-istri)nya, maka pada hari kiamat ia akan datang dengan keadaan miring
(badannya).[80]
5.
Suami
berada disisi istrinya pada hari pernikahan dengannya selama seminggu jika
istrinya seorang gadis, dan tiga hari jika istrinya seorang janda.[81]
Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah saw:
حدثنا يحيى بن يحيى أخبرنا هشيم عن
خالد، عن أبي قلابة، عن أنس بن مالك قال: اذا تزوج البكر على الثيب أقام عندها
سبعا. و اذا تزوج الثيب على البكر أقام عندها ثلاثا. قال خالد ولو قلت انه رفعه
لصدقت ولكنه قال السنة كذالك (رواه مسلم)[82]
Yahya
bin Yahya telah memberitahukan kepada kami, Husyaim telah mengabarkan kepada
kami, dari Khalid, dari Abu Qilabah, dari Anas bin Malik ia berkata: jika
seorang yang beristrikan janda menikahi gadis perawan, maka ia tinggal bersama
gadis itu selama tujuh hari. Dan bila ia menikahi seorang janda setelah
beristri gadis perawan, maka ia harus tinggal bersama janda itu selama tiga
hari. Khalid berkata: Sekiranya aku berkata, Anas menyatakan hadis ini marfu’,
tentu aku benar. Akan tetapi ia berkata, demikianlah sunnahnya.[83]
6.
Suami
disunnahkan mengizinkan istrinya menjenguk salah salah seorang dari muhrimnya
yang sedang sakit atau melihat jenazah salah seorang dari mahromnya yang
meninggal dunia atau mengunjungi sanak kerabatnya, jika kunjungannya tidak
merugikan kemashlahatan suami.
Diantara hak-hak seorang suami atas
istrinya adalah sebagai berikut:
1.
Ditaati
istrinya dalam kebaikan. Jadi istrinya wajib mentaatinya dalam hal-hal yang
bukan merupakan suatu kemaksiatan kepada Allah swt dan dalam kebaikan. Istri
tidak wajib mentaati suaminya dalam hal-hal yang tidak sanggup dikerjakannya
atau hal-hal yang menyusahkannya.[84]
Berdasrkan firman Allah swt Q.S. An-Nisa/4:34.
“kemudian jika mereka
mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”[85]
Kemudian sabda Nabi saw:
حدثنا محمود بن غيلان، حدثنا النضر
بن شميل، حدثنا محمد بن عمرو، عن أبي سلمة، عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه
و سلم، قال: لو كنت امرا أحدا أن يسجد لاحد لأمرت المرأة أن تسجد لزو جها (رواه
الترمذي)[86]
Mahmud
bin ghailan menceritakan kepada kami, An-Nadhr bin Syumail memberitahukan
kepada kami, Muhammad bin Amr memberitahukan kepada kami dari Abu Salamah, dari
Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda: Seandainya aku bolehkan
memerintahkan seseorang untuk bersujud, maka aku akan memerintahkan seorang perempuan
untuk sujud kepada suaminya.[87]
2.
Istri
wajib menjaga harta suaminya, wajib menjaga kehormatannya dan tidak boleh
keluar dari rumahnya, kecuali atas izin suaminya.[88]
Berdasarkan firman Allah swt Q.S. An-Nisa/4:34.
“Wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.”[89]
Juga
sabda Nabi saw:
أخبرنا قتيبة قال حدثنا الليث عن ابن
عجلان عن سعيد المقبري عن أبي هريرة قال قيل لرسول الله صلى الله عليه و سلم أي النساء خير قال التي تسره اذا نظر و تطيعه
اذا أمر ولا تخالفه فى نفسها و مالها بما يكره (رواه النساء)[90]
Mengabarkan
kepada kami qutaibah ia berkata:menceritakan kepada kami al-Laist dari Ibnu
‘Ajlan dari Sa’id al-Maqburi dari Abu Hurairah, ia berkata: ada orang yang
bertanya kepada Rasulullah saw: siapakah wanita yang paling baik? Beliau
menjawab: yaitu istri yang menyenangkan suami jika ia melihat, menaatinya jika
ia perintah, serta tidak menyelisihinya pada diri dan hartanya dengan apa yang
ia benci.[91]
3.
Istri
wajib bepergian dengan suami jika suami menghendakinya bila akad seorang wanita
tidak mensyaratkan kepada suaminya bahwa ia tidak akan bepergian dengan
suaminya, karena bepergiannya seorang istri bersama suaminya termasuk ketaatan
yang diwajibkan kepadanya.
4.
Istri
wajib menyerahkan dirinya kepada suaminya kapan saja suaminya ingin
menggaulinya, karena menggaulinya merupakan salah satu haknya,[92] berdasarkan
sabda Rasulullah saw:
و
حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة و أبو كريب. قالا: حدثنا أبو معاوية. ح و حدثني أبو
سعيد الأشج. حدثنا وكيع. ح و حدثني زهير بن حرب (و اللفظ له) حدثنا جرير. كلهم عن
الأعمش، عن أبي حازم، عن أبي هريرة. قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: اذا
دعا الرجل امرأته الى فراشه، فلم تأته، فبات غضبان عليها، لعنتها المللأكة حتى
تصبح (رواه مسلم)[93]
Abu
Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib telah memberitahukan kepada kami, keduanya
berkata, Abu Muawiyah telah memberitahukan kepada kami, (H) Abu Sa’id Al-Asyaj
telah memberitahukan kepadaku, Waki’ telah memberitahukan kepada kami, (H)
Zuhair bin Harb telah memberitahukan kepada kami-dengan lafazh miliknya- Jarir
telah memberitahukan kepada kami, semuanya dari Al-A’masy, dari Abu Hazim, dari
Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah saw berkata: apabila seorang lelaki mengajak
istrinya ketempat tidurnya, lalu istrinya tidak datang kepadanya, sehingga ia
melalui malam dalam keadaan marah kepada istrinya, maka para malaikat melaknat
istri tersebut hingga pagi hari.[94]
5.
Jika
seorang istri ingin berpuasa sunnah dan suami berada dirumah, maka ia wajib
meminta izin kepadanya.[95]
Hal itu berdasarkan sabda Nabi saw:
حدثنا محمد بن مقاتل أخبرنا عبد الله
أخبرنا معمر عن همام بن منبه عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم لا تصوم
المرأة و بعلها شاهد الا باذنه (رواه البخاري)[96]
Menceritakan
kepada kami Muhammad bin Muqatil, mengkhabarkan kepada kami Abdullah,
mengkhabarkan kepada kami Ma’mar bin Munabbih dari Abi Hurairah dari Nabi saw
bersabda: tidaklah seorang istri berpuasa sementara suaminya ada (disisinya)
kecuali atas izinnya.[97]
[1]Mahmud Syaltut,
Akidah dan Syari’ah Islam, terj. Fachruddin Hs, Cet-3, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1994), hlm. XII.
[2]Shalih bin
Fauzan al-Fauzan, Kitab Tauhid, terj. Syahrul Alim al-Adib, Cet-2,
(Jakarta: Ummul Qura, 2015), hlm. 1.
[3] Ibid.
hlm. 3.
[4] Muhammad
al-Utsaimin, Syarah Kitab Tauhid, terj. Asmuni, Cet-1, Jilid-2,
(Jakarta: Darul Falah, 2006), hlm. 1.
[5] Abdul Aziz Muhamad Azzam dan Abdul Wahhab
Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah, dan Talak,, Cet-4, (Jakarta:
AMZAH, 2015), hlm. 8.
[6]
Wahbah
az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, juz 9, cet-9, (Damasakus: Darul
al-Fikri, 2006), hlm, 6492.
[7] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid. 9,
terj. Abdul Hayyie dkk (Jakarta, Gema Insani, 2011) hlm. 21.
[8] Yahya Abdurrahman, Risalah Khitbah: Panduan dalam Islam Memilih
Pasangan dan Meminang, (Bogor, Al Azhar Press, 2013) Cet. III, hlm. 218.
[10] Ibid, hlm. 21.
[11] H.M.A. Tihami, Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta, Rajawali Pers, 2009), hlm.
24.
[12] Mardani, op.cit, hlm.
18.
[15] Ibid, hlm. 19.
[16] Mahmud al mashri, op.cit,
hlm. 293
[18] Ibid, hlm. 23.
[19] Hadis Shahih, riwayat Muslim
Kitab ath-Thalaq, no. 1480.
[20] Mahmud al-mashri, op.cit,
hlm. 93.
[22] Ibid, hlm. 26.
[23] Musthafa Murad, Memilih Pasangan dan Tatacara Menikah, (Bandung:
Irsyad Baitus Salam, 2009), hlm.
97.
[25] Musthafa Murad, op.cit, hlm. 30.
[26] Muhammad bin Ismail Al-Sham’ani, Subulu
As-sala>m Syarhu Bulu>ghi al-mara>m, (Darul Bayan, 2006), hlm.
946.
[27] Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Kehidupan Keagamaan (Jakarta: Perhimpunan Rahima, 2012). Hal. 66.
[28] Mardani, op.cit, hlm. 16.
[29] Abdul Aziz Muhamad Azzam dan Abdul Wahhab
Sayyed Hawwas, op.cit, hlm. 56.
[30] Hadis sahih, riwayat Muslim, Kita>b
ar-Radha>, no. 1467.
[31] Ali Yusuf as-Subky, penerjemah Fathurrahman, Membangun
Surga Dalam Keluarga, (Mesir, Maktabah al-Azhar, 1990), hlm. 33.
[32] Syaikh Mahmud al-Mashri, op.cit, hlm. 196.
[33] Yahya Abdurrahman, op.cit,
hlm.133.
[34]
Muhammad bin
Isa Al-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Juz II, Cet.II, (Birut: Darul Fikr,
1983), hlm. 274.
[35]
Abdul Aziz bin
Abdullah bbin Raz dkk, Fatwa-Fatwa Terkini I, cet-X terj, Musthofa Aini
dkk, (Jakarta: Darul Haq, 2016), hlm. 411.
[38] Mahmud al-mshri, op.cit, hlm.267
[39] Arif Munandar Riswanto, Buku
Pintar Islam, (Bandung: MIZAN, 2010), hlm. 80.
[41]Muh{ammad Ami>n, Tanwi>r
Al-Qulu>b fi> mu’a>malati a’lla>mi al-guyu>b (Bayru>t, Da>r al-Fikr, 1995), hlm.
308.
[42]Wahbah az-Zuh}aili>, Al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu
(Dimisyq, Da>r al-Fikr, 2006), hlm. 6513.
[44] Ahmad izzan dan Saehudin, fikih keluarga petunjuk praktis hidup
sehari-hari, (Bandung: Mizania, 2017), hlm 195.
[45] Syaikh Mahmud al-Mashri, op.cit, hlm.
12.
[46] Ibid, hlm. 195.
[48] Mardani, op.cit, hlm 35
[52]Abdullah bin Abdurrahman, Sunan Ad-Darimi, terj. Ahmad Hotib
dan Fathurrahman, jilid 2 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 326.
[53]‘Ali> Bin ‘Umar, Sunan
ad-Da>ru Qut}ni>, juz 4, (Bairu>t: Muassasatu ar-Risa>lah,
2004) hlm. 326.
[54]Ali bin Umar, Sunan Ad-Daruquthni, terj.
Anshori Taslim (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) jilid. 3, hlm. 498.
[61]Tim penerjemah, op.cit.hlm. 115
[64]
Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 128.
[66]
Syamsiar Seman,
Perkawinan Adat Banjar Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Bina Budaya
Banjar, 2001), hlm. 112.
[69]Abu bakar
Jabir, Minhajul Muslim konsep hidup ideal dalam islam (Jakarta: Darul
Haq, 2006) hlm. 537.
[72]Muhammad
Nashiruddin Al-Bani, Shahih Sunan At-Tirmidzi 1, terj.Ahmad
Yuswaji (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) hlm. 895.
[75]Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Ibnu Majah, terj. Ahmad Taufiq
Abdurrahman, jilid 2, (Jakarta:pustaka Azzam,
2013) hlm. 165.
[90]Abu> Abd al-Rah}ma>n
Ah}mad bin Syu’aib bin Bah}r, Sunan an-Nasa>i’i>, juz 6 (Semarang:
karya taha putra, t.t.) hlm. 68.
[91]Muhammad Nashiruddin
Al-Albani, Shahih Sunan Nasa’i, jilid. 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006)
hlm. 663.
0 Komentar